MAKAM bermarmer merah muda terpuruk di tengah makam-makam kecil. Beringin raksasa melindunginya dari matahari dan hujan. Helaian daun kering dan batu-batu hitam memenuhi bagian tengah tempat peristirahatan terakhir itu. Warga Desa Keramat, Tapos (perbatasan Bogor-Depok) mengenalnya sebagai makam Nyimas Utari Sanjaya Ningrum.
“Sebenarnya nama beliau adalah Nyimas Utari Sandijayaningsih,” ujar Ustad Sukandi (42 tahun), tokoh masyarakat Desa Keramat.
Sukandi mendengar kisah dari orang-orang tua di Desa Keramat bahwa Nyimas Utari merupakan agen intelijen Kerajaan Mataram. Sultan Agung Hanyokrokusumo menugaskan dia untuk membunuh Gubernur Jenderal VOC pertama, Jan Pieterszoon Coen dalam penyerangan kedua Mataram ke Batavia.
“Tugas itu berhasil dia jalani. Leher Coen berhasil dipenggalnya dengan golok Aceh,” ungkapnya.
Baca juga: Kehabisan peluru, pasukan Belanda melempari pasukan Mataram dengan tahi
Keterangan Sukandi dibenarkan Ki Herman Janutama. Sembari mengutip Babad Jawa, sejarawan asal Yogyakarta itu menyebut bahwa pemenggalan kepala Coen merupakan misi rahasia yang sudah lama direncanakan dengan melibatkan grup intelijen Mataram, Dom Sumuruping Mbanyu (Jarum yang Dimasukan Air).
“Orang sekarang mungkin akan kaget kalau dikatakan militer Mataram memilik kesatuan telik sandi sendiri, tapi bagi kami yang akrab dengan manuskrip-manuskrip tua dan cerita-cerita lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, hal ini tidak aneh,” ujar Ki Herman.
Infiltrasi telik sandi Mataram ke Batavia sudah dirancang sejak 1627. Dengan mengerahkan orang-orang Tumenggung Kertiwongso dari Tegal, komandan kelompok intel Mataram Raden Bagus Wonoboyo membangun basis di wilayah bantaran Kali Sunter di daerah Tapos. Untuk melengkapi kerja-kerja rahasia tersebut, Wonoboyo mengirimkan putrinya yang memiliki kemampuan telik sandi mumpuni, Nyimas Utari, untuk bergabung dengan agen telik sandi asal Samudera Pasai, Mahmuddin.
“Dia memiliki nama sandi: Wong Agung Aceh. Dia kemudian menikahi Nyimas Utari,” kata Ki Herman.
Dari Aceh, kedua agen intelijen itu memasuki benteng VOC di Batavia dengan kamuflase sebagai pebisnis. Mereka memiliki kapal dagang yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar. Mereka lantas dipercaya Coen sebagai mitra bisnis VOC. Begitu dekatnya, hingga mereka memiliki akses ke kastil dan bergaul dengan Eva Ment, isteri Coen, dan anak-anaknya.
Baca juga: Pendiri benteng VOC, Jan Pieterszoon Coen tidak suka dengan nama Batavia
Pada 1629, balatentara Mataram menyerbu Batavia. Di tengah kekacauan dan kepanikan, Nyimas Utari membunuh Eva dan anak-anaknya dengan racun lewat minuman. Mahmuddin berhasil menyelinap ke ruangan Coen dan membunuhnya.
“Guna bukti kesuksesan misi mereka ke Sultan Agung, Nyimas Utari dengan menggunakan golok kepunyaan Mahmuddin memenggal kepala Coen,” ujar Ki Herman.
Sambil membawa kepala Coen, Mahmuddin dan Nyimas Utari diloloskan pasukan penyelundup Mataram dari dalam benteng VOC. Namun, saat pelarian tersebut mereka dihujani tembakan meriam yang menewaskan Nyimas Utari. Mahmuddin membopong jasad istrinya hingga wilayah Desa Keramat, tempat dia dimakamkan.
Kepala Coen diambil oleh Wonoboyo. Secara estafet, kepala itu dibawa lewat jalur Pantai Utara oleh tentara Mataram di bawah komandan Tumenggung Surotani. Sultan Agung memerintahkan untuk menanam kepala itu di baris ke-716 tangga menuju makam raja-raja Jawa di Imogiri.
“Hingga kini, para peziarah yang paham cerita ini akan melangsungkan ritual pengutukan terhadap jiwa Coen dengan cara menginjak-injak tangga ke-716 seraya mengeluarkan sumpah serapah dari mulut mereka,” ujar Ki Herman.
Baca juga: Jan Pieterszoon Coen memimpin pembantaian orang Banda
Kendati kematian Coen terkesan mendadak, namun secara resmi kalangan sejarawan Belanda meyakini kematiannya karena penyakit kolera. Menurut H.J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram, pada 17 September 1629, Coen masih terlihat segar bugar saat memeriksa kesiapsiagaan tentaranya untuk mempertahankan Batavia.
“Pada 20 September malam dia mendadak jatuh sakit dan sekitar jam satu malam dia meninggal dunia,” tulis De Graaf.
Dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi, sejarawan Alwi Shahab mengutip versi Belanda yang menyebut jasad Coen kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda yang kini menjadi Museum Wayang). Namun, sejarawan Sugiman MD dalam Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, meragukan bahwa makam itu berisi jasad Coen.
Terlebih menurut arkeolog Chandrian Attahiyyat, para arkeolog Belanda memastikan bahwa di makam itu tidak ditemukan jasad berupa tulang belulang saat mereka melakukan penggalian pada 1939. Supaya komprehensif, seharusnya penggalian pun dilakukan di Imogiri.
“Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkelogi soal kebenaran versi Babad Jawa tentang terbunuhnya Coen,” ujarnya.
Baca juga: Sepuluh fakta tentang VOC yang belum banyak diketahui orang