Masuk Daftar
My Getplus

Teror Arwah di Rumah Bersejarah

Bertabur jump scare yang memacu adrenalin, film besutan sutradara kembar Australia ini menyajikan drama historis nan apik.

Oleh: Randy Wirayudha | 23 Mar 2018
Judul: Winchester | Sutradara: Peter & Michael Spierig | Produser: Tim McGahan, Brett Tomberlin | Pemain: Helen Mirren, Jason Clarke, Sarah Snook, Finn Scicluna-O’Prey, Tyler Coppin, Eamon Farren | Produksi: Bullitt Entertainment, Diamond Pictures, Imagination Design Works | Distributor: Lionsgate, CBS Films | Genre: horor supranatural | Durasi: 99 menit | Rilis: 2 Februari 2018.

HENRY kecil (Finn Scicluna-O’Prey) terbangun di tengah malam dan melengos keluar kamar begitu saja, seolah ada kekuatan gaib yang menuntunnya. Sang ibu, Marian Marriott (Sarah Snook), sesaat setelahnya kebingugan mencari putranya yang akhirnya didapati sudah terpaku di ujung lorong dekat tangga. Marion melihat mata Henry memutih pertanda kerasukan roh. “Mereka mengincar kita!” seru Henry menunjuk sisi atas tangga yang mentok langit-langit.

Sekelebat penampakan yang hadir dalam teknik jumpscare menutup adegan di menit-menit awal film ini. Film besutan sutradara kembar Peter dan Michael Spierig ini mengisahkan drama-horor di sebuah rumah berasitektur era Victoria nan bersejarah, Winchester Mystery House atau Puri Misteri Winchester, di San Jose, California, Amerika Serikat dengan latar waktu tahun 1906.

Setelah adrenalin dipacu jump scare di scene pembuka, penonton diajak mendalami kisah nyata di balik misteri rumah dan pemiliknya, Sarah Lockwood Winchester (Helen Mirren). Sarah merupakan janda William Wirt Winchester, pemilik Winchester Repeating Arms Company. Kepemilikan 50 persen saham di perusahaan itu membuat Sarah perempuan terkaya era itu.

Advertising
Advertising

Sarah hidup dalam duka setelah ditinggal mati suami dan bayinya. Kedukaan ditunjukkannya dengan selalu mengenakan busana bernuansa hitam. Sarah percaya kehidupan keluarganya dikutuk. Selain kian menutup diri, perangainya pun mulai tak masuk akal.

Kondisi Sarah membuat cemas anggota dewan direksi Winchester Repeating Arms Company. Arthur Gates (Tyler Coppin), salah satu anggota direksi, langsung meminta bantuan dokter jiwa Eric Price (Jason Clarke). Dia tak ingin perilaku-perilaku ganjil Sarah merugikan perusahaan.

Dokter Price awalnya tak percaya paparan Sarah bahwa keluarganya dikutuk hantu-hantu gentayangan. Roh-roh yang mendiami rumah berlantai tujuh itu merupakan roh mereka yang mati akibat senapan buatan Winchester, baik kala Perang Saudara Amerika maupun akibat tindak kriminal. Tapi lama-kelamaan, Price percaya banyak arwah di rumah itu.

Sambil menyelipkan sejumlah jump scare, Spierieg bersaudara tak lupa melukiskan alasan Sarah membangun sendiri sejumlah desain interior ganjil yang berkaitan dengan angka 13 dan kamar-kamar yang disegel palang kayu. Kamar-kamar itu dibuat memang untuk didiami para hantu yang senantiasa menggentayanginya. Sarah selalu mendesainnya di tengah malam dan dalam kondisi kerasukan.

“Jadi, hantu-hantu itu yang membangun rumah seperti ini?” tanya Price. “Ya, kamar-kamar yang dipalangi untuk mereka yang belum bisa tenang agar terkunci di dalam kamar. Jika arwah mereka sudah bisa tenang, kamarnya akan dibuka dan dibongkar lagi untuk ditempati arwah lainnya,” jawab Sarah.

Pada suatu tengah malam, Sarah merasakan kehadiran arwah yang lain dari biasanya. Arwah dengan kekuatan jahat itu ternyata yang merasuki tubuh Henry hingga Henry nyaris membunuh Sarah dengan senapan Winchester-nya. Ternyata, itu arwah Kopral Benjamin Block (Eamon Farren), prajurit Pasukan Konfederasi yang tewas oleh senapan Winchester pasukan Serikat di Perang Saudara Amerika. Kedua saudaranya juga tewas akibat tembakan senapan Winchester. Arwah Block tak hanya meneror Sarah dan Price, tapi juga Marion, keponakan Sarah yang menemani di rumah itu, beserta Henry putranya.

Drama panjang nan menegangkan itu mencapai akhir di sebuah klimaks yang dengan apik dihadirkan sutradara. Dengan scene perpaduan gempa dahsyat San Fransisco, 18 April 1906, dan rajutan plot seperti keterkaitan Price dengan kutukan Winchester, Spierig bersaudara sukses membuat ending apik. Spierig bersaudara tak lupa menyisipkan keterangan akhir bahwa Sarah terus merenovasi rumahnya sampai akhir hayatnya pada 1922.

[pages]

Fakta dan Pakem Sejarah

Film dengan sound effect yang amat “ngefek” ini dibuat dengan cukup apik baik detail maupun sejarahnya. Wardrobe, properti, dan gaya/karakter pemeran cukup bisa membangun atsmosfer masa pasca-era Victoria.

Namun, kebocoran akurasi fakta sejarah tetap ada lantaran adanya alur dan karakter fiktif. Tokoh Henry Marriott, misalnya, diceritakan merupakan putra dari Marian Marriott, keponakan Sarah. Padahal, faktanya Marian tak punya anak.

“Dia dan mendiang suaminya mengadopsi seorang anak perempuan, namun itupun setelah kejadian yang ada dalam film (pasca-gempa 1906),” ungkap kolumnis Sal Pizarro dalam artikelnya di The Mercury News, 2 Februari 2018. Lalu, pada 1906, yang merupakan setting waktu film, Marian faktanya sudah tak lagi menemani bibinya. Dia pindah setelah menikah dengan Frederick Marriott.

Di sisi lain, patut diapresiasi bahwa sutradara tak ingin melupakan sejumlah kecanggihan yang tercetus dari kreativitas Sarah seperti sistem drainase, alat komunikasi internal rumah, hingga ide sepatu roda. Namun yang menjadi kekeliruan, terkait ide sepatu roda baru muncul 20 tahun dari set film (1906).

Film ini juga cacat di alur yang tak sesuai pakem sejarah. Selain di scene pembantaian balas dendam Kopral Block terhadap para karyawan perusahaan Winchester, ketidaksesuaian terjadi di scene gempa. Dalam film, gempa digambarkan terjadi tak lama setelah jam 12 tengah malam. Padahal, aslinya gempa itu terjadi saat fajar, sekitar pukul 05.12 pagi dan pastinya bukan gara-gara kemarahan arwah Kopral Block.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”