Masuk Daftar
My Getplus

Langkah Stiletto

Seksualitas kaki dan mode sepatu hak tinggi mereka ulang identitas perempuan.

Oleh: Mira Renata | 31 Mei 2011
Perempuan memakai sepatu hak tinggi. (Cleo Vermij/Unsplash).

Jauh sebelum Cinderella berlari meninggalkan sebelah sepatu kacanya di tangga istana untuk menghindari dentang jam 12 kali, seorang budak dan penari cilik Mesir bernama Rhodopis terlebih dahulu kehilangan salah satu sandal emasnya. Seekor burung jelmaan dewa Horus mencuri dan menjatuhkan sandal emas itu di depan Firaun. Terpesona membayangkan keindahan kaki sang pemilik sandal, Firaun bersumpah mencari dan menikahi perempuan pemilik sandal.

Romantisme kaki dan sepatu dan perempuan bukan sekadar dongeng, modern atau kuno.

Mode sepatu perempuan berhak tinggi bermula pada masa Renaissance di abad ke-16 dengan chopines –sepatu dengan hak platform tebal yang tingginya mencapai 12 hingga 50 sentimeter. Kegilaan terhadap chopines dimulai di Italia, yang terbawa melalui interaksi dagang dengan Asia, terutama Turki.

Advertising
Advertising

“Mereka menjadi setengah daging dan setengah batang kayu,” tulis petualang John Evelyn dalam buku hariannya pada 1666, seperti dikutip dalam The Book of Costume: or, Annals of Fashion by A Lady of Rank. Evelyn melihat perempuan-perempuan kelas atas Venesia berjalan kikuk mengenakan chopines sambil dituntun para suami atau pelayannya.

Baca juga: Perjalanan Sepatu dari Zaman Batu

Chopines adalah sebuah permulaan. Hak tinggi pada sepatu berubah ramping dan lebih tinggi ketika bangsawan Catherine de Medici menikah dengan Duc d’Orleans Henry pada 1533 –kelak menjadi Raja Henry II. Saat itu de Medici berusia 14 tahun dengan tinggi badan kurang lebih 150 sentimeter. Sejak itu mode sepatu tinggi menyebar luas di kalangan bangsawan Prancis.

Hak tinggi tak melulu milik eksklusif perempuan. Sejarawan Joan deJean menulis bahwa Raja Louis XIV mengagumi berbagai bentuk keindahan, termasuk penampilan fisik. “Dia memakai berbagai atribut mode untuk memperlihatkan keindahan bentuk kakinya,” tulis deJean dalam The Essence of Style: How the French Invented High Fashion, Fine Food, Chic Cafes, Style, Sophistication, and Glamour. Dia kerap memakai sepatu berhak tinggi dengan tambahan ornamen, termasuk cat merah darah pada haknya. “Merah adalah warna yang diasosiasikan dengan istana Versailles, kebangsawanan,” tambah deJean.

Louis XIV melarang pemakaian hak sepatu yang lebih tinggi dari dirinya. Peraturan lain, yang diterapkan pada 1673, membatasi penggunaan warna merah pada hak sepatu hanya untuk kalangan bangsawan.

Baca juga: Sentuhan Mewah ala Prancis

Revolusi Prancis menamatkan citarasa mewah sepatu hak tinggi di Prancis. Marie Antoinette, permaisuri Louis XVI, disebut mengenakan sepatu lusuh merah keunguan ketika berjalan menuju papan guillotine untuk menjalani eksekusinya.

Status eksklusif sepatu hak tinggi berangsur mengalami transformasi. Sepanjang periode La Belle Époque (1890-1914) di belahan Eropa, yang memuja kemewahan gaya hidup dan mode, sepatu berhak tinggi diasosiasikan dengan perempuan pekerja seks. “Sepatu boot berhak tinggi pada masa itu sinonim dengan pelacur Prancis… hingga saat ini, sepatu mungkin satu-satunya pengeluaran finansial termahal untuk profesi ini,” tulis peneliti Melissa Hope Ditmore dalam Encyclopedia of Prostitution and Sex Work, Volume 2.

Seksualitas kaki dan sepatu terkait erat. Sigmund Freud dalam Five Lectures on Psycho-Analysis menyimpulkan bahwa bagi orang-orang yang terikat secara seksual dengan simbolisme (fetish), sepatu melambangkan organ genitalia perempuan. Namun, penekanan seksualitas sepatu memiliki perbedaan antara di Barat dan Timur. Sejarawan Mary Trasko mendeskripsikan fetish sepatu di Barat cenderung agresif, “mengkilap, bersudut tajam, dan seperti-senjata”; berbeda dengan Timur yang pasif “menyerupai gaun tidur dengan lapisan atas satin dan sentuhan bordiran halus pada alas.”

Baca juga: Kapan Perempuan Bercelana Panjang?

