USIANYA sudah tak lagi muda. Gaya rambut klimis berjambulnya pun sudah tak lagi ada. Namun dengan kepala plontos dan kumis serta janggut sekarang, penampilan aktor watak John Travolta makin berwibawa di usia kepala enam. Kharismanya masih sangat terasa.
Siapa tak mengenal John Travolta? Publik mengingatnya sebagai sosok ikonik di film-film komedi dan musikal nan legendaris macam Saturday Night Fever (1977) dan Grease (1978). Jebolan Broadway itu sepanjang lima dekade terakhir sudah membintangi 15 serial televisi dan 65 film, termasuk dokumenter dan film pendek. Meski semua genre pernah ia mainkan, Travolta mengaku paling menikmati peran-perannya di genre komedi dan musikal.
“Karena saya menikmati menjadi karakter yang lucu, bernyanyi, dan berdansa ketimbang karakter apapun. Sangat menyenangkan bisa membuat orang-orang ikut tertawa, bernyanyi, dan berdansa bersama,” aku Travolta dalam diskusi “Mola Living Live: John Travolta Speaks to Indonesia” di aplikasi daring Mola TV, Jumat (5/2/2021) malam.
Baca juga: Warna-warni Kehidupan Sean Connery
Lahir di Englewood, New Jersey, Amerika Serikat pada 18 February 1954, anak bungsu dari enam bersaudara pasangan keturunan Italia-Irlandia, Salvatore Travolta dan Helen Cecilia Burke itu sejak kecil sudah gemar mengikuti sang ibu yang sejak muda merupakan aktris dan penyanyi teater dan radio sekaligus guru drama di sebuah SMA.
Tak hanya Travolta kecil, empat kakaknya pun mengikuti jejak ibunya dengan masuk panggung drama teater. Maka ketika Travolta memutuskan untuk keluar dari SMA Dwight Morrow demi menseriusi dunia seni peran, sang ibu mendukungnya.
“Well, saya tumbuh di keluarga teatrikal. Jadi sejak kecil impian akan masa depan tak pernah jauh dari dunia teater. Setelah drop out (DO) dari sekolah, saya berharap bisa mencari nafkah sebagai aktor di televisi. Namun seiring waktu, pada akhirnya saya lebih nyaman di layar lebar daripada teater,” imbuh suami dari mendiang aktris dan model Kelly Preston itu.
Baca juga: Layar Kehidupan Robert De Niro
Travolta lantas meniti kariernya ke New York, tepatnya ke panggung teater Broadway. Ia mendapatkan peran pertamanya di drama teater Grease pada Juni 1972. Travolta saat itu mendapat peran pendukung, Doody, bukan tokoh utama Danny Zuko kelak dalam versi layar peraknya.
Pada September tahun yang sama, Travolta juga melakoni debutnya di layar kaca lewat drama seri Emergency! Season 2 dalam episode ke-13 bertajuk “Kids” yang ditayangkan stasiun televisi NBC. Kiprahnya di layar lebar baru terjadi tiga tahun kemudian lewat peran pendukung dalam film The Devil’s Rain (1975).
Melejit Lewat Musikal
Karier Travolta yang biasa-biasa saja itu baru berubah drastis setelah memerankan tokoh utama di film drama musikal Saturday Night Fever (1977) garapan John Badham. Meski berongkos produksi kecil, film itu meledak di pasaran. Karakter Tony Manero si “raja disko” yang dimainkan Travolta dari film itu ia kembangkan lagi ketika membintangi film musikal Grease (1978) sebagai tokoh utama Danny Zuko.
“John Travolta menciptakan kembali perannya sebagai Tony Manero (protagonis dalam Saturday Night Fever) dan judul lagu Grease 100 persen adalah disko; oleh karenanya meski filmnya di-setting era 1950-an, pada dasarnya film (Grease) ini adalah Saturday Night Fever II,” ujar kritikus Stephen Saban, dikutip Peter Krämer dalam ‘Grease Is the Word’: Exploring a Cultural Phenomenon.
Sebagaimana Saturday Night Fever, Grease juga meledak di pasaran. Kedua film itu kemudian bahkan menjadi pembentuk pop-culture baru yang mengglobal setelah booming-nya era Elvis Presley pada 1960-an. Selain mem-booming-kan disko, gaya rambut klimis berjambul dan fesyen Danny Zuko yang diperankan Travolta di film itu pun jadi trend-setter buat generasi muda hingga 1980-an.
