Masuk Daftar
My Getplus

Mega Proyek Sultan Banten

Bertekad membangun pertanian yang maju di Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dianggap sebagai ancaman oleh Belanda.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 23 Jun 2019
Pemandangan bekas keraton Kaibon di Banten yang dikelilingi pepohonan rimbun. (Wikimedia Commons).

PERNYATAAN perang Sultan Ageng Tirtayasa pada 11 Mei 1658 semakin memperjelas ketegangan antara Banten dan Batavia (Belanda). Keduanya enggan sepakat sehingga  memutuskan untuk melakukan perang terbuka. Pertempuran pun berlangsung setiap hari dengan skala yang cukup besar, baik di darat maupun di laut. Rakyat Banten berusaha mempertahankan wilayahnya tetap merdeka di bawah pimpinan Sultan Ageng. Semangat mereka pun terbukti mampu menghancurkan kekuatan Batavia yang begitu kokoh.

“Berhubung dengan Kompeni terus-menerus didesak dan diserang, sehingga lama-kelamaan mereka merasa lelah dan pesimis untuk menang, maka Pemerintah Tinggi Kompeni terpaksa menawarkan perjanjian berdamai kepada Sultan Banten,” tulis Edi. S. Ekadjati dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat.

Setelah berada pada suasana damai, Banten segera melakukan perbaikan wilayah. Pemerintah mencoba membangun infrastruktur perairan dan sistem pertanian untuk menunjang perdagangan mereka. Di samping memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan perang sebelumnya.

Advertising
Advertising

Dalam catatan harian milik pemerintah Batavia (Dagh-register), Sultan Ageng memerintahkan bekas panglima perang yang menjadi menteri negaranya, Kiyai Arya Mangunjaya, untuk membangun sebuah pemukiman di bagian terluar wilayah kekuasaan Banten. Mula-mula Kiayi Arya mengumpulkan seluruh kepala daerah di Kesultanan Banten. Kemudian ia meminta mereka mengumpulkan seluruh keluarga di wilayah wewenangnya dan menyuruh setiap keluarga itu mengumpulkan 100 batang pohon kelapa.

Baca juga: Arsitek Kesultanan Banten

Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, menyebut tiap-tiap keluarga umumnya terdiri dari 5 orang, dan mereka akan diberi sebidang tanah seluas 1 hektar. Berbekal arsip-arsip milik pemerintah Belanda, Claude menggambarkan besarnya pemukiman baru milik Kesultanan Banten yang dihuni oleh 5.000 keluarga tersebut.

“Pohon-pohon ini harus ditanam di dekat Sungai Ontong Jawa (Cisadane sekarang), yang letaknya dekat dengan Batavia. Ini merupakan proyek yang luar biasa besarnya…sehingga ladang pohon kelapa itu dalam hal ini akan mempunyai luas tanah sebesar kira-kira 5.000 hektar.” tulis Claude.

Setidaknya ada 10 desa baru ditempatkan di sepanjang Sungai Cisadane. Fungsi utamanya memang sebagai perkebunan dan pemukiman. Namun lebih jauh, desa-desa itu dipersiapkan oleh sultan sebagai benteng pertahanan alam yang sangat kokoh. Ratusan ribu pohon kelapa yang ditanam di sana digunakan untuk menutupi area Kesultanan Banten. Sehingga Batavia tidak dapat memantau pembangunan yang dilakukan pemerintah.

Adanya perjanjian damai tidak membuat rasa curiga hilang begitu saja dari kedua pihak. Batavia masih menempatkan mata-matanya di sekitar perbatasan Banten dan melaporkan seluruh aktivitas yang terjadi di sana.

Baca juga: Gajah Sultan Banten

Pada 1663, Banten memulai proyek penggalian terusan dari Sungai Tanara (Cidurian) ke Sungai Pasilian melalui Balaraja, sejauh 6 kilometer menuju Sungai Ontong Jawa (beberapa literatur menyebutnya “Untung Jawa”). Alirannya akan menghubungkan banyak ngarai, yang dapat dilalui oleh kapal-kapal kecil bagi kebutuhan perdagangan

“Pembangunan saluran ini selain bertujuan untuk irigiasi bagi keperluan pertanian, juga untuk mempercepat hubungan militer dari Banten ke daerah perbatasan dengan Batavia,” tulis Nina Herlina Lubis, dkk. dalam Sejarah Banten: Membangun Tradisi dan Peradaban.

Bersamaan dengan penggalian terusan itu, pemerintah Banten juga membuat persawahan yang terbentang di sepanjang alirannya. Areal persawahan itu difokuskan untuk menanam tanaman padi. Mereka mencoba membuat lumbung padi yang sangat besar, yang akan menjadi pusat produksi beras di Banten.

Sultan Ageng memantau langsung kegiatan pembangunan terusan yang menjadi proyek terbesar pada masa pemerintahannya tersebut. Bahkan ia pernah tinggal selama tiga bulan di Tanara, bersama istri-istri dan anak-anaknya, agar dapat terus melihat proses pembangunannya. Kegiatan administrasi di ibu kota akhirnya diserahkan kepada para pejabat istananya.

Pihak Belanda melihat proyek pembangunan terusan dan pedesaan kesultanan Banten itu sebagai sebuah keberhasilan. Utusan dagang mereka menyebut desa di Tanara “sebagai negeri datar yang indah yang ditanami padi”.

Baca juga: Bukan Sembarang Syahbandar Banten

Pada 1664, belum juga selesai dengan proyek penggalian terusan, Sultan Ageng mulai merencanakan pembangunan sebuah bendungan. Hal itu dilakukan untuk penampungan air serta pengairan ke sawah-sawah yang jumlahnya akan terus bertambah.

Setelah proyek terusan Tanara-Pasilian berhasil dirampungkan, pada 1670 sultan segera membuat jalur terusan baru antara Pontang sampai Tanara. Kali ini, sultan berencana membuka jalur dari tepi laut hingga ke pedalaman. Proyek ini dikepalai Kiyai Ngabehi Wangsanala, ipar laki-laki Sultan Ageng, dengan melibatkan 16.000 pekerja dari dalam maupun luar Banten.

“Seperti halnya proyek terusan sebelumnya, raja melakukan segala usaha agar proyek Pontang menjadi kepentingan nasional,” tulis Claude.

Pada 1673, sultan memesan 12 buah watermolentjes (kincir air) dari Batavia. Mesin itu digunakan untuk mempercepat proses pengairan sawah-sawah di Tanara. Untuk membayar mesin-mesin itu, Pemerintah Banten menyediakan 10 ekor sapi dan 20 pikul lada.

Tahun 1675-1677, Sultan Ageng memulai empat proyek besar yang dilakukan bersamaan, yakni pembangunan bendungan di Sungai Pontang dan Sungai Ciujung, serta penambahan terusan di sekitar Tirtayasa, dekat Tanara, dan di daerah Anyer.

Catatan pemerintah Batavia kembali menjabarkan situasi pembangunan di wilayah kesultanan Banten tersebut. Disebutkan bahwa setiap laki-laki yang sehat harus ikut dalam proyek pembangunan itu. Banyak dari mereka yang bekerja secara sukarela, namun tidak jarang yang mendapat paksaan dari kepala daerah di sekitar tempat tinggalnya.

Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan

Begitu pengerjaan proyek pengairan selesai, sultan segera mengalihkan tumpuannya pada pembangunan sebuah kota baru di sekitar terusan. Ia mendirikan rumah-rumah berbahan permanen agar banyak penduduk yang tinggal di sana.

“Dalam hubungan ini dapat diperhatikan bahwa sultan gemar sekali akan rumah-rumah dari bata yang berasal dari tradisi China daripada bangunan menurut kebiasaan Jawa dengan kayu dan bambu,” kata Claude.

Pada 1678 timbul perselisihan dengan Batavia terkait Cirebon. Sejak itu, perhatian sultan sepenuhnya teralihkan pada militer. Ribuan pekerja laki-laki segera dialihkan menjadi tentara. Lebih jauh, terjadi konflik di dalam istana antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji, yang akhirnya memberi peluang bagi Batavia untuk menguasai Banten pada 1682.

Mega proyek Sultan Ageng pun akhirnya terhenti. Namun walau begitu, ia berhasil membawa pembangunan yang begitu besar bagi Kesultanan Banten.

TAG

banten

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Sabidin Bangsawan Palsu Jejak Ali Moertopo dalam Kerusuhan Lapangan Banteng Sabotase Kampanye Golkar Asal-usul Meriam Ki Amuk, Kembaran Meriam Si Jagur Lampung Tanam Lada Gegara Banten Jualan Kisah Bupati Sepuh Menjegal Multatuli Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (1) Gijadi Menembak Yani