SUATU pagi di tahun 1933. Duduk di sebuah ruang tunggu di Ohio State University, Jesse Owens (diperankan Stephan James) sangat gugup. Lututnya tak berhenti bergetar. Jemarinya juga tak bisa diam hingga ketika pelatih atletik, Larry Snyder (Jason Sudeikis), datang menyapanya.
Sebagaimana pemuda kulit hitam yang berhadapan dengan sosok kulit putih di masa itu, Owens tak berani menatap langsung mata sang pelatih. Matanya tetap masih tertuju ke bawah ketika dia sudah berbincang di ruangan. Sikap Owens membuat Snyder memintanya untuk tidak takut menatap mata orang yang jadi lawan bicara.
Dari berkas-berkas berisi catatan prestasi yang didapat dari pelatih atletik Owens di SMA, Snyder paham bahwa pemuda kulit hitam di hadapannya punya bakat alami. Namun, kata Snyder, bakat alami takkan cukup untuk membuat Owens menjadi atlet lari juara. Selain meminta Owens untuk mau berlatih keras, Snyder berharap Owens tahan banting terhadap beragam hal diskriminatif. Pasalnya yang akan dihadapi Owens bukan hanya para pesaingnya di trek lari, melainkan juga khalayak yang bakal mencacinya begitu tajam.
Adegan yang menggambarkan titik balik kehidupan Owens itu jadi salah satu adegan kunci drama biopik bertajuk Race racikan sutradara Stephen Hopkins. Drama ini mengangkat satu bab paling dramatis dalam kehidupan pelari Afro-Amerika legendaris yang mencetak segudang rekor dunia itu.
Cerita lantas dikebut Hopkins dengan menyajikan scene yang menggambarkan sejumlah prestasi Owens yang perlahan membalikkan cacian rasis menjadi sanjungan setelah menjadi manusia tercepat berkat besutan Snyder. Salah satunya di ajang Big Ten Conference 1935, di mana Owens memecahkan rekor dunia di kategori sprint 220 yard, lari gawang 220 yard (ukuran jarak di ajang domestik), serta lompat jauh. Di ajang kualifikasi tim atletik Amerika Serikat untuk Olimpiade Berlin 1936, Owens menyapu bersih tiga kemenangan di sprint 100 dan 200 meter, serta lompat jauh.
Di situlah Hopkins membuka percabangan cerita dengan adegan petinggi Komite Olimpiade Amerika Avery Brundage (Jeremy Irons) yang mendapat tentangan dari para anggotanya soal keikutsertaan Amerika. Tentangan muncul karena saat itu Jerman di bawah Kanselir Adolf Hitler tengah gencar menggelar kebijakan antisemit.
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade Berlin 1936
Hal itu sampai terdengar ke telinga Menteri Propaganda Jerman Dr. Joseph Goebbels (Barnaby Metschurat) yang jadi penanggungjawab olimpiade. Goebbels lalu mengundang Brundage, pebisnis kelas kakap sekaligus bos Komite Olimpiade Amerika, ke Berlin. Goebbels meminta Brundage untuk mau meyakinkan para anggotanya agar tak memboikot Olimpiade Berlin 1936. Sebagai kompensasi, Goebbels menawarkan kerjasama bisnis pembangunan Kedutaan Besar Jerman di Washington DC kepada Brundage.
Sementara, Owens yang sudah lolos kualifikasi tak hanya dikhawatirkan ancaman boikot para anggota komite, tapi juga dari NAACP. Asosiasi warga kulit berwarna di Amerika itu menyerukan agar tak pergi ke Berlin untuk menegaskan sikap anti-Hitler.
Bagaimana kelanjutan drama penuh intrik yang harus dijalani Owens? Baiknya Anda saksikan sendiri film Race. Meski sudah rilis sejak Februari 2016, via streaming di Mola TV, Race bisa jadi hiburan dengan banyak informasi di masa pandemi COVID-19 ini.
Tak hanya menarik, Race dikemas seotentik mungkin sesuai fakta historisnya. Diiringi scoring musik garapan Rachel Portman dengan beraneka genre musik, mulai dari yang beritme tinggi hingga orkestra bernada dramatis dan selebrasi, emosi penonton bakal dibawa naik-turun.
Baca juga: Fakta dan Dramatisasi The Professor and the Madman
Penggambaran latar belakang dari tim penyunting pimpinan John Smith juga ciamik. Syutingnya dilakoni di Olympiastadion Berlin. Tim Smith meramunya menggunakan teknologi efek visual CGI (Computer-Generated Imagery) agar menjadikan stadion megah yang sudah berubah wajah itu kembali seperti di tahun 1936. Dengan CGI pula sejumlah banner swastika di kota Berlin bisa dihadirkan, lantaran membuat banner asli akan menyinggung masyarakat Berlin yang masih sangat sensitif terhadap semua atribut Nazi.
Tim penulis naskah yang dinakhodai Joe Shrapnel dan Anna Waterhouse membuat script berangkat dari pengombinasian sejumlah sumber historis lantaran para sejarawan dan pelaku sejarah hingga saat ini punya versi masing-masing pada beberapa kejadian. Tim juga berdiskusi dengan keluarga mendiang Owens.
“Sejak awal kami dilibatkan. Pihak produksi menghubungi kami lima tahun lalu. Kami juga yang menyetujui naskah akhirnya sesuai permintaan kami. Kami gunakan hak veto kami untuk menolak beberapa hal (adegan fiktif, red.). Fokus kami untuk memastikan sejarah tidak ditulis ulang dan mereka berpegangan pada fakta-fakta. Walau tentu kami menyetujui beberapa dramatisasi dalam proses kreatifnya,” tutur Marlene Owens Rankin, salah satu putri Owens, kepada TMZ Sports, 1 Desember 2016.
Beberapa hal yang didramatisasi sebagai bagian proses kreatif dari pengalihwahanaan kisah ke layar perak itu antara lain, adegan ketika Dr. Goebbels menuntut Brundage untuk tidak menurunkan dua pelari Yahudi, Sam Stroller (Giacomo Gianniotti) dan Marty Glickman (Jeremy Ferdman), di nomor estafet 400 meter. Dalam film, Goebbels dan Hitler merasakan tamparan keras dari melihat pelari kulit hitam memenangi tiga medali emas.
Goebbels tak ingin publik Jerman lebih dipermalukan jika ajang itu harus juga dimenangi pelari Yahudi. Saat Brundage hendak menolak, Goebbels mengancam akan menguak kesepakatan kerjasama antara dia dan perusahaan konstruksi Brundage terkait rencana pembangunan gedung Kedutaan Jerman di Washington.
Baca juga: Seberg, Kisah Aktris Kontroversial Melawan Arus
Brundage jelas terancam akan dicap pro-Nazi jika hal itu dibongkar Goebbels. Brundage kemudian digambarkan memerintahkan pelatih kepala tim atletik Amerika Lawson Robertson (Tony Curran) dan asisten pelatih Dean Cromwell (Jonathan Higgins) untuk menarik Stroller dan Glickman dari anggota tim estafet.
Dramatisasi itu faktanya tak pernah terjadi. Menurut sejarawan David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936, tak pernah ada fakta tentang kesepakatan dan perjanjian kerjasama antara pemerintah Jerman Nazi yang diwakili Goebbels dan perusahaan konstruksi milik Brundage untuk membangun gedung Kedutaan Jerman di Washington DC sebelum olimpiade. Kesepakatannya sendiri baru terjadi pada 1938 atau dua tahun setelah olimpiade.
Adegan Brundage memberi tekanan kepada pelatih kepala atletik Amerika untuk tak menurunkan Stroller dan Glickman pun faktanya masih abu-abu. Hingga detik ini, kebenarannya belum terungkap.
“Brundage sendiri menyangkal terkait peranan apapun tentang keputusan itu. Dari sejumlah surat dan pernyataannya kepada publik di kemudian hari juga tak mengindikasikan peran apapun,” tulis Large.
Baca juga: Cerminan Penindasan dalam Waiting for the Barbarians
Kemunculan isu antisemit dan peran Brundage lahir dari klaim Glickman. Sementara menurut Stroller, keputusan Robertson dan Cromwell lebih berbau nepotisme karena dua pelari lain di tim estafet, yakni Frank Wykoff dan Foy Draper, merupakan anak asuh Cromwell di University of Southern California.
