KETIKA lahir, bukannya menangis, bayi itu tertawa. Orangtuanya memberinya nama Adika Fajar (Reza Rahadian). Kerap diajak orangtuanya nonton pertunjukan Gema Malam Srimulat, Adika tumbuh sebagai remaja yang mengidolai kelompok tawa tersebut.
Adi menjalani hidup yang sempurna. Dia sukses membangun karier di sebuah event organizer (EO). Istrinya yang cantik, Astrid Lyanna (Rianti Cartwright), sebentar lagi bakal memberinya keturunan. Namun masalah muncul. Rekan kerjanya, Jo Lim (Fauzi Baadilla), berkhianat dan menempatkan EO-nya ke jurang kebangkrutan.
Di tengah kegalauan, ketika mobilnya mogok di dekat sebuah warung soto milik Kadir, salah satu dari legenda Srimulat, terbersitlah ide. Adi menapaki kemungkinan membawa Srimulat kembali pentas. Bersama Kadir, dia menyambangi anggota Srimulat yang masih tersisa, dari Tessy, Mamiek, Nunung, hingga Gogon. Mereka juga meminta restu mantan primadona Srimulat, Jujuk, yang ternyata menyambut ide ini dengan antusias serta mengajak mereka berziarah ke makam pendiri Srimulat, Teguh dan RA Srimulat.
Baca juga: Selamat jalan Gogon, si rambut jambul
Namun mereka menghadapi masalah biaya pementasan. Calon penyandang dana tiba-tiba meninggal dunia. Jujuk coba menginspirasi kawan Srimulat lainnya: “Kita ini pernah susah, makan kayak kere. Tapi, juga pernah makan kayak raja-raja. Lha kok sekarang mau pentas aja bingung soal dana, itu apa?”
Setelah melewat aral melintang, Adi akhirnya bisa menggelar pementasan Srimulat. Happy ending!
Melalui Finding Srimulat, sutradara Charles Gozali coba menggarap bukan hanya sisi humor yang biasa dihadirkan anggota Srimulat di pentas. Dia juga menyentuh sisi humanis, keseharian, kegairahan khas seniman panggung tradisional yang rela tak dibayar asal dapat manggung.
Tak pernah tenggelam
Siapa tak kenal Srimulat? Selama beberapa dekade, mereka berbagi kegembiraan dari atas panggung hingga layar kaca.
Kelahiran Srimulat tak bisa dilepaskan dari sosok Raden Ayu Srimulat. Sekalipun memiliki keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dia memilih terjun ke dunia kesenian rakyat. Dia aktif jadi pemain sandiwara panggung dan penyanyi. Bersama Teguh Slamet Rahardjo, suaminya, dia lalu mendirikan Gema Malam Srimulat, kelompok seni keliling yang memadukan lawak dan musik, pada 1950.
Srimulat bertransformasi sepenuhnya menjadi sebuah grup lawak pada 1961 ketika menetap di Surabaya. Mereka jadi penghibur tetap di Taman Hiburan Rakyat. Popularitas Srimulat terangkat. Srimulat kemudian mendirikan cabang di beberapa kota.
Di Solo mereka tampil di Balekambang dan Sriwedari. Hingga pada 1986 mereka terpaksa pindah ke Semarang lantaran sepi pengunjung. Hanya bertahan dua tahun, karena terus merugi, Srimulat Semarang dibubarkan. Teguh melakukannya karena “melihat tidak ada kemungkinan untuk dikelilingkan,” tulis Herry Gendut Janarto dalam Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi.
Baca juga: Kala fisik jadi bahan tawa
Di Jakarta, Srimulat tampil rutin di Taman Ismail Marzuki dan Taman Ria Senayan. Nama mereka kian berkibar ketika tampil di TVRI pada 1982. Namun keretakan membayangi. Tokoh-tokoh pilarnya mundur. Buruknya kepemimpinan Srimulat Jakarta di bawah Hendro hingga ketidakadilan dalam pembagian honor menjadi alasan.
Menurut Beawiharta dalam Ensiklopedi Nasional, memasuki pengujung 1980-an Srimulat Surabaya juga mulai limbung. Jumlah penonton merosot. Pemasukan menurun drastis. Namun Srimulat tetap bertahan, “dengan pendukung seadanya,” tulis Beawiharta.
Pada akhirnya, pada 1989, Srimulat bubar.
Berniat reuni, Srimulat –digawangi Jujuk dan Kadir– manggung di Taman Ria Senayan pada 1995. Tak dinyana meraih sukses. Mereka pun tampil di sejumlah stasiun televisi swasta. Meski secara organisasi telah bubar, nama Srimulat tak pernah benar-benar tenggelam. Para mantan anggotanya juga masih eksis sebagai penghibur, hingga kini.
Srimulat hadir kembali
Biasa tampil di atas pangung ternyata bukan jaminan para pemain Srimulat tampil bagus di depan kamera. Saat mereka dituntut bermain di luar pakem sebagai pelawak, dengan tampil serius, akting mereka terasa kaku dan kikuk. Misalnya saat Gogon bertemu kembali dengan Tessy dan Mamiek. Beberapa kali Tessy dan Gogon tak bisa menjaga fokus mata untuk tak melirik ke kamera. Hanya Jujuk dan Kadir yang dapat tampil wajar.
Kondisi serupa pernah terjadi pada 1970-an saat Srimulat terlibat dalam film Mayat Cemburu. Film ini produksi Srimulat Film Corporation Ltd, sebuah langkah yang diambil Teguh untuk merambah industri film. “Kaku dan kikuk. Mereka, sekali lagi, terlalu terbiasa main di panggung. Dialog misalnya, berjalan serba kontan dan spontan. Karenanya, begitu diatur, kehebatan mereka bertutur luntur,” tulis Herry Gendut Janarto. Film ini juga gagal secara komersial.
Dalam film Finding Srimulat, beberapa elemen kurang tergarap dengan baik; dari plot yang dangkal, konflik cerita di awal yang terasa terlalu “lurus” dan datar, hingga kronologis waktu yang membingungkan.
Di awal, mesti konflik telah hadir lewat pengkhinatan Jo Lim, tapi karena “keikhlasan” Adi menerima kenyataan itu, konflik terasa datar-datar saja. Begitu pula saat Adi merayu Kadir dan Tessy untuk mau berpentas kembali, terasa kurang “nendang”. Tak butuh waktu lebih dari 10 menit bagi Adi untuk meluluhkan hati mereka.
Baca juga: Kiprah Ratmi Sang Bomber 29
Detail kronologi waktu juga membingungkan. Dalam film, Adi diceritakan diajak nonton Gema Malam Srimulat oleh orang tuanya. Berarti itu terjadi pada 1950-an. Anehnya, dalam film, Adi menyebut dirinya lahir tahun 1986. Tentu saja di sekitaran tahun tersebut dia tak bakal berkesempatan mencicipi pentas Gema Malam Srimulat.
Sisi menarik dari film ini terlihat saat calon penyandang dana pertunjukan mendadak meninggal dunia. Di bagian ini, kita bakal melihat Tessy yang biasa tampil lucu mewek tersedu-sedu. Cukup menyentuh, tersirat betapa pentingnya arti sebuah pementasan bagi seorang seniman panggung tradisional.
Di luar kekurangannya, keputusan Gazali untuk mengangkat Srimulat patut diapresiasi. Selain dapat menghapus dahaga, film ini dapat memicu hadirnya kesadaran untuk memperhatikan nasib seniman tradisional.
Akankah Charles Gozali lewat Finding Srimulat dapat menciptakan kembali fenomena “reuni” jilid II? Kita lihat saja.