- Darma Ismayanto
- 6 Feb 2012
- 4 menit membaca
Diperbarui: 19false51 GMT+0000 (Coordinated Universal Time)
TUANGKAN ke dalam gelas, dan lihat sensasinya. Buih-buih busa menebal dan naik ke permukaan, sementara gelembung-gelembung kecil di antara cairan berwarna kekuningan berebut naik. Ketika menyesapnya, rasanya agak pahit di lidah dan kehangatannya menelusuri tenggorokan.
Penemuan bir berkaitan erat peralihan dari tradisi hidup berpindah-pindah (nomaden) ke hidup menetap yang dikenal dengan sebutan Revolusi Neolithik. Saat itu, selain beternak, manusia mulai bercocok-tanam barley (sejenis tumbuhan semacam gandum), beras, dan gandum. Selain diolah jadi makanan, biji-bijian itu juga dipakai untuk membuat minuman sejenis bir. Epos Gilgamesh, puisi epos dari Babilonia yang ditulis pada 3.000 SM, menyebutnya sebagai evolusi dari manusia primitif ke “manusia berbudaya” lewat kisah Enkidu yang “meminum tujuh cangkir bir dan hatinya melambung. Dalam kondisi ini ia mencuci dirinya sendiri dan menjadi manusia.”
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.