Robertson dan Cromwell sendiri yang akhirnya memutuskan Owens dan Ralph Metcalfe sebagai pengganti Glickman dan Stroller. Keduanya beralasan karena mereka melihat tim Jerman dan Belanda sengaja menyimpan para pelari tercepat mereka untuk tampil all out di estafet 400 meter yang jadi ajang pamungkas cabang atletik.
Uniknya, dalam beberapa kali latihan, Glickman dan Stroller justru punya catatan waktu lebih baik ketimbang Draper dan Wykoff. Oleh karenanya, isu tentang nepotisme dan antisemit itu terus bergulir menjadi kontroversi hingga empat dekade berikutnya.
“Saya diberikan keputusan yang menyakitkan. Anda tak bisa menyimpan pelari tercepat begitu saja di ajang sebesar olimpiade. Jadi alasan mengapa saya dan Glickman tak diturunkan adalah pengaruh dari asisten pelatih yang menginginkan anak-anak asuhnya untuk tampil,” tutur Stroller dikutip Large.
Baca juga: Anggar untuk Hitler di Olimpiade 1936
Fakta lain yang didramatisir adalah penggambaran Hitler menolak bertemu dan bersalaman dengan Owens yang memenangkan empat medali emas. Dalam film digambarkan Owens dibawa Brundage naik ke tribun kehormatan untuk bertemu Hitler sesuai yang dijanjikan sebelumnya. Tetapi setibanya di sana, Goebbels menyatakan Hitler sudah meninggalkan stadion dan takkan sudi berjabat tangan dengan seseorang dari ras inferior, betapapun hebatnya pencapaian Owens.
Padahal, kenyataannya tak pernah terjadi adegan Brundage mengantar Owens dan kemudian ditolak Hitler. Yang terjadi, menukil Triumph: Jesse Owens and Hitler’s Olympics karya jurnalis olahraga Jeremy Schaap, hanya Owens pernah berpapasan secara tidak sengaja dengan Hitler.
“Setelah menang, saya jalan buru-buru ke booth radio (untuk wawancara, red.). Saat saya lewat dekat kanselir (Hitler), dia bangkit, melambaikan tangannya kepada saya dan saya membalas lambaian tangan juga. Saya pikir para penulis yang menganggap Hitler menolak saya menunjukkan selera buruknya dalam mengkritik orang terpenting di Jerman itu,” aku Owens, dikutip Schaap.
Di Amerika, media ramai memberitakan hal itu. Beragam klaim muncul dalam pemberitaan, mulai dari soal Hitler yang menolak Owens hingga yang menyatakan di tajuk utamanya bahwa Hitler memberikan salam hormat ala Nazi kepada Owens. Yang membuat Owens kecewa, hampir tak ada yang mengkritik Presiden Amerika Franklin Delano Roosevelt yang malah tak mengakui pencapaian Owens.
Baca juga: Konsekuensi Persahabatan Owens dengan Atlet “Nazi”
“Hitler tidak menolak saya. Adalah presiden (Roosevelt) yang menolak saya. Presiden bahkan tak mengirimkan telegram ucapan selamat karena katanya dia sedang sibuk,” sambung Owens.
Hingga puluhan tahun kemudian, prestasi Owens mengharumkan negerinya tak diakui Gedung Putih. Pengakuan baru datang pada 1976 atau empat tahun sebelum Owens wafat (31 Maret 1980) lewat penghargaan Presidential Medal of Freedom yang dikeluarkan Presiden Gerald Ford, dan penghargaan Living Legend Award dari Presiden Jimmy Carter pada 1979. Satu dekade pascawafat, Presiden George Bush menganugerahkan Owens Congressional Gold Medal secara anumerta.
Data Film:
Judul: Race | Sutradara: Stephen Hopkins | Produser: Karsten Brünig, Luc Dayan, Kate Garwood, Jean-Charles Levy, Nicolas Manuel, Louis-Philippe Rochon, Dominique Séguin | Pemain: Stephan James, Jason Sudeikis, Carice van Houten, William Hurt, Jeremy Irons, Shanice Banton, Barnaby Metschurat, David Kross | Produksi: Forecast Pictures, Solofilms, Trinica, Trinity Race | Distributor: Entertainment One Films, LFR Films, SquareOne Entertainment, Focus Pictures | Genre: Biopik Olahraga | Durasi: 135 Menit | Rilis: 19 Februari 2016, 2020 (Mola TV).