“Padahal awalnya film Saturday Night Fever hanya diharapkan sebagai film drama musikal kecil. Saya sendiri terkejut sampai menjadi fenomena kultur global. Berbeda dengan Grease. Saya tidak terkejut karena memang punya ekspektasi besar filmnya meledak, sebagaimana kesuksesannya di panggung teater Broadway. Saya selalu percaya bahwa Grease akan sukses,” sambung Travolta.
Baca juga: Layar Lebar Chadwick Boseman
Di film itu bahkan Travolta mendapat dua nominasi kategori aktor terbaik di Piala Oscar 1978. Namun sayangnya, penghargaan itu jatuh ke Richard Dreyfuss yang membintangi The Goodbye Girl.
“Ketika pertama kali saya dinominasikan dan tak menang, ibu saya berkata: ‘baguslah, nak.’ Ternyata ibu menginginkan saya selalu punya sesuatu untuk dikejar, agar saya bisa terus mengembangkan kemampuan saya dalam berakting,” tambah duda beranak tiga itu.
Akan tetapi saat memasuki 1980-an, sebagian film yang dibintangi Travolta justru menuai kritik. Termasuk sekuel Grease bertajuk Staying Alive (1983) yang disutradarai Sylvester Stallone. Travolta mengakui era itu kariernya sedang terjun bebas.
Karier Travolta baru bangkit pada 1990-an. Itu dimulainya dari menerima tawaran sineas Quentin Tarantino untuk main di film komedi-kriminal Pulp Fiction (1994). Tak mengherankan bila film yang dibintangi jajaran para aktor kondang itu sukses di pasaran. Selain Travolta, Pulp Fiction juga dimainkan Uma Thurman, Samuel L. Jackson, Harvey Keitel, Christopher Walken, hingga Bruce Willis. Di film itu, Travolta dipercaya memainkan peran utama Vincent Vega, kendati bukan pilihan pertama Tarantino maupun produser Harvey Weinstein.
Baca juga: Sharon Stone dalam Bayang-bayang Simbol Seks
Weinstein awalnya menginginkan Daniel Day-Lewis untuk memerankan Vincent Vega, sementara Tarantino menginginkan Michael Madsen. Namun, Madsen menolak karena sudah memilih film lain. Tarantino akhirnya menjatuhkan pilihan pada Travolta.
“Saya belum kenal dekat dengan Quentin saat dia menawari saya peran di Pulp Fiction. Tapi saya terkesan dengan fantasinya terhadap bagaimana ia akan menggarapnya. Dia meng-casting saya sambil makan di restoran Thailand. Seperti bermain dalam sebuah game sembari menguji daya analisis saya dalam hal finansial, jadi semacam audisi saat itu. Akhirnya dia bilang bahwa saya harus memerankan karakter (Vincent Vega) itu,” kenang Travolta.
Meledak film itu membuat karier Travolta kembali meroket dan bertahan hingga sekarang yang memposisikan Travolta sebagai satu dari jajaran aktor legenda hidup. Travolta bahkan menerima penghargaan Golden Globe sebagai aktor terbaik di film (komedi) berikutnya, Get Shorty (1996).
Tak ayal ia pun kebanjiran tawaran film yang mesti ia tolak. Film-filmnya yang kemudian tak kalah laris di pasar global adalah American Gigolo (1980), yang dimainkannya dengan Richard Gere; Saving Private Ryan (1998) dan The Green Mile (1999) dengan Tom Hanks-nya.
“Saya tidak menyesal menolak film-film itu karena saya mendapat gantinya dengan film yang tak kalah bagus. Saya bukan ingin menolak cerita yang dituliskan untuk saya. Tetapi saya ikut senang Richard Gere dan Tom Hanks punya karier yang hebat karena saya beberapa kali menolak tawaran film-film itu,” cetusnya seraya berkelakar.
Baca juga: Wajah Joker dalam Lima Aktor
Dari beraneka genre yang pernah ia mainkan, ada satu film drama yang baginya paling berkesan, yakni Phenomenon (1996). Di film ini Travolta beradu akting dengan aktor kawakan Robert Duvall. Travolta memainkan karakter George Malley, pria yang hidupnya berubah karena punya kemampuan telekinetik.
“Sangat mudah beradu akting dengan Robert Duvall. Secara otomatis Anda akan bisa hanyut ke dalam zona dirinya. Filmnya sendiri sangat menyentuh dan membuat saya menangis saat membaca naskahnya. Benar-benar menguras emosi si karakternya. Saya senang dengan karakternya. Saya menangis saat membaca naskahnya dan saat menonton ulang filmnya,” paparnya.
Film Trading Paint, The Poison Rose, dan The Fanatic jadi tiga film terakhir Travolta yang dibintanginya pada 2019. Meski belum berniat pensiun, Travolta mengaku ingin vakum setahun terakhir. Terutama sejak meninggalnya sang istri Kelly Preston pada 12 Juli 2020.
“Dengan berat hati saya beritahukan bahwa istri saya Kelly telah meninggal setelah bertarung dengan kanker payudara. Dia bertahan dengan berani ditemani cinta dan dukungan banyak orang. Keluarga dan saya pribadi sangat berterimakasih kepada para dokter dan perawat di MD Anderson Cancer Center yang telah membantu di sisinya. Cinta dan hidup Kelly akan selalu dikenang. Saya butuh waktu bersama anak-anak saya yang kehilangan seorang ibu, jadi saya minta maaf jika tak mendengar kabar saya lagi dalam waktu lama. JT,” tulisnya di akun Instagram @johntravolta, 13 Juli 2020.
Dansa dengan Putri Diana
Selain film, Travolta juga menikmati karier di dunia tarik suara. Sejak 1974 Travolta sudah punya 11 album yang sebagian besar punya benang merah dengan kegemarannya menembangkan musik disko pasca-kesuksesan Grease.
Travolta tak tahu bahwa ternyata nyanyian dan tariannya di film itu turut dikagumi mendiang Putri Diana. Mengenang momen itu, Travolta menguraikan bahwa ia pernah mengajak Putri Diana turun ke lantai dansa meski sama sekali tak pernah merencanakannya. Momen itu terjadi di aula pesta Gedung Putih ketika dirinya diundang ke gala makan malam yang dihelat Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan beserta ibu negara Nancy Reagan dalam rangka menjamu kunjungan Pangeran Charles dan Putri Diana, 9 November 1985.
“Waktu itu tahun 1985, karier saya sedang turun. Tetapi saya tetap dihubungi Gedung Putih dan mengundang saya untuk bertemu keluarga Kerajaan Inggris. Saya diundang makan malam bersama beberapa selebritas lain. Jujur saya terkesan karena sama sekali tak pernah meminta diundang,” kenang Travolta.
Baca juga: Tiara Ratu Inggris Penolak Bala
Momen dansa itu bisa terjadi atas prakarsa Nancy Reagan. Travolta masih ingat betul ketika ia dihampiri Nancy.
“Jam 10 malam itu, Nancy Reagan menepuk pundak saya dan bilang: ‘Bisakah saya bicara sebentar dengan Anda?’ Saya menjawab, tentu saja. Awalnya saya mengira telah melakukan suatu kesalahan. Tetapi dia bilang lagi: ‘Tahukah Anda bahwa sang Putri punya fantasi untuk berdansa dengan Anda? Maukah Anda berdansa dengannya malam ini?’” papar Travolta menirukan Nancy.
Tentu saja Travolta bersedia. Nancy Reagan yang akan “mengaturnya”. Dikatakannya bahwa menjelang tengah malam dia akan kembali lagi menghampiri Travolta untuk kemudian mengantarnya menemui Putri Diana. Saat sudah di hadapannya, Travolta diharapkan bisa mengajak Putri Diana ke lantai dansa dengan tutur kata yang sopan.
Hampir dua jam setelah berbicara dengan Nancy, Travolta mengaku bingung ia harus bersikap seperti apa saat nanti berdansa. Ia pun kembali mencoba mengingat gerakan-gerakan untuk berdansa secara formal sebagaimana yang pernah diajarkan instrukturnya dahulu, mengingat ia akan berdansa secara formal dengan iringan musik klasik.
“Lalu tengah malam tiba dan Nancy Reagan menepuk pundak saya lagi. Katanya, ‘Sudah waktunya.’ Jantung saya masih berdegup kencang. Nancy lalu mengantar saya dan ketika sudah berhadapan dengan Putri Diana, saya mengatakan, ‘Apakah Anda bersedia berdansa dengan saya?’ Dia mengatakan bersedia,” lanjutnya.
Ada kesan berbeda ketika Travolta sudah memegang tangan sang putri. Meski postur mereka hampir sama, toh Travolta tetap merasa “kerdil”.
“Tinggi saya enam kaki, beliau hampir sama sebetulnya tapi saya merasa dia punya postur seperti 10 kaki. Mulanya di aula lantai dansa itu ada 10 pasangan, tetapi ketika saya mengajak Putri Diana, semuanya menepi dan membiarkan saya berdansa 15 menit dengan Putri Diana sendirian. Itu momen yang paling saya kenang. Putri Diana terlihat lebih cantik dan berkharisma ketimbang saya melihatnya di layar kaca. Saya merasakan besarnya ketokohan beliau saat itu dan jelas ada sesuatu dalam dirinya hingga bisa dicintai semua orang di dunia,” tandas Travolta.
Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler