Jamaah calon haji dari Indonesia pada masa kolonial menempuh perjalanan laut hampir enam bulan untuk mencapai Mekkah. Dari Indonesia, mereka singgah dulu di Singapura. Di sini mereka biasanya membeli sejumlah bahan bacaan. Tema yang paling diminati adalah tentang hari kiamat.
"Pas sebagai bacaan dalam perjalanan akbar menunaikan haji untuk mawas diri mengenang mati atau pelipur hati menghadapi kematian," kata Edwin Paul Wieringa, guru besar filologi Indonesia dan kajian Islam dari Universitas Cologne, Jerman, dalam kuliah umum bertajuk "Dari Kudus ke Bombay dan ke Jawa Lagi: Sastra Keagamaan tentang Hari Kiamat" di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), Depok, Jawa Barat, 19 Februari 2020.
Bacaan bertema kiamat itu tercetak dalam tulisan tangan. Mereka terbit antara masa 1900-1920-an. Aksaranya Arab dengan bahasa Melayu atau Jawa. Edwin menemukan buku kuno bertema kiamat ketika meriset di Perpustakaan Nasional Singapura, Oktober 2019–Januari 2020. Jumlah buku semacam itu ada belasan.
Baca juga: Melihat Surga dan Neraka Melalui Komik
Dalam kuliah umum di FIB-UI, Edwin hanya memaparkan dua karya bertema kiamat temuannya: Singir Kiyamat karya Sumardi dan Syair Ibarat dan Khabar Kiamat anggitan Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif al-Banjari.
Edwin mengaku belum banyak menguliti karya lainnya. Tapi pembacaan terhadap dua karya tadi saja telah mengungkap banyak hal: bacaan jamaah calon haji sewaktu di perjalanan, pandangan orang tentang kiamat, jaringan penerbitan Hindia Belanda–Singapura–India, keberlanjutan tema kiamat dalam bentuk komik pada 1960-an, dan fungsi filologi.
Edwin menjelaskan, isi dua buku kuno tentang kiamat itu serupa. "Pada intinya menjelaskan bahwa hidup di dunia dan segala materi di dunia ini hanyalah bersifat sementara," kata Edwin. Kedua pengarangnya tak banyak mengeksplorasi kemungkinan estetik dan penafsiran sufistik terhadap surga dan neraka.
Baca juga: Jam Kiamat Menunjukkan Kiamat Kian Dekat
Penggambaran surga dan neraka dalam dua buku kuno termaksud begitu gamblang. Surga adalah tempat penghiburan dan kebahagiaan bagi orang-orang saleh yang mengamalkan ajaran agama, sedangkan neraka menjadi tempat penyiksaan dan kesengsaraan bagi pelanggar ajaran agama Islam.
"Pesannya lebih diutamakan daripada keindahannya," kata Edwin.
Karena itulah, Edwin menempatkan dua buku kuno termaksud ke dalam kategori sastra dakwah. Menurutnya, sastra dakwah menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Ia tak ambil pusing soal keindahan dan bentuk.
Mengenai latar belakang pengarang dua buku kuno termaksud, Edwin menngukapkan bahwa Sumardi bukanlah seorang ulama. Dia mungkin seorang penduduk Kudus. Tapi Edwin tak tahu banyak soal lainnya. Sedangkan Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif al-Banjari berasal dari Martapura, Kalimantan. Dia sohor sebagai ulama dan penulis sejumlah kitab. Sebagian besar kitabnya terbit di Singapura.
Singapura merupakan kota utama untuk percetakan dan penjualan kitab-kitab agama Islam dari Hindia Belanda selama masa kolonial. Para pengarang kitab dari Hindia Belanda selalu mengoper karyanya ke Singapura untuk dicetak dan dijual.
Baca juga: Riwayat Percetakan Alquran Bombay
Selain Singapura, kota favorit lainnya bagi pengarang kitab dari Hindia Belanda ialah Bombay di pesisir barat India. Tapi Bombay tidak menjual kembali kitab tersebut. Kitab itu justru dikirim ke Singapura dan dijual kembali untuk orang-orang Hindia Belanda yang pergi haji.
Mengapa pengarang kitab dari Hindia Belanda jauh-jauh melempar karyanya ke dua kota ini?
"Sebab kedua kota tersebut berada di bawah koloni Inggris yang lebih liberal terhadap pelaksanaan agama. Sedangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda lebih ketat dalam penerbitan buku-buku Islam," terang Edwin.
Edwin mencatat, buku-buku terkait kiamat cetakan Bombay dan terbitan Singapura selalu menjadi yang terlaris di antara kitab-kitab keagamaan Islam. Hal pendukungnya ialah bentuk bukunya ringkas, harganya murah, dan temanya melintas zaman.
Baca juga: Video: Melihat Surga dan Neraka Melalui Komik
Terbukti tema tentang kiamat terus bertahan. Bahkan pada 1960-an, tema ini diadaptasi ke dalam komik surga dan neraka. Komik itu menggunakan cara penggambaran dan penafsiran yang sama dengan dua buku kuno tadi. Gambar-gambarnya jelas sekali menunjukkan adegan penyiksaan di neraka dan suasana penghiburan di surga.
Edwin juga menyatakan tema tentang hari kiamat masih digemari oleh generasi sekarang. Dengan demikian, peluang generasi sekarang mengenal buku-buku kuno terbuka lebar. Sebab buku-buku kuno ternyata telah memuat hal-hal yang dibicarakan oleh generasi sekarang. Tapi dia mengingatkan pembacaan generasi sekarang terhadap buku-buku kuno akan berbeda dan lebih sulit.
"Membaca dan menilai teks dari zaman dahulu kala, yaitu bukan zamannya sendiri sangat sulit karena pengetahuan kita tidak begitu besar mengenai bahasa dan sistem kode yang terkandung dalam teks kuno," ujar Edwin.
Baca juga: Buku yang Memprediksi Kiamat
Karena itulah, Edwin memandang filologi dapat berperan untuk membantu pemahaman terhadap isi buku-buku kuno tersebut. Filologi ialah ilmu yang mempelajari teks-teks di dalam suatu bahasa tertentu. Ringkasnya, filologi membantu orang menafsirkan sebuah teks. Tidak hanya teks pada masa sekarang, tetapi juga pada masa lampau.
Dengan filologi, generasi sekarang akan mampu mengungkap alam pikiran masyarakat pada masa lampau. Bagi Edwin, kerja mengungkap alam pikiran dan keadaan masyarakat pada masa lampau selalu menarik.
"Saya tak habis mengerti mengapa ada orang yang tidak tertarik dengan filologi, ilmu bahasa, dan sastra," kata Edwin menutup kuliah.