Pendakwah Hariadi Wibowo atau tenar dengan nama Hari Moekti mengembuskan napas terakhir tadi malam. Sebelum banting setir menjadi pendakwah, Hari merupakan musisi rock tenar era 1980-an hingga awal 1990-an.
Hari Moekti, kelahiran Cimahi pada 25 Maret 1957, meniti karier melalui sebuah grup musik lokal bernama Darodox kala dia tinggal di Semarang. Saat itu dia ikut ayahnya yang pindah-tugas sebagai tentara ke Semarang.
Sebelum membentuk Darodox, Hari sempat bekerja menjadi roomboy di sebuah hotel selama setahun. Menurut Femina, volume 18, 1990, Hari juga pernah menjual suaranya di Simpang Lima, Semarang. “Mungkin orang menganggap saya gila, tapi biar sajalah,” kata Hari kepada Femina.
Baca juga: Sebelum Hari Moekti Gabung HTI
Lebih lanjut, dalam Femina edisi yang sama, sebagai seorang musisi, Hari ingin menampilkan ciri khas yang berbeda dari pendahulunya, Gito Rollies dan Achmad Albar. Maka, publik melihat Hari yang tampil dengan lincah, loncat sana loncat sini di atas panggung.
“Salah satu gaya yang acap tampil, yaitu melempar-lemparkan benda-benda yang dikenakannya seusai menyanyi di panggung,” tulis Femina.
Karena itu, setelah punya nama besar, pers menjuluki Hari sebagai rocker kutu loncat.
Gabung Grup Musik
Setelah ayahnya wafat, Hari kembali ke Bandung. Lantas, dia bergabung dengan sejumlah grup musik, seperti Orbit, Primas, dan New Bloodly.
Hari Moekti mulai dikenal publik ketika menjadi vokalis Makara, grup band yang dibentuk pada awal 1980-an. Makara lahir di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Makara sendiri merupakan pelestan “mahasiswa karatan”, karena anggotanya lama berkuliah. Hari bergabung dengan kawan-kawannya yang saat itu berkuliah di sana.
Menurut pengamat musik Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia, Makara menyebut musiknya sebagai art metal. Mereka mencoba memainkan warna art rock dengan suara sedahsyat musik heavy metal.
Baca juga: Semarak Konser Musik Rock di Indonesia
Denny menulis, Makara kerap menyuarakan lagu bertema kritik sosial. Semisal “Laron-Laron” yang menyoroti isu urbanisasi atau “Fabel” yang menyindir kondisi sosial yang bobrok di Indonesia.
Makara hanya menghasilkan satu album bertajuk Laron-Laron. Album ini dirilis pada 1986, di bawah label Billboard Indonesia. Namun, lagu-lagunya, seperti “Laron-Laron” dan “Fabel” cukup dikenang hingga saat ini.
Usai Makara bubar pada 1985, Hari bergabung dengan Krakatau. Namun, dia tak lama singgah di grup musik yang juga membesarkan namanya itu. Usai dari Krakatau, Hari bersolo karier. Namanya kembali muncul ketika membawa lagu “Dalam Kegelapan” di Festival Lagu Populer Indonesia 1987.
Solo Karier
Album solo Hari dirilis pada 1988 bertajuk Ada Kamu. Lagu yang menampilkan ciri khas suara Hari yang melengking, dan selalu diingat para penggemar musik tanah air. Tentu saja, publik masih ingat lagu berjudul “Ada Kamu”:
Ada kamu di dalam bingungku.
Pada kamu hanyalah rinduku.
Walau kamu, tak semancung, gunung-gunung di belahan bumi pertiwi. Aduuu..du...du...duhhh...kau tak percaya...
Di album tersebut, lagu “Lintas Melawai” dan “Tantangan” juga dikenang para penggemar musik Indonesia. Dari sini, Hari semakin memantapkan namanya dalam jajaran rocker tenar tanah air.
Baca juga: Nyanyi Sunyi Rambut Kribo
Album solo Hari setelah Ada Kamu, di antaranya Nona Nona Nona (Granada Records, 1991), Maukah Kamu (Granada Records, 1993), 20 Private Collection (Granada Records, 1994), Disini (Arci, 1996).
Di sesela bersolo karier, Hari sempat membentuk Adegan bersama Gilang Ramadhan, Dinny Suhendra, dan AS Mates pada awal 1990-an. Adegan menghasilkan satu album bertajuk Selangkah di Depan (Musica Studio’s, 1992).
Hijrah
Dari sana, pelan-pelan Hari menjauh dari gemerlap panggung musik. Dia mendalami agama, hingga akhirnya menjadi seorang pendakwah.
Proses berhijrah Hari dia ungkapkan dalam sebuah video Vertizone TV berdurasi 10 menit 39 detik. Di dalam video tersebut, Hari mengatakan, dia didatangi seorang jamaah dakwah pada 1995.
“Jamaah dakwah itu berasal dari Indonesia. Dia diutus seorang ustaz dari Timur Tengah,” katanya.
Juru dakwah tadi melihat kehidupan Hari yang tak pernah mabuk dan rajin salat tapi masih berkecimpung di dunia hiburan. Hari bilang merasakan kegelisahan. “Salat nggak pernah puas, terkenal nggak pernah puas,” katanya.
Setelah mendapatkan wejangan dari pendakwah itu, Hari disarankan untuk “hijrah”. Perlahan, dia meninggalkan dunia hiburan.
Baca juga: Dari Hijab hingga Hijrah
Seiring waktu, penampilan Hari berubah. Dia kerap tampil mengenakan jubah serba hitam dan kopiah khas di kepala. Dia menjadi pendakwah yang aktif pada 2000-an.
Publik pun kemudian mengenal Hari sebagai salah seorang pendakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah organisasi internasional yang mengusung khilafah. Tak ada informasi kapan persisnya Hari bergabung dengan HTI.
Pada 19 Juli 2017, HTI dibubarkan pemerintah dengan mencabut badan hukumnya, karena dianggap menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Hari tak bisa lagi menyaksikan perlawanan para pendukung HTI terhadap keputusan pemerintah. Dia menghembuskan napas terakhir di Cimahi, Jawa Barat. Jenazahnya dimakamkan di Bogor.
Selamat jalan, sang rocker kutu loncat.