Pada masa sastra Jawa Baru abad 18 hingga 19, banyak pujangga Jawa menulis serat yang bermuatan seks. Sebagian besar berisi ajaran dalam persenggamaan. Ada pula kisah-kisah tentang penyimpangan seks.
Adi Deswijaya, filolog dan pengajar Program Pendidikan dan Sastra Daerah FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, memaparkan mengenai teks-teks tesebut dalam Dialog Sejarah “Seks Zaman Dahulu Kala dari Fetish sampai Bestialitas” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa, 11 Agustus 2020.
Teks pertama adalah Babad Tanah Jawi, yang memuat banyak kisah asmaradahana atau api asmara di kalangan para raja dan bangsawan. Dalam babad ini perebutan wanita antara para raja adalah hal umum. Semisal, Sultan Amangkurat Mataram merebut Ratu Malang, istri Ki Dalem, yang berujung pada kematian Ki Dalem. Amangkurat juga pernah menyukai Rara Hoyi, anak Ki Mangunjaya dari Surabaya, yang masih kecil. Rara Hoyi ketika sudah dewasa juga dijadikan rebutan oleh Adipati Anom, putra Amangkurat.
Baca juga: Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I
Perebutan wanita kala itu merupakan hal umum dalam relasi antar-kerajaan bahkan antar-keluarga dan saudara yang berakhir pada pembunuhan-pembunuhan. Kisah persenggamaan antara Panembahan Senopati dan Ratu Pantai Selatan juga muncul dalam babad ini.
“Nah hal-hal semacam itu merupakan asmaradahana. Api asmara, perselingkuhan, percintaan dan lain sebagainya yang menyelimuti para bangsawan saat itu,” jelas Adi.
Teks kedua yang dirujuk Adi adalah Serat Centhini yang ditulis pada 1814-1823. Serat yang diprakarsai oleh Kanjeng Pangeran Adipati Anom Amengkunagoro III yang kemudian bergelar menjadi Pakubuwono V ini sebenarnya merupakan sebuah ensiklopedia jawa. Seks hanya salah satu bagian di dalamnya.
“Di situ diceritakan Seh Amongraga dan Ken Tambangraras dalam melakukan persetubuhan tidak langsung menikah langsung copot-copot baju langsung, jadi tidak. Menunggu 40 hari baru melakukan persetubuhan, cumbana,” kata Adi merujuk Serat Centhini Kamajaya Jilid 6.
Dalam serat itu, diceritakan pula penyimpangan seks berupa persenggamaan dengan kuda yang disebut sebagai bentuk pegobatan. Dalam Centhini Kamajaya Jilid 10 dikisahkan bahwa Ki Kulawirya mendapat mimpi untuk menyembuhkan Nuripin yang terkena penyakit raja singa harus bersenggama dengan kuda.
Baca juga: Meleburkan Seks dan Mistik
Sementara, dalam Centhini Jilid 9 Pupuh 568-583 diceritakan tentang perilaku seks di luar nikah. Kisah itu dilakukan tokoh bernama Banem. Perempuan perawan itu mendatangi Jayengraga, tamu laki-laki di rumahnya, untuk diajari berhubungan seks.
Serat Centhini juga berisi bagaimana cara bersenggama agar dapat menghasilkan anak laki-laki atau perempuan. Di dalam Centhini juga terdapat teks tentang seks bernama Saresmi. Namun, Saresmi ditulis kembali menjadi satu teks sendiri oleh beberapa pujangga. Saresmi berisi perintah dan larangan, tata-cara hingga anjuran waktu dalam bersenggama.
Teks ketiga yang dipaparkan Adi adalah Narasawan yang ditulis pada 1930-an (Nara berarti laki-laki, sawan berarti kesurupan karena hal ghaib). Teks ini menceritakan persetubuhan manusia dengan hewan dan makhluk halus. Ada 10 hewan yang disebut teks ini: lembu estri, mesa kapal, menda gembel estri, menjangan, menda jawi, maesa bule, lembu pohan, wawa estri, rangutan, munyuk gerang. Sementara, makhluk halus yang disebutkan ada tiga: genderuwo, peri sari, dan kuldi wadon.
Menurut Adi, Narasawan mirip dengan teks Cekruk Truno, dongeng yang berkisah tentang seorang pemuda pengangguran yang ingin menjadi ledhek, saudagar, hingga menjadi hakim namun tidak pernah melakukan usaha apapun.
Baca juga: Kegilaan yang Tersembunyi
“Dan Narasawan ini sendiri menurut saya, itu sepertinya adalah sebuah karya sastra yang hanya sebuah dongeng. Karena Cekruk Truno sendiri adalah dongeng,” kata Adi.
Selain bersenggama dengan hewan, ada pula teks yang menyebut tentang penyimpangan seks, semisal Serat Trilaksita. Lima penyimpangan yang disebutkan dalam Trilaksita yakni ngoyag-oyag turus ijo atau menyukai anak wanita yang masih belum bersuami, ngrusak pager ayu atau menyukai istri dari sadara sendiri atau tetangga, anggege mangsa atau menyukai anak yang belum menginjak akhil balig, meksa saresmi atau memaksa berhubungan badan (memperkosa) dan anjejamah atau orang yang senang bersenggama tanpa memandang situasi.
Pembahasan seks juga dimuat Kawruh Sanggama, yang merupakan ajian asmaragama yang didapat Bathara Guru dari Sang Hyang Tunggal dengan bertapa. Karena sebelumnya mendapat empat putra yang berwatak tidak baik, Bathara Guru lalu mencari ajian asmaragama hingga kemudian berputrakan Sang Hyang Whisnu.
Kawruh Sanggama menjelaskan bagaimana cara agar mendapat anak yang baik, memuaskan wanita, tatacara bersenggama, hingga halangan-halangan dalam bersenggama. Terdapat pula catur brata untuk aji asmaragama. Catur brata merupakan empat hal yang harus dilakukan suami kepada istri dalam hubungan senggama. Yang pertama, lila atau mengikuti permintaan istri, kemudian narima atau menerima atas pelayanan yang disiapkan istri, temen atau menepati janji dan sabar atau tidak senang marah, dan selalu memberi maaf atas kesalahan istri.
Baca juga: Paradoks Centhini
Selain Babad Tanah Jawi, Centhini, dan Narasawan, masih banyak kisah-kisah lain yang sebagian juga disadur dari serat-serat induk itu. Teks-teks itu kebanyakan tersimpan di perpustakaan Keraton Surakarta dan Yogyakarta serta koleksi pribadi perpustakaan swasta atau yayasan.
Dari sekian banyak teks tentang persenggamaan yang banyak ditulis pujangga di lingkaran keraton, Adi belum menemukan teks yang mengisahkan pengalaman senggama rakyat biasa atau dari luar keraton.
“Kalau untuk teks-teks di luar keraton itu memang hanya sebatas perjalanan, cerita rakyat. Tetapi kalau untuk wulang-wulang itu kebanyakan dari raja, pujangga, kepada para putranya,” jelas Adi.