Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah dalam Pakaian Adat Sawu

Bagi orang Sawu, pakaian bukan sekadar penutup tubuh, melainkan identitas dan cara mereka merekam sejarah.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 14 Agt 2020
Presiden Joko Widodo memakai pakaian adat Sabu, Nusa Tenggara Timur, dalam Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Senayan, Jakarta, 14 Agustus 2020, dan menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT ke-75 Kemerdekaan RI. (Twitter @jokowi).

Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat suku Sabu atau Sawu saat mengucapkan pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR di Jakarta, 14 Agustus 2020. Setelan serba hitam Presiden Jokowi berpadu dengan selendang tenun dan ikat kepala keemasan khas Sawu. Pilihan berbusana Presiden Jokowi mendorong orang mencari tahu tentang pakaian Sawu.

Bagi orang Sawu, pakaian bukan hanya penutup tubuh, melainkan juga identitas dan cara mereka merekam sejarah. “Di sawu tekstil adalah sejarah,” kata Genevieve Duggan seorang Prancis peneliti kain Sawu kepada Historia.id beberapa waktu lalu.

Genevieve mengunjungi Sawu kali pertama pada 1990. Bekal pengetahuannya sedikit. “Tak banyak literatur membahas Sawu,” kata Genevieve.

Advertising
Advertising

Saat berkeliling Sawu, Genevieve menemukan banyak hal istimewa. Jauh dari apa yang dia ketahui tentang orang Sawu. Hasil budaya orang Sawu sangat unik dan bermakna: sistem sosial, pakaian, dan ritus hidup. Semua saling berkait.

Baca juga: Makna Menarik Kain Jarik

Genevieve begitu terpikat pada pakaian mereka. Orang Sawu berpakaian tenun ikat dengan beragam ornamen. Dan tiap kelompok penduduk memiliki motif masing-masing.

Terdorong minat dan rasa ingin tahu, Genevieve mengumpulkan informasi tentang tenun ikat orang Sawu. Dia tinggal bersama orang Sawu; mempelajari sejarah, budaya, dan bahasa mereka. "Tantangan paling besar adalah orang Sawu lebih lekat dengan tradisi lisan ketimbang tulisan. Dan lagi-lagi catatan tentang mereka masih sedikit," kata Genevieve. Tapi dia tak mau menyerah.

Ketekunan Genevieve selama delapan tahun berbuah tesis antropologi berjudul "Ikat Weavings and The Social Organisation on the Island of Savu, Eastern Indonesia", di Universitas Heidelberg, Jerman, pada 1998.

Melalui tesisnya, Genevieve berkesimpulan, "Kain tenun ikat dan motifnya mengungkapkan pesan yang bisa dibaca sebagai sebuah teks." Sebab orang Sawu tak memukimkan ingatannya di lembaran kertas, melainkan di dalam kain.   

Keahlian Menenun

Sawu termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terbagi atas tiga pulau kecil, luas totalnya hanya 749,5 km­2. Kalah jauh dari dua pulau tetangganya, Timor dan Sumba. Lantaran itu, Sawu cukup terkucil sejak masa kurun niaga (1450–1680). Padahal lautnya ramai dengan kapal-kapal Eropa. Mereka berlayar membawa cendana dan rempah-rempah dari dan ke kepulauan di Nusa Tenggara Timur.

Orang Portugis menguasai jalur perdagangan di laut Sawu. Mereka juga pernah menduduki Sawu. Kemudian orang Belanda (VOC) merebutnya. "Keterpencilan Sawu antara lain telah menyebabkan orang Portugis tidak dapat menahan VOC dari menguasai Sawu," tulis Nico L. Kana dalam Dunia Orang Sawu.

VOC memiliki catatan tentang kehidupan orang Sawu. Pegawai VOC, pada 1648, melaporkan laki-laki setempat mengenakan kain persegi panjang dari pinggul sampai bawah lutut (hig’i) bermotif belah ketupat (wohepi). Saat itu hig’i hanya punya dua warna: biru indigo dan putih.