Perbandingan ini dapat dilihat dari kegilaan akan erotisme telapak kaki mungil perempuan yang menyerupai lotus di China. Mengenakan sepatu lotus kecil serta langkah menjinjit perlahan menjadi simbol keanggunan dan kesempurnaan seorang perempuan. Untuk mendapatkan bentuk ideal ini, anak perempuan pada usia tiga hingga delapan tahun menjalani pembengkokan jari kaki; empat jari kaki ke arah telapak bawah, sementara jempol kaki bebas. Bentuk telapak kaki pun berubah melengkung dengan jempol kaki sebagi tumpuan. Proses pembengkokan butuh waktu tahunan dan kerap mematahkan tulang jari kaki dan tulang telapak kaki bagian tengah-atas; membuat perempuan sulit beraktivitas hingga cacat permanen. Praktik pembengkokan kaki perempuan, yang diperkirakan berawal pada masa Dinasti Tang (937M), berkurang ketika China menjadi Republik pada 1912 dan resmi dilarang oleh pemerintahan Mao pada 1949.

Kaki juga bertanggungjawab atas terbentuknya imajinasi erotis terhadap seluruh tubuh, tulis William Rossi dalam The Sex Life of Foot and Shoe. Sepatu berhak tinggi membuat postur tubuh dan langkah tegak, menonjokan dada, abdomen, dan paha, serta menciptakan daya tarik seks secara visual.

“Sebelum memandang wajah mereka, saya terlebih dulu ingin melihat bagaimana mereka berjalan. Sebuah langkah mengandung lebih banyak seks dibandingkan seraut wajah atau sesosok tubuh,” ucap Florenz Ziegfield, seorang promotor teater dan acara hiburan di Amerika awal 1920-an. Ziegfield menerapkannya dalam proses perekrutan. Dia meminta para pelamar perempuan berjalan dengan sepatu berhak tinggi di balik layar putih. Siluet langkah mereka menjadi dasar penilaiannya.

Baca juga: Evolusi Ritsleting

Dunia hiburan dan media Barat berperan dalam menyebarluaskan mode sepatu hak tinggi. Usai Perang Dunia I, sepatu hak tinggi mulai dikenakan oleh perempuan dari berbagai kalangan. Mode ini pun terbawa hingga ke daerah koloni.

Di Hindia Belanda misalnya, majalah Isteri edisi September 1931 menyorot tajam mode sepatu berhak tinggi –saat itu disebut slof (selop). Penulis artikel menyesali dan mencela (mode) selop yang berhidung runcing dan haknya terlalu tinggi. “Keruncingan mendatangkan kejelekan dan kesakitan: jari-jari kaki berkumpul jadi satu; tumbuh tulang-tulang kaki, terutama tulang jari dan delamakan [telapak kaki], terganggu; … ujung kaki terjepit dan ini menyebabkan kulit ayam menjadi rusak, mata kapalan atau ekstrogen yang tidak sedikit mendatangkan kesakitan. Itulah hasilnya… Mode yang membawa kejelekan,” kritiknya.

Meski dianggap berbahaya bagi kesehatan, sepatu hak tinggi tak pernah punah. Pada 1953, harian Daily Telegram di London memuat desain perancang sepatu Roger Vivier untuk rumah mode Christian Dior, dengan hak kurus dan super tinggi dengan nama stiletto. Diambil dari nama pisau panjang-tipis di Italia, kenyamanan memang bukan daya tarik stiletto. Bagi kebanyakan perempuan, stilleto menambah feminitas, seksualitas, dan keindahan. Mode pun mengubah permintaan pasar, dari fungsionalisme alas kaki menjadi fetishism sepatu.

“Setiap perempuan tak hanya sadar akan kakinya, mereka juga menyadarinya secara seksual,” ujar Andre Perugia, salah seorang perancang sepatu perempuan ternama 1920-1960.

Baca juga: Awal Mula Demam Sepatu Roda

Tak semua perempuan setuju pendapat ini. Gerakan feminis pada 1960-an mengkritik sepatu perempuan berhak tinggi sebagai ciptaan kaum laki-laki untuk memuaskan fantasi dan stereotip seks terhadap perempuan. Lee Wright dalam “Objectifying Gender: The Stiletto Heel” menulis bahwa “stiletto secara luas diterima sebagai lambang subordinasi perempuan –setara dengan pembengkokan jari kaki atau korset ketat.”

Gerakan awal feminis pun menyerukan untuk menukar stiletto dengan sepatu tanpa hak plus sol yang tebal.

Pandangan ini berubah seiring kemunculan kelompok feminis liberal yang memandang mode, termasuk sepatu berhak tinggi, bukan lagi sebagai objek pemaksaan melainkan refleksi kekuatan perempuan untuk memilih apa yang membuatnya bahagia dan menambah rasa percaya diri, tulis Larraine Gamman dalam Self-Fashioning, Gender Display and Sexy Girl Shoes. “Ketertarikan perempuan terhadap sepatu tak bisa lagi dipandang hanya melalui sudut relasi dengan laki-laki. Ia perlu dipahami dalam dimensi pencarian identitas, termasuk narsisisme dan konsumerisme,” Gamman menyimpulkan.

TAG

sepatu

ARTIKEL TERKAIT

Adidas dan Kemenangan Jerman Barat di Piala Dunia 1954 Docmart, Sepatu Dr. Martens Perjalanan Sepatu dari Zaman Batu Para Penyemir Cilik 12 Sepatu Bola yang Hilang Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman