Pada sebuah panil relief di dinding utara Candi Sojiwan, Klaten, Jawa Tengah, terdapat seekor kera terlihat naik di atas punggung buaya. Panil lain menggambarkan seekor kura-kura diterbangkan dua ekor angsa. Kura-kura itu disuruh menggigit kayu. Gambar semacam ini juga ada di dinding Candi Mendut, Magelang.
Dwi Pradnyawan, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan pada periode Jawa Tengah selain ditemukan di Candi Sojiwan dan Candi Mendut, cerita binatang juga ada di Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Morangan, dan Candi Gampingan. Sedangkan pada periode Jawa timur, cerita binatang dapat ditemukan di Candi Surawana, Candi Tegawangi, Candi Panataran, dan candi-candi di Gunung Penanggungan.
Pada percandian periode Jawa Tengah, sumber ceritanya lebih banyak mengambil dari Jataka yang banyak menampilkan hewan sebagai perwujudan masa lalu Buddha. Hewan yang menjadi tokoh utama di Jataka lebih banyak bersifat protagonis.
"Hewan yang memiliki sifat mulia berinkarnasi menjadi Buddha. Kancil, singa, monyet, angsa, banyak di cerita itu mereka mengrbankan diri untuk kepentingan mulia. Sama dengan kebudhaan," jelas Dwi.
Baca juga: Di Balik Cerdik Licik Si Kancil
Dalam Kidung Tantri Kediri, filolog Revo Arka Giri Soekatno mencatat jumlah cerita Jataka mencapai 547. Di samping Jataka, sumber cerita binatang lainnya berasal dari India, yaitu Pancatantra.
Cerita binatang pada candi periode Jawa Timur lebih terlihat perpaduan cerita Jataka dan Pancatantra. “Di Jawa Timur memang kaitannya ada dengan dua naskah, tapi belum tahu mana yang lebih dominan,” ujar Dwi.
Johannes Hertel, Indolog dari Jerman, percaya naskah Pancatantra dibuat oleh Wisnusarman, seorang brahmana, di Kashmir sekira 200 SM. “Katanya ini sudah sejak masa weda,” kata Dwi. “Wisnusarman diperkirakan mengambil banyak tradisi lisan di kehidupan masyarakat. Bisa dari kalangan elite, bisa pula dari kalangan lebih luas. Mereka mengumpulkan lalu menulis dalam bentuk Pancatantra, dari cerita rakyat tradisi lisan.”
Baca juga: Majapahit dalam Kisah Panji
Dari segi cerita, tak jauh berbeda dengan Jataka yang lahir pada masa Buddhisme. Perbedaannya, ajarannya terdiri atas lima buku atau lima ajaran (Pancatantra). Ciri khas Pancatantra terutama ialah bahwa ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita bingkai yang disebut Kathamukha. Cerita-cerita ini kemudian dianyam menjadi satu dengan yang lain. Setiap cerita biasanya berbentuk prosa, moral cerita diringkas dalam bentuk seloka. Ketika Buddha masuk, cerita ini kemudian dikemas dengan bingkai Buddhisme. Beberapa cerita dimodifikasi, sampai kemudian tersebar saat tradisi Hindu-Buddha masuk ke Jawa.
“Sejauh ini bagaimana kaitannya dengan cerita lokal tidak tahu. Yang jelas sumbernya (cerita binatang dalam relief, red) dari kerangka besar Pancatantra dan Jataka,” kata Dwi.
Murti Bunanta, pakar dongeng dari Universitas Indonesia, mengatakan tak semua cerita binatang datang dari Indonesia. Sulit mengatakan dongeng binatang tertentu asli dari Indonesia. Pasalnya, di berbagai belahan dunia pun dikenal model cerita yang sama.
“Banyak cerita mirip tapi tokoh lain, misalnya tokoh penipu di seluruh dunia sepertinya ada. Seperti di Jawa kita kenal kancil, di Eropa ada rubah,” ujar Murti kepada Historia.
Baca juga: Bunga dan Buah pada Zaman Kuno
Menurut Murti cerita binatang sejak dulu hingga kini selalu berbicara soal moralitas. Penyampaiannya baik lisan maupun tulisan. Namun, pendengar dongeng pada masa lalu kemungkinan dari segala usia berbeda dengan sekarang yang dibedakan antara penikmat dewasa dan anak-anak.
“Ibaratnya kalau dulu seperti sedang menonton wayang. Anak-anak dan dewasa juga bisa ikut nonton. Dulu, ya campur saja,” kata Murti.
Murti menilai tak ada perbedaan signifikan antara menyampaikan pesan moral lewat cerita binatang dengan cerita yang bertokoh manusia. “Itu tergantung, tidak selalu cerita binatang lebih menarik anak-anak, misalnya. Tersampaikannya pesan juga sama saja,” lanjut Murti.