Masuk Daftar
My Getplus

Bertahan di Tanah Tandus

Tak ideal sebagai hunian, berbagai strategi dilakukan masyarakat yang dulu menghuni Situs Ratu Boko.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 21 Nov 2020

DIBANGUN di atas perbukitan kapur, Situs Ratu Boko terasa sunyi dan tenang. Udaranya sejuk. Pemandangan alam sekitarnya indah. Di kejauhan Gunung Merapi yang mencakar langit terlihat begitu jelas dan menawan. Sementara Candi Prambanan yang megah terlihat bagai miniatur dalam ruang pamer sebuah museum. Membuat siapapun yang berada di sana merasakan kedamaian.

Kedamaian itu pulalah yang dicari Rakai Panangkaran, penguasa Mataram Kuno abad ke-8 dari Wangsa Syailendra. Karena ingin fokus pada kehidupan spiritual, dia mengundurkan diri sebagai raja lalu menyepi dan membangun wihara, tempat ibadah sekaligus tempat belajar, berkumpul, dan tinggal para pendeta Buddha, di Bukit Boko.

Namun kemudian Bukit Boko pernah digunakan sebagai tempat tinggal penguasa daerah Walaing bernama Rakai Walaing Pu Kumbhayoni yang menganut Siwa atau Hindu. Tampaknya Rakai Walaing kemudian mengubah tempat itu menjadi hunian yang lengkap dengan peribadatan agama Siwa.

Advertising
Advertising

Baca juga: Di Balik Kisah Raksasa Pemakan Manusia di Ratu Boko

“Awalnya wihara, selanjutnya menjadi hunian umat beragama Hindu yang dilengkapi sarana peribadatan yakni miniatur candi dan candi pembakaran,” kata Andi Riana, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY), dalam diskusi daring “Menyelisik Keraton Prabu Boko” yang digelar BPCB DIY.

Dari keterangan prasasti dan peninggalan-peninggalan yang ada, menunjukkan bahwa di dataran Ratu Boko pernah berkembang dua agama, yakni Hindu dan Buddha, antara abad ke-8 hingga 9. Peninggalan ajaran Budha antara lain arca Dhyani Budha, stupika-stupika (stupa kecil), bekas bangunan stupa, dan gua-gua meditasi. Sementara peninggalan Hindu misalnya arca Durga, Garuda, Ganesa, lingga, yoni, candi miniatur, dan fondasi bangunan yang disebut candi pembakaran.

Lingkungan Tak Ideal

Situs Ratu Boko terletak sekira 3 km di sebelah selatan kompleks Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta. Situs ini berdiri di atas bukit dengan ketinggian 196 meter dari permukaan laut. Luas keseluruhan kompleks sekitar 25 hektar.

Dibandingkan situs lainnya, Ratu Boko memiliki keistimewaan tersendiri. Peninggalan-peninggalan di sana bukan hanya berwujud bangunan suci tapi juga bangunan lain yang bersifat profan (duniawi) seperti keraton dan situs hunian.

Baca juga: Senja di Atas Bukit Kapur

Saat digunakan sebagai hunian, kebutuhan para penghuninya pun semakin beragam dan kompleks. Kalau kata Andi Riana, tadinya penghuni wihara terbatas. Namun diperkirakan ada 100 orang yang menempati wilayah itu ketika sudah berubah fungsi. Saat itulah, dari tinggalan yang kini tersisa di Situs Ratu Boko, kita bisa melihat bagaimana masyarakat masa silam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

Situs Ratu Boko berada di wilayah perbukitan yang terdiri tanah berbatu dan cadas. Lokasi yang sebenarnya tak ideal untuk hunian. Menurut arkeolog BPCB DIY Manggarsari Ayuati dalam “Situs Ratu Boko: Suatu Bentuk Efektivitas Pengelolaan Lingkungan Masa Lampau”, Buletin Narasimha No. 4/IV/2011, sifat lapisan batuan di kawasan Bukit Ratu Boko tak mudah lolos air. Padahal keberadaan air tak hanya penting untuk kebutuhan sehari-hari tapi juga kebutuhan ritual.

Masyarakat di sana mungkin sudah menyadari. Solusinya, mereka membuat kolam-kolam penampungan air hujan di kawasan situs.

Baca juga: Raja Pembangun Bendungan

Tri Hartini, ketua unit kerja Situs Ratu Boko dan Candi Ijo BPCB DIY, menjelaskan kolam dibuat dengan melubangi batuan induk. Dengan demikian air bisa bertahan selama setahun karena sifat batuannya tak mudah rembes. Ketinggian kolam pun dibuat tak sama. Tujuannya agar air pada satu kolam yang meluap akan mengalir dan mengisi kolam di sebelahnya yang lebih dalam.

“Ini hukum Archimedes,” jelas Tri menyebut ahli matematika dan fisika dari Yunani yang tersohor. “Jadi walaupun di sana tidak ada sumber air, ini bukan jadi masalah. Air ini juga dikelola dengan baik sehingga tidak terbuang percuma,” katanya.

Berbagai macam pohon dan ribuan bibit semak ditanam di area Ratu Boko untuk mengatasi gersang dan menambah keindahan. (Dok. Bakti Lingkungan Djarum Founfation)

Mempercantik Ratu Boko

Gersangnya wilayah Situs Ratu Boko masih terasa hingga kini ketika kawasan itu  telah menjadi objek wisata populer di Yogyakarta. Di siang hari, hawa panas menyergap.

Untuk mengatasi gersang dan menambah keindahan, berbagai macam pohon dan ribuan bibit semak ditanam di area Ratu Boko setahun lalu melalui Gerakan Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan) yang diinisiasi oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation. Penanaman dilakukan dengan menggandeng ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta.

Baca juga: Kisah Mistis Candi Borobudur

Dari 1.350 perdu dan semak berbunga yang ditanam di Situs Ratu Boko, terdapat jenis bugenvill, tanjung, soka, dan kepel. Menariknya, dua tumbuhan di antaranya ternyata pernah ditanam pada masa Ratu Boko dihuni dulu.

Nugrahadi Mahanani dalam skripsinya di Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada tahun 2013 berjudul “Vegetasi Lingkungan Situs Ratu Boko: Analisis Atas Pollen Sedimen” menulis kalau soka atau asoka (Jonesia asoka Roxb) adalah salah satu tanaman hias di Situs Ratu Boko. Nugrahadi mengidentifikasinya lewat analisis serbuk sari yang ditemukannya dalam sampel tanah di area sebelah barat daya Batur Pendopo dan sebelah barat Batur Miniatur Candi.

Baca juga: Menjemput Berkah dari Situs Percandian Muarajambi

Sementara tanjung agaknya menjadi tanaman yang umum dijumpai pada masa Jawa Kuno dan dipahatkan dalam relief sejumlah candi. Baik soka/asoka maupun tanjung juga disebut dalam prasasti abad ke-8 hingga 10 dan Kakawin Ramayana, kesusastraan Jawa Kuno yang dibuat sekitar tahun 870 M.

“Selain akan mempercantik wilayah Situs Ratu Boko, gerakan ini diharapkan dapat mendorong generasi muda untuk semakin mencintai dan mempelajari warisan sejarah yang ada di Indonesia,” ungkap Tri Hartini yang ikut mengapresiasi Gerakan Siap Darling.*

TAG

siap darling candi darling darling squad bakti lingkungan djarum foundation

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Kisah Raja Lalim AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia