Masuk Daftar
My Getplus

Roh Gunung dan Wabah Penyakit

Cara masyarakat tradisional di Lombok menghadapi wabah penyakit: mendengarkan dan menjamu Roh Gunung.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 02 Apr 2020
Masyarakat Sasak melakukan tarian ritual diiringi tiupan seruling bagi mereka yang akan mendaki Gunung Rinjani. (Julius Bramanto/Shutterstock).

Pada suatu pagi, setelah seminggu terus-menerus hidup seperti dirundung malang, raja Lombok memanggil semua pejabat, pendeta dan pangeran yang ada di Mataram. Raja mengatakan, selama beberapa hari hatinya sangat sakit tanpa tahu penyebabnya.

“Aku telah bermimpi semalam Roh Gunong Agong, muncul di hadapanku dan berkata agar aku pergi ke puncak gunung,” kata raja.

Para hadirin di hadapannya diperbolehkan untuk ikut mengiringi kepergiannya hingga mendekati puncak. Namun ia harus melanjutkan pendakian seorang diri agar Roh Gunung Agung yang bersemayam di puncak gunung mau muncul di hadapannya.

Advertising
Advertising

“Ia akan mengatakan sesuatu yang penting bagiku,” ujar raja.

Persiapan pun dilakukan. Rombongan kerajaan berangkat pagi-pagi. Empat hari berlalu sampai raja harus mulai mendaki gunung dengan hanya diikuti rombongan kecil pendeta dan pangeran serta pembantu.

Begitu mendekati puncak, raja memerintahkan para pengikutnya berhenti. Ia akan meneruskan perjalanannya dengan ditemani dua bocah pembawa kotak sirih.

Puncak gunung berada di tengah bebatuan dan di pinggir kawah yang berasap. Sampai di sana, raja meminta kotak sirihnya dan menyuruh dua bocah tadi duduk diam sambil melihat ke bawah gunung. Raja pun menemui sang Roh Gunung Agung seorang diri.

Baca juga: Calon Arang Memuja Durga Sang Penguasa Penyakit

Tiga hari kemudian raja memanggil para pendeta, pangeran, dan para pembesar di Mataram. “Roh Agung telah berseru kepadaku,” kata raja. “’O Raja! Banyak wabah penyakit dan bencana akan melanda bumi, melanda manusia, melanda kuda dan ternak. Tetapi karena kau dan rakyatmu mematuhiku serta talah datang mendaki gunungku yang agung, aku akan memberitahukan cara menghindarinya’.”

Raja pun berkata, Roh Gunung Agung memerintahkan mereka untuk membuat 12 keris keramat. Bahannya dari jarum yang jumlahnya mewakili jumlah penduduk di tiap desa. Satu jarum mewakili satu penduduk. Bila suatu penyakit yang berbahaya muncul di suatu desa, maka salah satu keris akan dikirim ke desa itu.

“Jika jumlah jarum yang dikirim tak sesuai dengan jumlah penduduk, keris yang dikirim tidak akan berkhasiat apa-apa,” jelas raja.

Dengan segera semua kepala desa mengumpulkan jarum. Setelah semua desa mengumpulkan, raja membagi kumpulan jarum itu ke dalam 12 bagian yang sama banyaknya. Lalu ia perintahkan pandai besi terbaik di Mataram untuk menjadikannya keris. Tiap keris dibungkus dengan kain sutra. Semuanya disimpan sampai pada saat nanti dibutuhkan.

Baca juga: Keris Sakti dan Pagebluk Corona

Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace menceritakan kisah itu dalam bukunya The Malay Archipelago. Wallace melakukan perjalanan ke Lombok pada 1856 di tengah ekspedisinya berkeliling Nusantara.

Ada maksud tersembunyi di balik pembuatan keris itu. Raja Lombok sebenarnya ingin juga mendapatkan data jumlah penduduk untuk disesuaikan dengan perolehan upeti yang seharusnya ia terima. Kendati begitu, “sabda” Roh Gunung Agung tetap saja dipercayai.

Kehadiran 12 keris keramat membawa arti besar. Bila wabah penyakit muncul di suatu daerah, salah satu keris dikirimkan. Bila wabah mereda, keris dikembalikan dengan upacara penghormatan.

Kepala desa lalu akan bercerita kepada raja tentang tuah keris itu. Sembari mereka mengucapkan terima kasih.

Baca juga: Sisi Lain Perjalanan Wallace

Bila penyakit tak hilang, semua orang yakin ada kesalahan dalam jumlah jarum yang diserahkan oleh kampung itu. Karena kesalahan itu, keris keramat tak mampu melawan penyakit yang melanda kampung. Maka harus dikembalikan kepala desa dengan berat hati.

“Walaupun demikian rasa hormat terhadap keris itu tidak berkurang karena mereka yakin kegagalan itu disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri,” catat Wallace.

Dari penuturan Wallace, peran Roh Agung Gunung begitu besar dalam menentukan sikap masyarakat Lombok menghalau wabah penyakit. Kendati dalam kisah itu tak jelas wabah penyakit apa yang menjangkit, rupanya orang Sasak masih memberikan penghormatan yang sama pada sang penguasa gunung. Mereka mengenal tradisi menjamu dewi penguasa Gunung Rinjani untuk menjinakkan penyakit, khususnya cacar.

