Masuk Daftar
My Getplus

Sarina, Potret Keluarga Indo Setelah Keruntuhan Hindia Belanda

Nasib keluarga Indo dalam pergolakan politik setelah pendudukan Jepang.

Oleh: Nur Janti | 20 Agt 2019
Rombongan repatriasi tiba di Belanda pada 1958. (Noske, JD/Arsip Nasional Belanda).

SARINA hanya bisa pasrah. Pada 1942, suaminya ditahan di kamp Jepang. Sarina terpaksa berpisah dengan orang yang dicintainya itu. Bukan hanya itu, rumah mereka pun diambil paksa. Sarina lalu hidup menggelandang.

Pendudukan Jepang dengan semboyan “Asia untuk Orang Asia” membuat orang-orang Eropa ditangkapi lalu dimasukkan ke kamp. Putihnya kulit tidak lagi jadi kebanggaan tapi justru membawa kesialan. Tak terkecuali bagi keluarga ras campur. Para perempuan pribumi yang tinggal bersama lelaki Eropa harus terpisah dengan keluarga mereka.

Asal-usul keturunan memainkan peran besar bagi selamat-tidaknya seseorang karena politik rasial digunakan Jepang dengan orang Asia (Jepang) berada di strata tertinggi. Jepang menciptakan perbedaan besar antarkelompok masyarakat khususnya orang Eropa, campuran, dan Asia. Untuk bisa membedakan antara Belanda murni dan campuran, Jepang mengadakan wajib pencatatan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Siaaap! Zaman Bersiap

“Di sini status si ibu yang pribumi punya peran besar dalam keselamatan si anak yang tadinya berstatus Eropa,” kata Reggie Baay, penulis Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, pada Historia.

Karena berdarah Asia, para nyai tidak diusik dan dibiarkan berada di luar kamp. Keberadaan nyai mendadak jadi sangat penting untuk anak-anak dari hubungan ras campur. Berkat ibu pribumi mereka, anak-anak indo mendapat asal-usul, yaitu bukti bagi keturunan Asia yang dikeluarkan melalui arsip negara. Dengan begitu anak Indo ini tidak dianggap sebagai golongan Eropa. Beberapa anak indo yang berhasil lolos dari penangkapan tetap tinggal di rumah atas perlindungan ibu pribuminya.

Status pribumi inilah yang digunakan Nyai Saila, gundik seorang Belgia bernama Eduard, untuk menyelamatkan anak-anaknya yang berstatus Eropa. Kendati Eduard sudah meninggal semasa pendudukan Jepang, Saila tidak lepas hubungan dengan anak-anak indo-Eropanya. Berkat Sailalah anak-anaknya memiliki asal-usul pribumi dan dibolehkan tinggal di luar kamp.

Orang-orang Indo dan Eropa di Kamp Cideng, masa pendudukan Jepang. Sumber: Memory of the Netherlands.

Namun pada praktiknya, pencatatan ini menimbulkan kekacauan lantaran kriteria yang digunakan amat rancu dengan penerapan yang sembarangan. Anak-anak yang lahir dari pasangan campur yang sama, misalnya, bisa dimasukkan dalam kategori yang berbeda. Akibatnya, tak jarang seorang kakak masuk golongan Eropa dan tinggal di kamp sementara adiknya masuk golongan pribumi dan tetap tinggal bersama ibunya.

Baca juga: Orang Katolik di Masa Jepang

Kemerdekaan juga membawa dampak bagi keluarga ras campur. Sukarno meminta semua orang Belanda secepatnya meninggalkan Indonesia. Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Perancis menceritakan kebingungan warga sipil Belanda yang diusir dari bekas negeri jajahannya. Bekas pemilik perkebunan, importir yang izin usahanya dibekukan, mantan kepala kantor beserta anak buahnya, berkumpul di bar-bar yang masih buka di Jakarta. Ada yang berencana melanjutkan hidup di Australia, Amerika, dan sebagaian kembali ke kampungnya di Belanda.

Gelombang repatriasi orang-orang Belanda dimulai sejak 1950-an. Pemulangan dibagi dalam tiga tahap sesuai prioritas: steuntrekkers (golongan tidak memiliki pekerjaan), middenstanders (kalangan menengah), dan vakspecialisten (kalangan tenaga ahli).

Dalam pengiriman kembali itu, banyak lelaki Eropa membawa serta pasangan pribumi mereka meski ada juga yang ditinggalkan di Indonesia. Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda memperkirakan, pada 2008 ada 600 ribu orang indo di Belanda punya garis keluarga dengan perempuan pribumi. “Ada yang melanjutkan hidup di Belanda. Dari merekalah asal-usul Indo di Belanda,” kata Reggie Baay.

Baca juga: Repatriasi Harga Mati

Sarina salah satu yang ikut pindah ke Belanda pasca-pengakuan kedaulatan. Dia akhirnya berhasil kumpul kembali dengan sang suami setelah perang usai. Suaminya menemukan Sarina dalam keadaan serba kekurangan. Dengan segala upaya mereka membangun ulang hidup. Pada 1955, Sarina dan suaminya berangkat ke Belanda. Mereka tinggal di Desa Bilthoven, Provinsi Utrecht.

Sepeninggal suaminya, Sarina hidup dalam kesunyian di dunia yang amat asing. Tak ada yang memahami Sarina karena hanya bisa berbahasa Sunda. Ia lebih sering bercengkrama dengan anjing dan burung parkit peliharaannya dibanding cucu-cucunya.

TAG

pergundikan

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Pelarian Seorang Gundik Pedihnya Hidup dalam Belenggu Perbudakan dan Pergundikan Derita Hidup Seorang Gundik Pergundikan di Perkebunan Kisah Nyai dalam Sastra Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda Perempuan dalam Cengkraman Pergundikan Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee