Masuk Daftar
My Getplus

Misteri Fredy S

Fredy S bukan nama asing buat generasi 1980-an. Namanya lekat dengan adegan ranjang dan skandal percintaan.

Oleh: Wenri Wanhar | 18 Jul 2014
Fredy S. Foto: Dokumentasi Keluarga.

PEMBACA novel populer era 1980 hingga 1990-an tentu tak asing lagi dengan nama Fredy Siswanto atau kerap ditulis Fredy S. Dia penulis produktif di masanya. Novel-novelnya laku keras. Bahkan masih beredar hingga kini. Namun sosoknya dianggap misterius. Siapa dia sebenarnya?

Nama aslinya Bambang Eko Siswanto. Lahir di Semarang pada 5 Mei 1954. Sebelum menjadi novelis, dia lebih dikenal sebagai komikus. Beberapa komiknya, umumnya bergenre roman percintaan, terbit. Antara lain Gema Tangismu, Karang Tajam, Segaris Harapan, Kepergian Seorang Kekasih, Lagu Sendu, Selembut Sutra, dan Pengorbanan Ibu.

Komik tak mengangkat namanya. Maka, dia mencari penghasilan lain sebagai pelukis poster film. Dia juga sempat menulis beberapa cerita silat seperti serial Retno Wulan dan Pendekar Gagak Rimang dan jadi wartawan sebelum berkiprah sebagai penulis novel populer.

Advertising
Advertising

Fredy S penulis produktif. Karyanya ratusan judul, diterbitkan di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura. Sebulan dia bisa menghasilkan dua hingga tiga judul novel. Fredy S menyebut dirinya sebagai “sastrawan kaki lima”. Saking tenar, namanya kerap dicatut, atas seizinnya maupun tidak, untuk novel-novel lainnya. Namun namanya tenggelam oleh ratusan karyanya. Bahkan tak diakui dalam dunia kesusastraan Indonesia.

Apresiasi terhadap karya-karya Fredy S pernah coba dituangkan Muhidin M. Dahlan, pegiat radiobuku.com. Dia bersama teman-temannya menerbitkan buku setebal bantal bertajuk Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikubur. Karya-karya yang terpilih diresensi, biografi pengarangnya diulas. Bila jeli, tak ada nomor urut 32 di buku setebal 1001 halaman itu.

“Ini sebetulnya template yang disiapkan buat Fredy S.,” kata Muhidin M. Dahlan. Namun, karena tak berhasil menelisik sosok Fredy S, ruang itu dibiarkan kosong. Fredy S tak tergantikan. Bagi Muhidin dkk, Fredy S dan novel-novelnya adalah bintang di masa keemasan kedua “sastra picisan” pada 1980-an. Fredy S adalah penanda zaman.

Debut Fredy S sebagai novelis mendapat sambutan hangat. Novel pertamanya Senyummu Adalah Tangisku (terbit 1978) diangkat ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung lakon yang membintanginya sederet artis papan atas: Soekarno M. Noor, Rano Karno, Anita Carolina, dan Farida Pasha. Setahun kemudian, novelnya Sejuta Serat Sutera juga difilmkan. Bintangnya Rudi Salam dan Tanty Josepha. Dari sinilah, Fredy S terjun ke dunia sinematografi, dari penulis skenario hingga jadi asisten sutradara.

Ketika televisi swasta mulai berkecambah dan produksi sinema elektronik (sinetron) mendapat tempat, Fredy S tak mau ketinggalan. Dia menyutradarai beberapa sinetron melalui berbagai rumah produksi. Antara lain Fatamorgana (1995) dan Bukan Sekedar Sandiwara (1997). “Bila di film kurang menonjol, Fredy S mencetak prestasi lumayan waktu pindah ke layar kaca,” tulis Apa Siapa Orang Film Indonesia, yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan.

Karya terakhirnya adalah sinetron Jelangkung 2 produksi PT Virgo Putra Film, yang tayang di RCTI tahun 2002. Karena terserang stroke, dia terpaksa meninggalkan dunia film dan sinetron. Bahkan, sekalipun sempat kembali menulis novel, Fredy S akhirnya tutup buku dengan novel populer.

Fredy S menghabiskan hari tuanya di rumah istri pertamanya di Bintara, Bekasi, sampai meninggal dunia pada 24 Januari 2015.*

Baca laporan khusus Fredy S di Historia Premium

Mengukir Nama di Ladang Cinta

Hikayat Roman Sepicis

Cerita di Balik Nama Fredy S

Menggoreskan Nama di Sinema

Satu Cinta Tiga Wanita

TAG

fredy s sastra

ARTIKEL TERKAIT

Tiga Supir Palang Merah yang Jadi Pesohor Dunia Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Perjuangan di Balik Nama Pena Marga T Waktu Kuliah Kedokteran Menelusuri Jejak Chairil Anwar di Ibukota Ki Padmasusastra, Sang Penyelamat Sastra Jawa Teror yang Menghantui Salman Rushdie Melihat Kolonialisme Bekerja lewat Teropong Sastra Kegagalan Cinta dalam Kisah Zaman Kuno Bogem Mentah untuk Chairil Anwar