Baca juga: Kain Kulit Kayu

"Orang Sawu percaya motif itu yang paling tua dan bertahan hingga sekarang," tulis Wanda Warming dan Michael Gaworski dalam The World of Indonesian Textiles.

Penduduk lokal punya cara untuk mencipta motif pada kain jauh sebelum orang Eropa mengenal teknik ini. Mereka mengikat benang (tali wangngu) pada alat tenun (langa tali). Orang Eropa menyebutnya teknik ikat. "…diperkenalkan di Eropa oleh Prof. A.R. Hein pada 1880," tulis Suwati Kartiwa dalam Tenun Ikat. Sedangkan warna diperoleh dengan mencelup benang (pallo wangngu) pada periuk tanah liat (arru pallo).

Tak semua penduduk bisa mengerjakan dua teknik itu secara sempurna. Perlu tempaan khusus dan waktu lama. Tugas itu jatuh ke perempuan. Maka perempuan Sawu belajar menenun sejak kecil. Hampir semua tenun ikat Sawu berasal dari perempuan dan bercerita tentang hidup mereka.

Genevieve Duggan, seorang Prancis peneliti kain Sawu. (Micha Rainer Pali/Historia.id).

Makna di Balik Motif

Perempuan Sawu terbagi atas dua klan matrilineal (hubi) besar. Ceritanya bermula dari lomba menenun moyang orang Sawu, yaitu dua saudari sekandung, Muji Babo (kakak) dan Lou Babo (adik). Waktunya tak pasti. Sekira 40 generasi lampau. Yang jelas, lomba itu berujung pertengkaran. Masing-masing mempertahankan keunggulan motif utamanya.

Motif utama (hebe) Muji Babo berciri persegi, geometris, tiga buah belah ketupat (wokelaku), dan berwarna lebih terang. Lou Babo punya motif utama lebih rumit. Berupa garis-garis bergelombang (ei ledo) dengan warna lebih gelap. 

Kemudian dua saudari itu berketurunan. Keturunan Muji Babo membentuk klan Bunga Palem Besar (hubi ae). Dari garis Lou Babo muncul klan Bunga Palem Kecil (hubi iki). Dua klan itu terpecah lagi menjadi beberapa benih (wini), sekira 20 generasi lampau. Yang berasal dari hubi ae antara lain wini D’ila Robo, Ga Lena, Pi’i, Mako, Migi, dan Raja. Sementara dalam hubi iki ada wini Jawu, Wara Tada, dan Pu Tenga. Semua wini itu terbagi lagi atas sub-sub wini.

Ragam hias semua wini hampir serupa; terbagi atas beberapa bagian seperti medi ae (baris hitam lebar), ehu (pusat motif), juli ngiu (motif kecil), raja (tenun lungsi tambahan), beka (sambungan tengah), henga (jarak kosong pada akhir baris ikat), dan wurumada (ujung atas dan bawah). Tapi motif utamanya bisa berbeda antara satu wini dengan lainnya. Bahkan antar sesama wini. Tergantung cerita moyang mereka.

Motif wini Ga Lena, misalnya, berasal dari pengalaman D’illa Tededari Mesara dan D’illa Nawadari Dimu. Mereka hidup pada masa pendudukan Portugis abad ke-16. Mereka mengunjungi Solor (Flores Timur) untuk membantu raja setempat. Dinilai berjasa, mereka beroleh keranjang pusaka yang berukir ornamen lokal. Mereka merekacipta ornamen itu dalam tenun saat kembali ke Sawu. Sebutan ornamen itu kobe morena.     

Baca juga: Cerita Menarik di Balik Pembentukan Provinsi NTT

Ada lagi cerita lain. Masih dari wini Ga Lena. Yang ini tentang penolakan perempuan terhadap rencana pernikahan buatan keluarganya. Mojo Lado, nama perempuan itu, kabur dari kampungnya, Nadawawi. Berarti dia tak bisa lagi memakai motif tenun ikat keluarganya.

Mojo Lado sampai di kampung Seba dan bertemu Haba Jami, Raja Seba. Mereka menikah meski aturan lokal tak memperkenankannya. Mojo Lado pun tak bisa memakai tenun ikat setempat. Identitas keturunan Mojo Lado terancam mengabur. Sebab di Sawu identitas seseorang dilihat dari pakaiannya. Maka dia mencipta motif baru, kobe molai. "Peristiwa ini berlangsung di akhir abad ke-16," tulis Genevieve dalam Woven Stories Traditional Textiles from the Regency Savu Raijua, katalog pada Pameran Tekstil Sawu Raijua. 

Sejarah di balik tenun ikat wini Pi’i dan Mako tak kalah menarik. "Dua klan ini terhubung dengan penguasa Sawu dan memiliki sejumlah motif. Terbatas untuk pemakaian para raja, terutama motif Patola," tulis Genevieve dalam Ikat Weavings and the Social Organisation on The Island of Savu, Eastern Indonesia. Motif ini berasal dari sutra ikat India.

Orang Portugis dan Belanda berperan mengenalkan motif ini. Mereka sering menghadiahkan sutra ikat India ke penguasa lokal dan bangsawan. Penenun dari wini Pi’i dan Meko mengubahsuaikan motif itu khusus untuk para raja. Orang biasa tak boleh mengenakannya. Kain itu disebut leba. "Sekarang leba tak mutlak untuk raja atau bangsawan karena kelas ini sudah tidak ada," kata Genevieve.

Leba juga bisa berbentuk naga. Ini ciri keturunan Dima Riwu. Keturunannya tak merujuk ke wini manapun. Dima Riwu keturunan Wenyi Daku, moyangnya wini Pi’i dan Mako. Dia menikah dengan Tero Weo, raja dari Menia (Sawu Barat).

Manuskrip Belanda abad ke-18 memuat nama Tero Weo. Dia senang bercanda dengan istrinya di sebuah kursi. Mamo Tero, putrinya, mengabadikannya pada tenun ikat dengan menambah ornamen naga. Genevieve menyebut ornamen ini "pinjaman" karena orang Sawu tak mengenal naga.   

Motif hewan terjumpa pula pada tenun ikat wini Mako. Ini kreasi otentik mereka. "Karena ayam jadi sesaji dalam semua ritual menenun mereka, perempuan wini Mako mengambil ayam sebagai simbol wini-nya untuk menghormati moyang mereka," tulis Genevieve. Ada dua sebutan untuk motif ini: manu (ayam) dan tutu (patuk). Bergantung pada posisi ayamnya, berdiri atau mematuk.

Sementara wini Wara Tada berutang pada hewan laut. Ceritanya beragam dan lebih kental dengan mitos. Tapi semua bermuara ke hewan laut. Moyang mereka hidup terhindar dari bencana karena binatang laut. Maka binatang laut jadi motif mereka. Tradisi ini berlanjut sampai sekarang. Dan terjewantah dalam laku hidup. Mereka tak berburu dan memakan ikan paus. Sekalipun paus itu terdampar. Malah mereka menutupi tubuh paus itu dengan kain tenun ikat.

Baca juga: Haus Berburu Paus

Selain binatang, wini Wara Tada memiliki motif lain. Biasa disebut jari leru (mulai mencari lebih dalam). Ini tentang harapan seorang ibu bertemu kembali dengan putrinya. Dia mencipta motif ini saat putrinya hilang. Sang ibu tak lain salah seorang moyang Wara Tada. Koleksi ini tersimpan di Tropenmuseum, Belanda.

Sebagian besar orang Sawu, terutama di Mesara, karib dengan laut. Mereka pelaut ulung dan mempunyai perahu khas, kapa. Semacam pinisi. Bentuknya lebih besar daripada kowa, perahu cadik tradisional. Kapa masuk dalam motif wini Pu Tenga karena cerita Toda Wadu. Dia pergi ke Sumba menggunakan kapa. Di sana dia menikah. Saat balik ke Sawu, saudarinya mencipta motif itu. "Sekitar 10-12 generasi lalu," kata Genevieve.

Perempuan memakai tenun Sawu. (Micha Rainer Pali/Historia.id).

Pengaruh Luar

Semua orang Sawu menganut kepercayaan asli, jingi tiu. Setidaknya sampai 1860-an, saat Misi Kristen masuk secara besar-besaran. Sawu mulai terbuka. "Apabila hingga pertengahan pertama dari abad ke-19, Sawu relatif terisolir, maka sepanjang dekade 1860-an secara beruntun Sawu mengalami kontak yang makin intensif dengan dunia luar," tulis Nico L. Kana. Pengaruhnya terasa di tenun ikat. Antara lain muncul teknik ikat tiga warna dalam satu lajur ikat.

"Tren baru dalam hal teknik ini memiliki tampilan menarik yang mungkin dikaitkan dengan kombinasi dari dua faktor: munculnya kelas penguasa baru dan konversi ke agama Kristen," tulis Genevieve dalam katalog Pameran Tekstil Sawu.

Daud D. Tallo dalam "Pergeseran Kebudayaan Orang Sawu Pada Fungsi Kain Tenun Ikatnya di Desa Limaggu–Kupang NTT", tesis untuk Universitas Indonesia, memandangnya sebagai hasil difusi kebudayaan. Difusi itu berimbas pada motif tenun ikat Sawu.

"Motif-motif ini muncul belakangan yakni pada zaman Belanda misalnya motif pohon yang diambil adalah bunga, daun atau sulur-sulur daun, hewan seperti singa, burung, kupu-kupu, dan sebagainya," tulis Daud. Perempuan Sawu beroleh motif itu dari buku, tirai, atau sarung bantal Eropa.

Baca juga: Kebaya Encim, Busana Tradisional Betawi yang Melintasi Zaman

Orang Sawu menggunakan tenun ikat bermotif tak asli untuk hidup keseharian. Tanpa perlu memandang asal-usul hubi dan wini-nya. Saat upacara ritus hidup seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, mereka wajib menggunakan tenun ikat bermotif khas hubi dan wini-nya. Mereka beroleh tenun ikat itu dari orang tua mereka secara turun-temurun.

Tradisi itu masih terjaga dengan sejumlah perubahan pada sisi teknis, tetapi bukan pada maknanya. "Demi masa depan yang lebih baik," kata Eu Dane O (48 tahun), perempuan penenun dari wini Ga Lega kepada Historia.id. Tapi dia khawatir juga kalau anak-anak Sawu lupa pada genealoginya. Mereka memang sudah bisa menulis dan membaca, tapi masih sulit mengenali motif masing-masing hubi dan wini. Apalagi perempuan muda penenun kian langka di Sawu. "Waktu mereka habis bersekolah. Pulang langsung mengerjakan tugas," lanjut Eu Dane O.

Kini bisnis pariwisata memikat banyak orang di Sawu. Wisatawan tertarik dengan keindahan tenun ikat Sawu. Bahkan ada yang ingin membeli tenun ikat bermotif hubi dan wini warisan keluarga. Tawaran uangnya sering menggiurkan. Sebagian orang Sawu gamang juga. Sementara para calon pembeli tak mengerti makna historis kain Sawu.

"Ada asumsi bahwa masyarakat yang tidak menulis adalah masyarakat yang tak punya sejarah. Tapi di Sawu tekstil adalah sejarah," kata Genevieve. Jual beli tenun ikat warisan keluarga berarti mengancam sejarah orang Sawu.

Dengan memakai pakaian adat Sawu, Presiden Jokowi secara tidak langsung mengingatkan orang tentang ancaman terhadap makna pakaian Sawu.

TAG

kain ntt joko widodo

ARTIKEL TERKAIT

Merambah Indahnya Kain Tenun Nusantara Komodo-komodo Hadiah Presiden Soeharto Perjalanan Habitat Ora atau Komodo Menjadi Tempat Wisata Makna Menarik Kain Jarik Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS Mengecup Hidung, Salam Khas Orang Sawu Saputangan Tanda Cinta Kain Kulit Kayu Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself"