Masuk Daftar
My Getplus

Lembutnya Sejarah Bedak

Ia berguna sebagai pengusir roh-roh jahat hingga mempercantik paras perempuan di berbagai belahan bumi.

Oleh: M.F. Mukthi | 20 Jan 2012

BAGI perempuan karier seperti Ira Surjaman, berusia 33 tahun, bedak bukan hanya untuk kecantikan tapi juga kesehatan. “Karena bedak bisa melindungi kulit dari debu dan sinar matahari,” ujar karyawati swasta yang berkantor di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta, kepada Historia.

Bedak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang-orang di berbagai bangsa selama berabad-abad. Awalnya, orang menggunakan bedak bukan untuk tujuan keindahan tapi lebih karena alasan spiritual. Membalur tubuh dengan bedak dianggap bisa menjauhkan diri dari roh-roh halus. Orang-orang Timur Jauh menggunakannya khusus untuk acara pernikahan atau pertemuan lainnya. Baru setelah Ratu Cleopatra menggunakannya sebagai lapisan dasar kosmetik, fungsi estetis bedak lebih menonjol.

Cleopatra sangat peduli dengan penampilan. Selain ahli parfum, dia punya perhatian besar terhadap bedak. Dia menggunakan beragam bahan, beberapa di antaranya sangat eksotis. Mungkin yang “terhebat” adalah kotoran buaya, yang dia buat menjadi bubuk halus.

Advertising
Advertising

Bangsa Mesir umumnya membuat bedak dari campuran kapur dan tanah liat. Namun dalam jumlah yang lebih sedikit, mereka menambahkan timah putih. Penggunaan timah putih juga umum di Dunia Timur maupun Barat kuno. Penggalian arkeologis situs Mesir Kuno, Lembah Sungai Indus, makam Yunani, serta makam Dinasti Chin dan Han di China, membuktikannya.

Sebelum Mesir, orang-orang Sumeria menggunakan bunga ochre kuning untuk bedak wajah. Mereka menamai bedak itu “golden clay” atau “face bloom”. Orang-orang Mesopotamia lalu meneruskan kebiasaan leluhurnya ini dengan sedikit modifikasi. Mereka menggunakan ochre merah atau daun pacar (henna). “Bangsa Mesir kurang liberal dengan bedak mereka,” tulis Robert James Forbes, ahli kimia-cum-sejarawan sains asal Belanda, dalam Studies in Ancient Technology, Vol. 8., “meski gambar-gambar yang ada menunjukkan bahwa perempuan kuno Mesir sangat paham bagaimana menggunakan kain pemoles bedak.”

Berbeda dari bangsa Mesir, orang-orang Timur Jauh (China, Jepang, dan sekitarnya) umumnya menggunakan bahan tepung beras. Setelah itu, artis zaman Dinasti Tang memakai bedak yang terbuat dari mutiara sebelum naik panggung untuk melindungi dan mempercantik kulit. Kaisar Dowager dari Dinasti Ching lalu mengikutinya jauh setelah itu. Bangsa Yunani dan Romawi, kemudian dilanjutkan Eropa, membuat bedak dari gandum. Meski penggunaan bedak mulai meluas, ia masih terbatas di kalangan orang kaya atau bangsawan.

Penggunaan bedak menentukan status sosial. Warna kulit, dalam banyak budaya, menjadi pembeda strata masyarakat. Orang Mesir –dan banyak bangsa lainnya– sangat menghormati mereka yang berkulit putih. Dalam anggapan mereka, perempuan putih berarti tak keluar rumah untuk bekerja di bawah terik matahari yang menyengat. “Di Asia, kulit putih dijadikan tanda kebangsawanan, anggota golongan elit, dan warna putih merupakan simbol murni kecantikan diri dan keningratan,” tulis majalah gaya hidup, LUXemag.

Penggunaan beras sebagai bahan pembuatan bedak sempat membuat persediaan beras menurun pada abad ke-15. Namun itu tak menghalangi orang-orang kaya untuk berdandan. Bahkan seabad kemudian, beras dan terigu menjadi inti dari mode dan gaya hidup di Prancis, Spanyol, dan Inggris. Para perempuan ningrat menaburkan banyak bedak ke wajah, tangan, dan bahu untuk menyembunyikan cacat di kulit atau membuatnya terlihat lebih muda dan segar.

Campur-tangan penguasa membuat pamor bedak meredup pada akhir abad ke-18. Penguasa Prancis, lalu diikuti negara Eropa lainnya, melarang pembuatan bedak untuk menghemat terigu atau beras –yang didapatkan dari perdagangan dengan dunia Timur. Ratu Victoria juga sempat melarangnya karena menganggapnya vulgar. Kala itu bedak juga merupakan aksesori utama para pelacur. Bedak mulai meraih popularitasnya kembali di awal abad ke-20.

Bedak dengan wujud seperti sekarang diciptakan di Prancis. Bahan dasarnya talk tanpa campuran timah yang bisa mengiritasi kulit. Hampir bersamaan, dan ini menarik, Anthony Overton meluncurkan bedak pertama untuk orang Afro-Amerika dengan merek High Brown Brand –kala itu orang kulit putih masih melarang orang kulit hitam menggunakan bedak. Pada 1923, perusahaan Inggris Laughton & Sons menciptakan wadah bedak kompak yang nyaman, lengkap dengan sponsnya. Jeda beberapa saat, penata gaya legendaris Hollywood Max Factor meluncurkan bedak dasar yang bisa digunakan setiap hari, Pan Cake. Lalu, Helena Rubinstein membuat bedak murah pada awal 1940-an dengan merek yang menggunakan namanya. Bedak dengan fungsi lebih spesifik juga bermunculan. Perusahaan Johnson & Johnson (J&J), yang awalnya tak sengaja terjun di segmen ini, mengembangkan dan meraih keuntungan dari bedak bayi.

Konsumsi bedak terus meningkat. Di Amerika Serikat, menurut sejarawan Gary Dean Best, sebagaimana ditulis Brian Greenberg dan Linda S. Watt dalam Social History of the United States, Vol. 1, pada akhir 1920-an saja perempuan Amerika tiap tahunnya menggunakan 4.000 ton bedak. Itu belum termasuk produk kosmetik lainnya.

Kini, bedak menjadi bagian tak terpisahkan dari hampir setiap orang, terutama perempuan. Di dalam ataupun di luar rumah, dengan santai atau terburu-buru, perempuan membedaki wajah menjadi pemandangan yang familiar.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Awal Mula Kristen di Indonesia Sepenggal Cerita Orang Jawa-Suriname dalam Perang Dunia Momentum Zulkifli Lubis Kyai Modjo Sahabat Pendeta Riedel Antara Lenin dan Stalin (Bagian II – Habis) Penyebar Kristen di Kampung Ibu Prabowo Umat Advent Hari Ketujuh, Penanti Kedatangan Yesus Kedua Kali Jenderal-Jenderal dari SMP Tarutung Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman