Masuk Daftar
My Getplus

Mbah Lindu dan Kisah di Balik Gudeg

Gudeg lahir dari tangan para prajurit Mataram. Kini, ia menjadi makanan populer dan disantap kapan pun kita menginginkannya.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 13 Jul 2020
Mbah Lindu berjualan gudeg di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta. (Risa Herdahita Putri/Historia).

BELUM juga pukul 07.00. Tapi pos kamling di depan Hotel Grage Ramayana, Jalan Sosrowijayan Yogyakarta, dirubung banyak orang. Di tempat itu Mbah Lindu berjualan gudeg setiap pagi.

Orang lokal, luar kota, bahkan bule rela mengantri. Maklum, lokasi berjualan Mbah Lindu berada di tengah-tengah kawasan hotel, tak jauh dari Malioboro. Ditambah lagi ketenaran gudeg Mbah Lindu yang dikenal sebagai gudeg tertua di Yogyakarta.

“Saya sudah berjualan sejak sebelum m (menstruasi),” ujar Setyo Utomo (97), atau biasa dipanggil Mbah Lindu.

Advertising
Advertising

Mbah Lindu tak ingat lagi berapa umurnya ketika mulai berjualan gudeg. Saat itu wilayah Kota Baru dihuni warga elit Belanda. Kata Mbah Lindu, mereka inilah pelanggannya.

Wong londo (orang Belanda) ya seneng makan gudeg,” ujar Mbah Lindu sambil tertawa, memperlihatkan giginya yang sudah ompong.

Mbah Lindu masih berjualan ketika Jepang datang. Kata Mbah Lindu, orang Jepang tak suka makan gudeg.

Kendati sudah berjualan lama, soal rasa, Mbah Lindu jamin tak ada yang berubah. Isi dagangannya selalu terdiri dari gudeg, sambal goreng kerecek, tahu tempe, telur, dan ayam. Uniknya, Mbah Lindu sampai sekarang masih memasak dengan kompor bata dan kayu bakar. Hasilnya? gudeg berwarna kecoklatan yang kering, legit, dan manis.

Dari Keraton

Gudeg berumur lebih tua dibanding umur Mbah Lindu. “Gudeg sudah ada sejak pendirian Yogyakarta,” ujar Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM).

Menurut Murdijati, setelah Perjanjian Giyanti, pada 1755 dilakukan pembersihan hutan oleh prajurit Kerajaan Mataram untuk membangun Yogyakarta. Kota mulai dibangun di wilayah yang disebut Alas Bering atau yang sekarang menjadi Pasar Beringharjo. Di hutan ditemukan banyak pohon kelapa, nangka, dan melinjo.

Para prajurit mencoba memasak nangka, kelapa yang diambil santannya, dan daun melinjo. Karena jumlah prajurit begitu banyak, mereka memasak dengan wadah semacam kuali besar yang terbuat dari logam.

“Dari pekerjaan mengaduk sepanjang waktu itu, proses memasaknya mereka sebut hangudeg. Masakannya disebut gudeg. Jadi memang gudeg itu aslinya dari Yogyakarta,” ujar Murdijati.

Baca juga: Inilah Makanan Orang Jawa Kuno

Tak cuma itu, para prajurit menemukan, gudeg justru semakin enak jika makin dipanaskan dan bumbunya pun makin meresap. Gudeg juga tahan berhari-hari. “Dari sisi teknologi pangan pemanasan yang lama akan mematikan bakteri,” ujarnya.

Gudeg juga disebut dalam Serat Centhini yang ditulis sekira 1814 M. Dalam serat itu dikisahkan suatu pagi Raden Mas Cebolang singgah dan bercengkerama dengan Pangeran Tembayat dan tamunya, Ki Anom. Ketika terdengar suara bedug, Pangeran meminta kepada hamba wanita untuk mempersiapkan makanan. Di antara panganan, gudeg disebut lengkap dengan sambel gorengnya.

Dengan berbagai variannya, gudeg kemudian dibuat di keraton maupun di rumah-rumah. Gudeg bisa disajikan bersama tempe, tahu, telur, atau ayam, tergantung kemampuan pembuatnya.

“Gudeg dari Keraton Yogya berbeda dengan yang ada di luar keraton. Gudeg ala Keraton menggunakan bahan kluwih, sedangkan di luar keraton berbahan dasar nangka muda. Selain itu sayuran hijau yang digunakan dalam gudeg di Keraton berasal dari daun mlinjo sementara yang di luar dari daun pepaya atau singkong,” tulis BRAy Nuraida Joyokusumo, istri GBPH Joyokusumo, dalam karyanya Warisan Kuliner Keraton Yogyakarta.