Tolak Bala Suku Sasak

Lalu Wacana, dkk. dalam Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Barat menjelaskan, secara umum orang Sasak di Lombok mengenal upacara tolak bala untuk mengusir wabah penyakit. Ritualnya disebut metulak.

Metulak, kata dalam bahasa Sasak, yang artinya: tulak (kembali) dan metulak (mengembalikan). “Arti kiasannya menolak bala, yang dalam bahasa Sasak bahla,” jelas Lalu.

Dalam sebutan lain tolak bala disebut tulak bahla. Bahla artinya wabah.

“Maksud upacara metulak ini adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhi dari segala marabahaya dan wabah yang dapat menimpa tanaman padi dan manusia,” tulisnya.

Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal

Upacara ini biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan. Baik itu karena umur, ilmu dan pengalamannya. Mereka harus memahami betul tata upacara metulak.  

Tak diketahui pasti sejak kapan dimulainya upacara metulak dilakukan. “Dari beberapa orang informan hanya menerangkan bahwa tradisi ini telah berkembang sejak nenek moyang mereka,” jelas Lalu.

Yang jelas, setidaknya ada enam peristiwa dalam hidup orang Sasak yang akan diiringi dengan prosesi metulak. Yaitu saat seseorang atau anggota keluarga tertimpa sakit, pendirian dan penempatan rumah baru, potong rambut bayi, menjelang keberangkatan haji, wabah penyakit cacar (ngayah) menyerang, dan padi mulai berisi.

Baca juga: Mula Cacar Menyebar

Dalam bentuk yang lebih sempit, dikenal pula upacara Besentulak. Ini pun upacara tolak bala. Tapi kalau besentulak terbatas untuk suatu keluarga yang mengadakan upacara itu saja.

“Diadakan pula pada waktu wabah cacar sedang berjangkit. Wabah cacar dalam bahasa Sasak disebut ngayah,” jelas Lalu.

Dalam Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat yang disusun Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, disebutkan kalau pada masa kolonial kesejahteraan rakyat kurang diperhatikan, terutama kesehatan. Dalam periode-periode tertentu penyakit epidemi selalu berulang, seperti cacar.

Dewi Anjani Sang Penguasa Cacar

Masyarakat Sasak punya perhatian khusus terhadap penyakit cacar. Mungkin karena wabah ini pernah menjadi yang paling ditakuti di wilayah Asia Tenggara. Ia menyebar termasuk sampai ke Nusantara. Hal itu banyak diungkap dalam catatan dari masa setelah abad ke-16.

Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin menyebutkan, misalnya cerita dari abad ke-17 tentang didirikannya Ayutthaya pada abad ke-14. Kisah itu menyebutkan adanya janji bahwa kota itu bebas dari cacar.

Lalu ada lagi Undang Undang Hukum Melaka yang disusun Kesultanan Malaka pada abad ke-15-16. Disebutkan bahwa penyakit kulit yang akut dibolehkan menjadi alasan perceraian atau penolakan pembelian seorang hamba sahaya.

Baca juga: Langkah Gencar Menanggulangi Cacar

Bukti dari abad ke-16 dan ke-17 lebih banyak tersedia. Misalnya dalam catatan orang Portugis dan Spanyol yang menyebutkan penyakit cacar sebagai pembunuh penduduk di Maluku, Filipina, dan Ternate (1558), Ambon (1564), Balayan, Filipina (1592), dan Pegu (Birma Bawah) pada abad ke-17.

Menurut Reid, di berbagai pusat penduduk dan perdagangan yang besar, cacar mungkin sudah menjadi endemik, terutama pada abad ke-16. Yang menjadi korban terutama anak-anak yang belum memiliki kekebalan. Penyakit itu bangkit setiap tujuh hingga sepuluh tahun.

Sebaliknya, kata Reid, pada penduduk yang lebih terpencil, seperti di Borneo dan Filipina, cacar menjadi tamu yang tak begitu sering berkunjung. Namun tetap ditakuti. Penyakit ini menelan sebagian besar penduduk yang belum pernah kena.

“Roh cacar banyak berperan dalam mitos rakyat, terutama di Borneo,” katanya.

Baca juga: Mitos dan Tetenger Wabah Penyakit

Di Lombok, kata Lalu, orang Sasak menganggap cacar sebagai rahmat Tuhan yang bersifat menguji iman dan ketakwaan umat manusia. Karenanya wabah ini tak dimusuhi, tetapi justru dijinakkan dengan jalan dijamu.

Mereka mengenal upacara tolak bala yang disebut nemoe artinya menjamu tamu. Ini berbeda dengan arti tolak bala yang berarti mengusir jenis penyakit lain selain cacar.

Yang dijamu adalah Dewi Anjani. Ia adalah ratu, makhluk gaib terpenting yang bersemayam di Puncak Gunung Rinjani.

“Menurut kepercayaan suku bangsa Sasak, dewi ini menguasai wabah penyakit cacar sebagai piaraannya,” kata Lalu.

TAG

penyakit cacar

ARTIKEL TERKAIT

Dari Bersin hingga Penyakit Kelamin Sukarno Sakit Ginjal Vaksin Wabah Penyakit Vaksin dan Harapan di Tengah Wabah Penyakit Kakek Donald Trump Korban Pandemi Kala Presiden Amerika Terpapar Virus Influenza Lambatnya Penanganan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda Penyebaran Pandemi Ribuan Tahun Lalu Pemakaman Khusus bagi Korban Pandemi Haji Terganggu Pandemi