Seorang teroris menyusup dan menyerang Markas Besar Polisi Republik Indonesia di Jakarta, 31 Maret 2021. Teroris itu menembaki polisi yang sedang berjaga. Aksinya berakhir setelah polisi berhasil menembaknya. Teroris itu pun putus napas. Jenazahnya terbaring di halaman Mabes Polri. Dari keterangan polisi, teroris itu bernama Zakiah Aini.
Zakiah Aini sebenarnya nama yang bagus. Berasal dari bahasa Arab, Zakiah berarti terang atau bersinar. Sedangkan Aini artinya mata saya. Empat puluhan tahun lalu, nama depan teroris ini pernah tenar. Banyak orang merapal namanya.
“Zakia, Zakia penari gurun pasir ternama. Zakia, Zakia terpesona aku melihatnya.” Begitulah kaum tua, muda, pecinta musik rock, dan pecinta musik dangdut merapalnya hari demi hari. Tapi Zakia bukanlah sosok nyata. Dia sosok dalam lagu ciptaan Ian Antono dan Achmad Albar, dua personel Godbless, grup musik rock sohor 1980-an.
Lagu “Zakia” menceritakan perempuan penari dari gurun pasir. Dia mempesona. Lirikan mata, goyang pinggul, dan senyumnya kekal di pandangan orang yang melihatnya. Tapi Zakia hanya muncul sepintas. Dia menghilang. Sampai orang-orang merindukannya.
Baca juga: A. Rafiq, Elvis Menyanyi Dangdut
Seperti Zakiah teroris itu, kemunculan lagu “Zakia” juga bikin geger. Bagaimana tidak? Seorang Raja Rock tanpa mahkota bernama Achmad Albar menyanyikan lagu bernuansa dangdut. Albar merilis “Zakia” bersama delapan lagu lainnya dalam album bertajuk Zakia pada 1979.
“Album dangdut pertama Achmad Albar yang aji mumpung ketika dangdut melejit dan populer di akhir 1970-an,” kata Sulaiman Harahap, sejarawan peneliti dangdut dari Studio Sejarah. Peralihan Achmad Albar ke musik dangdut mendapat protes keras dari penggemarnya.
Fans Albar tak percaya idolanya sampai hati menyanyikan lagu dangdut. Bagi mereka, dangdut adalah musik kampungan, musik kelas bawah. Menurut Sulaiman, kebencian fans rock terhadap dangdut telah mengemuka sejak 1970-an.
“Bahkan terlempar hinaan yang lebih kasar lagi dari grup rock asal Bandung, Giant Step, bahwa musik dangdut ‘Taik Anjing’,” terang Sulaiman dalam penelitiannya, The Voice of Moslem: Dangdut Dakwah Rhoma Irama bersama Soneta 1973–2000.
Karena dangdut sering mendapat hinaan, seorang musisi dangdut bernama Rhoma Irama berupaya mengangkat marwah dangdut melalui grup Soneta. Usahanya berhasil. Dia pun mendapat julukan Raja Dangdut. Dia punya fans fanatik dan setia. Fans ini akan menyerang siapapun yang menghina dangdut. Pertikaian fans dangdut dan rock tak terelakkan lagi.
Ketika ketegangan fans dangdut dan rock makin tinggi, Rhoma mengajak Raja Rock Achmad Albar untuk manggung bareng. Albar menerima ajakan itu. Dua raja ini pun tampil bareng di Istora Senayan pada 31 Desember 1977.
“Pagelaran musik tersebut dibuka dengan pelepasan burung merpati sebagai simbol perdamaian, kemudian berlangsung dengan kemeriahan, dan berakhir pukul 23.00 dengan berangkulan dan penyematan kembang kepada Achmad Albar dan Rhoma Irama yang penuh nuansa persahabatan,” terang Sulaiman.
Dua raja itu telah berdamai. Tapi fansnya tidak. Fans rock masih sering mengejek dangdut. Tapi ejekan mereka tak mencegah dangdut bertumbuh dan membesar. Popularitas dangdut tumbuh lebih cepat daripada musik rock pada akhir 1970-an.
Baca juga: Semarak Konser Musik Rock di Indonesia
Dangdut menjadi seperti candu. “Penyanyi pop yang dulu setengah mati jijiknya sama dangdut kini rame-rame nyanyi dangdut sambil mencuap: Dangdut memang enak dan memasyarakat,” tulis Mira Sato dalam Kompas, 10 September 1979. Mira Sato adalah nama samaran Seno Gumira Ajidarma pada 1970-an.
Dangdut juga mulai masuk siaran TVRI. Di mana-mana orang terbius dangdut. Popularitas dangdut mendatangkan uang berkoper-koper bagi para musisi dan produser rekaman. Dari sini muncullah sebuah ide gila Masheri Mansyur, wartawan majalah musik Junior. Bagaimana jika musik dangdut dinyanyikan oleh Raja Rock?
Ide itu tak hanya gila, tapi juga provokatif. Ini akan memancing kemarahan para fans rock. Belum tentu juga Raja Rock bersedia menyanyikan musik dangdut. Tapi Achmad Albar secara mengejutkan menerima ide itu.
“Dangdut memang bukan main. Semua orang diseret dan digoyangkannya. Kali ini giliran Achmad Albar, si kribo yang dulu pernah perkasa dengan God Bless. Didahuluinya dengan segala macam persiapan, termasuk gosip ia tampil kini dengan ‘Zakia’,” ungkap Efix, pengulas musik 1970–1980-an, dalam “Tantangan untuk Achmad Albar” termuat di Kompas, 22 Juli 1979.
Baca juga: Achmad Albar dan Nyanyi Sunyi Rambut Kribo
Albar mengungkapkan alasan mengapa dia menyanyi dangdut. “Di negeri ini, musik kita musiman... Sebagai artis, sudah sepatutnya kita mengikuti aliran yang ini dan yang itu. Ini kalau kita ingin hidup dari profesi pemusik,” kata Albar dalam Aktuil, 3 Agustus 1981.
Albar memang butuh duit. Dia bilang sedang membangun rumah pribadinya di kawasan Pondok Labu, Kebayoran.
Almarhum Denny Sakrie, penulis sekaligus pengarsip musik, juga yakin alasan Albar menerima tawaran itu karena uang. “Menerima kontrak senilai Rp25 juta pada tahun 1979 untuk membuat album dangdut bertajuk Zakia yang dirilis oleh Sky Record. Saat itu, Rp25 juta adalah angka yang fantastik,” tulis Denny dalam dennysakrie63.wordpress.com
Baca juga: Sejarah Musik Dugem
Untuk menggarap musik Zakia, Albar mengajak Ian Antono dan Abadi Soesman. Penggarapannya tak lama. Musiknya cepat selesai. Begitu pula dengan liriknya. Penampilan perdana Achmad Albar berdangdut dengan membawakan “Zakia” terjadi di TVRI, Juni 1979, menjelang bulan puasa.
Di acara itu, Achmad Albar membawa pula Ratu Dangdut Elvy Sukaesih, yang kasetnya laku bertruk-truk. Elvy tampil sebagai Zakia, penari dari Timur Tengah. Mengenakan setelan berwarna keemasan, Elvy mahir mempertontonkan tari perut. Nuansa Timur Tengah sangat kental dalam acara itu.
Setelah acara itu, Albar merilis kaset album Zakia. Hasilnya laris-manis tanjung kimpul. Orang-orang membelinya dan menyetelnya kencang-kencang di radio. Fans musik rock pun ciut. Tak sedikit di antara mereka akhirnya menyerah dan diam-diam mendengarkan “Zakia” sembari membayangkan Elvy Sukaesih bergoyang di hadapannya.
“Zakia, Zakia, tak seorang pun dapat mengerti bila ku katakan aku selalu merindukannya”.