Setelah menjadi masakan rumahan, karena perlu waktu lama untuk memasak, penjual gudeg bermunculan. “Boleh dikatakan setiap kampung jadi ada penjual gudeg. Orang Yogya biasa sarapan dengan gudeg,” ujar Murdijati.

Hingga kini, gudeg dikenal luas sebagai makanan khas Yogyakarta.

Inovasi Gudeg

Sebagai salah satu kota tujuan wisata, pemerintah menangkap potensi gudeg untuk menarik wisatawan datang ke Yogyakarta. Dibuatlah sentra gudeg di Wijilan, nama salah satu jalan di balik tembok sisi timur Keraton Yogya. Di zaman dulu, gudeg Wijilan dibuat untuk keperluan keluarga Sultan.

Di Wijilan kemudian tumbuh rumah-rumah makan dengan menu spesial gudeg. Karena banyak wisatawan yang ingin membawa pulang gudeg sebagai oleh-oleh, lahirlah gudeg yang tak mudah basi. Awetnya gudeg ini bisa dibuat dengan dua cara: penambahan gula yang lebih banyak dan membuat gudeg sekering mungkin. 

“Kalau tadinya berkuah, sekarang kering biar tahan dibawa pulang. Makanya jadilah gudeg kering seperti yang sekarang dikenal di Wijilan itu,” tutur Murdijati. 

Baca juga: Cara Kuno Mengawetkan Makanan

Pemerintah kembali membangun sentra gudeg di daerah Barek, sebelah utara Selokan Mataram, setelah pada 1955 kampus UGM pindah ke wilayah Bulaksumur.

Di Wijilan maupun Barek, tak sulit menemukan penjual gudeg yang terkenal di seantero Yogya.

Tentu saja gudeg tak hanya ditemukan di Yogya. Gudeg juga bisa ditemui di kota-kota lain, bahkan di mancanegara. Sebuah restoran kecil bernama Dewi di Alpine Plaza, 211 Alpine St No 4, Los Angeles, Amerika Serikat, kadang menyajikan nasi gudeg. Restoran yang dibuka akhir 1970-an ini populer di kalangan orang Indonesia.

Kini, penggemar gudeg Yogya tak perlu khawatir jika ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh ke tempat yang jauh. Gudeg sudah bisa disimpan sampai satu tahun berkat inovasi gudeg kaleng. Pelopornya adalah Gudeg Bu Tjitro 1925. Gudeg kalengnya dipasarkan secara luas sejak 2011.

“Tahun 2009 kami kerjasama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menemukan teknologi pengolahan makanan agar awet. Tidak menggunakan bahan pengawet, tapi steriliasi,” ujar Jumirin, manajer produksi Gudeg Bu Tjitro 1925.

Baca juga: Makanan Kaleng Merentang Zaman

Jumirin menceritakan, sebelumnya pengemasan gudeg menggunakan besek dan kendil. Dengan kemasan itu gudeg tahan paling lama 48 jam. Ini menyusahkan, terutama untuk orang yang ingin membawa gudeg ke luar negeri.

“Kaleng bisa. Hanya memang kami belum bisa ekspor,” ujarnya.

Dalam satu kaleng gudeg bisa ditemukan gudeg bersama telur, potongan ayam, dan krecek. Gudegnya bisa dinikmati dua orang. Gudeg kaleng ini hadir dengan empat pilihan rasa: original, pedas, manis, dan rendang.

Meski dalam bentuk kaleng, dijamin rasa Gudeg Bu Tjitro 1925 tak berubah. Rumah makan yang sudah berdiri sepanjang empat generasi ini juga tak pernah mengubah resepnya sejak Tjitro Sastrodiprojo berjualan gudeg tahun 1925. Namun, pihaknya memilih untuk mengurangi kadar manis dalam resep gudegnya. Itu karena orang masa kini dinilai tak lagi menyukai makanan manis.

TAG

kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Kontes Memasak Tempo Dulu Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang Mula Restoran All You Can Eat Popcorn dari Jalanan ke Bioskop Meriung di Warung Makan Tempo Dulu Kuliner Eropa yang Diadopsi di Nusantara Rumah Merah Kapitan Lim Fatmawati Suka Memasak