Masuk Daftar
My Getplus

Misteri Kematian Frida Kahlo

Kanvas kehidupan Frida Kahlo, pelukis legendaris asal Meksiko yang kematiannya diselubungi misteri. Benarkah ia bunuh diri?

Oleh: Randy Wirayudha | 20 Jan 2020
Magdalena Carmen Frida Kahlo y Calderón saat dipotret fotografer Toni Frissell (Foto: Library of Congress)

PERTUNJUKAN teater bertajuk Frida: Stroke of Passion oleh kelompok teater Macha yang bakal dihelat di Gedung Teater Casa 0101, Los Angeles pada 7 Februari 2020 mendatang memancing perhatian banyak pihak. Pertunjukan yang digarap sutradara pemenang Eddon Awards, Odalys Nanin, itu akan menyajikan detik-detik terakhir kehidupan pelukis legendaris asal Meksiko Frida Kahlo yang tak banyak diketahui publik. 

Publik selama ini hanya mengetahui penyebab kematian Frida dari hasil resmi yang dirilis otoritas medis, bahwa Frida tewas karena pneumonia embolism (emboli paru) atau penyumbatan arteri di paru-paru. Pihak yang tak meyakini versi tersebut, termasuk Nanin, meyakini Frida meninggal pada 13 Juli 1954 karena bunuh diri. Keyakinan itu berangkat dari penafsiran atas kata-kata terakhir Frida di diary-nya: “Espero Alegre la salida – y Espero no Volver jamás”, yang artinya Aku begitu antusias menantikan jalan keluar – dan aku berharap takkan pernah kembali.

Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi

Advertising
Advertising

Melalui Frida: Stroke of Passion, Nanin akan mengungkapkan hal baru. “Pertunjukan ini akan mengungkapkan pekan terakhir dalam hidup Frida Kahlo dan selubung misteri tentang siapa atau apa yang membunuhnya. Saya ingin menunjukkan babak-babak tentang fisik, emosi dan mental pikirannya selama sepekan sebelum kematiannya. Saya mengeksplorasi rasa sakitnya, rasa takut, cinta tapi yang terpenting adalah misteri kematiannya,” ujar Nanin, dikutip The Pride LA, 3 Januari 2020.

Calon Dokter jadi Pelukis

Lukisan hidup Frida memang penuh liku, sarat petualangan, cinta, dan skandal. Frida lahir pada 6 Juli 1907 di Coyoacán, Meksiko dengan nama lahir Magdalena Carmen Frida Kahlo y Calderón. Ia anak pertama dari rahim Matilde Calderón y González, perempuan berdarah Mestizo yang merupakan istri kedua fotografer Jerman Carl Wilhelm “Guillermo” Kahlo.

Sejak kecil, Frida mengidap penyakit polio. Menukil Frida: The Biography of Frida Kahlo yang dirangkum sejarawan seni Hayden Herrera, Frida mengidap polio sejak usia enam tahun yang membuat kaki kanannya lebih kecil dari yang kiri. Seringkali di sekolah tingkat dasar ia jadi korban bullying karenanya. Namun, di rumahnya sang ayah begitu getol jadi “mentor” seni Frida, mulai fotografi hingga lukis.

Frida Kahlo saat berusia lima tahun sebelum terkena penyakit polio (Foto: fridakahlo.org)

Frida termasuk pelajar yang cerdas. Ia nyaris jadi dokter kala studi medis di Escuela Nacional Preparatoria di Mexico City. Nahas, sebuah kecelakaan pada 17 September 1925 kala ia menumpang bus untuk pulang ke Coyoacan dari sekolahnya, merenggut masa depannya.

“Tulang belakangnya patah di tiga bagian. Juga tulang selangkanya, serta tulang rusuk. Kaki kirinya mengalami retak di 11 bagian, tulang kaki kanannya tergeser, perutnya tertusuk besi handrail hingga menembus dinding vaginanya. Dokter yang merawatnya mengira dia takkan selamat di meja operasi,” ungkap Herrera.

Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr

Frida akhirnya selamat setelah diopname selama sebulan di rumahsakit dan dua bulan rawat jalan. Otomatis Frida hanya bisa beraktivitas di kursi roda dan ketergantungan obat pereda nyeri. Ia lalu beralih studi ke politik. Bahkan, ia jadi kader PCM atau Partai Komunis Meksiko.

Goresan Riwayat di Atas Kanvas

Namanya sebagai seniman mulai dikenal sejak bergabung dengan partai komunis dan berkenalan dengan sejumlah aktivis seperti Julio Antonio Mella (eksil komunis Kuba), Tina Modotti (aktivis, seniman, dan fotografer Amerika), dan pelukis Diego Rivera yang kelak pada 1929 jadi suaminya.

Setelah berpacaran dengan Rivera, Frida mulai getol mengeluarkan karya surealis yang sudah dirintisnya sejak 1926. “Tampak energi yang tak biasa, penggambaran karakter yang sangat tepat dan menggambarkan kekerasan yang sebenarnya…memiliki dasar pengaruh yang sangat jujur, kepribadian artistiknya juga orisinil. Jelas gadis ini seniman yang otentik,” ujar Rivera yang terpesona pada karya-karya Frida kala keduanya bersua pada 1928, dikutip Herrera.

Selain gemar menelurkan lukisan potret diri, karya Frida tak jarang menggambarkan budaya masyarakat Meksiko prakolonial. Beberapa karya lainnya dipengaruhi aktivitas politik yang diikutinya mengenai isu-isu gender serta pembagian kelas di masyarakat Meksiko.

Selain potret diri, Frida juga tak jarang melukis potret keluarga, seperti potret ayahnya, Carl Wilhelm “Guillermo” Kahlo, misalnya (Foto: fridakahlo.org)

Reputasi Frida meroket setelah menggelar pameran-pameran solo. Di antaranya, pameran di Galeri Seni Julien Levy, New York, pada 1938 yang disponsori seniman surealis André Breton. Juga pameran di Paris setahun setelahnya.

“Meski pamerannya di Paris bertajuk The Mexique secara finansial kurang sukses, Musée National d’Art Moderne, Centre Georges Pompidou (Museum Louvre) membeli salah satu karya Kahlo, (berjudul) The Frame,” ungkap Terri Hardin dalam Frida Kahlo: A Modern Master.

Baca juga: Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air

Lukisan The Frame yang berukuran 28,5x20,7 itu merupakan lukisan potret diri yang dibuat Frida pada 1938. Karyanya tergolong anti-mainstream lantaran dilukis di atas kombinasi lembaran alumunium dan kaca.

Frida sosok bertangan dingin jika sudah menggoreskan cat minyak di atas kanvas. Ia satu-satunya pelukis Meksiko yang karyanya terpajang di museum seni terbesar dunia, Louvre.

Hari-Hari Terakhir

Kendati di tahun 1940-an getol menelurkan banyak karya, kondisi kesehatan Frida berangsur menurun. Infeksi luka di tangan, sifilis, hingga depresi karena meninggalnya sang ayah pada April 1941 menjangkitinya. Pada 1950, Frida bahkan hampir menghabiskan sepanjang tahun dengan dirawat di Rumahsakit ABC, Mexico City usai operasi perbaikan tulang periodontal.

Tiga tahun berikutnya kondisi Frida kian miris akibat penyakit gangrene atau kematian jaringan sel di kaki kanannya. Kaki kanan Frida mulai dari lutut ke bawah diamputasi pada Agustus 1953. Rasa sakit di kakinya membuat Frida mulai berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

“Mereka telah memberiku siksaan yang rasanya berabad-abad dan pada suatu ketika saya kehilangan alasan. Aku terus mengeluarkan keinginan untuk bunuh diri. Hanya Diego yang mencegahku melakukannya. Tak pernah aku merasakan sakit seperti ini sepanjang hidupku,” tulis Frida dalam diary-nya pada Februari 1954, dikutip Martha Zamora dalam Frida Kahlo: The Brush of Anguish.

Meski sakit, Frida masih aktif di politik. Beberapa pekan sebelum meninggal, Frida bersama suaminya ikut berunjuk rasa menentang invasi CIA (dinas intelijen Amerika) di Guatemala. Namun gegara ikut demo itu pula kondisi kesehatannya kian gawat. Pada 12 Juli 1954 malam Frida mengalami demam tinggi dan hampir tak berhenti berteriak akibat rasa sakit di tulang belakangnya.

Lukisan potret keluarga Frida Kahlo (kiri) dan lukisan "The Frame" (kiri) yang dibeli Museum Louvre pada 1939 (Foto: fridakahlo.org)

Pagi 13 Juli 1954, Frida ditemukan terbaring tak bernyawa di atas tempat tidurnya oleh salah satu asisten rumah tangganya di La Casa Azul. Catatan medis menerangkan, Frida meninggal karena emboli paru lantaran memang ia juga mengidap pneumonia. Setelah dikremasi, abu jenazahnya disimpan di kediamannya di La Casa Azul, yang pada 1958 diubah menjadi Museum Frida Kahlo.

Dikremasinya jenazah Frida tanpa melalui otopsi menimbulkan misteri penyebab kematiannya. Beberapa pihak meyakini ia bunuh diri dengan menenggak obat pereda nyeri lebih dari dosis yang disarankan dokter. Setidaknya begitu yang diyakini Herrera dalam biografi Frida maupun Nanin yang akan mementaskan Frida: Stroke of Passion.

Jalan berliku hidup Frida menginspirasi banyak orang untuk mengisahkannya lewat  novel, serial televisi, maupun film. Biopik Frida, Naturaleza Viva (1983) atau Frida (2002), yang diperankan aktris kawakan Hollywood Salma Hayek, hanyalah sedikit di antaranya.

Baca juga: Kutukan La Llorona Melintasi Zaman

TAG

teater pelukis lukisan seni-rupa kesenian meksiko

ARTIKEL TERKAIT

Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Jejak Para Pelukis Perempuan Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Affandi Marah pada Polisi Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Ribut Sengketa Nama Miss Riboet