Juni 1913, Sutartinah beroleh kabar tak sedap soal tunangannya, Suwardi Suryaningrat –kelak dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengancam akan menangkap Suwardi karena menulis artikel berjudul “Als Ik Een Nederlander was” (Andaikan Aku Seorang Belanda) di buletin resmi Komite Boemi Poetra. Komite ini diketuai Tjipto Mangunkusumo, Suwardi sebagai sekretaris, dan Abdoel Moeis serta Wignjodisastro sebagai anggota.
Baca juga: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia
Dalam artikelnya, Suwardi mengkritik rencana peringatan seabad kemerdekaan Belanda dari Prancis dengan biaya dari rakyat jajahan Hindia Belanda.
Buletin itu dicekal dan komite dilarang menerbitkan apapun. Tak terima, Tjipto menulis artikel di surat kabar De Express, 20 Juli 1913, berjudul “Kracht of Vreez” (Ketakutan atau Kekuatan). Intinya, dia menganggap sikap represi terhadap Komite Boemi Poetra adalah bentuk ketakutan pemerintah.
Berselang sepekan, Suwardi kembali menohok pemerintah dengan artikel di De Express, 28 juli 1913, berjudul “Een voor Allen, Allen voor Een” (Satu untuk semua, semua untuk satu).
Pemerintah tak dapat lagi menahan diri. Pasukan Belanda dikirim ke Bandung untuk meringkus Suwardi dan Tjipto, serta menyegel kantor Indische Partij, tempat Komite Boemi Poetra bekerja. Tak terima kedua koleganya ditangkap, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang baru kembali dari Belanda, menulis di De Express, berjudul “Onze Helden Soewardi en Soetjipto Mangoenkoesoemo” (Pahlawan-pahlawan kita Suwardi dan Sucipto Mangunkusumo).
Kabar penangkapan cepat beredar, bahkan sampai ke kerabat Paku Alaman di Yogyakarta. Sumardinah Martadirja melalui surat menanyakan soal itu kepada adiknya, Sutartinah: “Bahwa di Yogyakarta sudah tersiar kabar bahwa kangmas Suwardi hendak mencetuskan pemberontakan kepada pemerintah Hindia Belanda, tolonglah jawab, apakah berita itu benar?”
Baca juga: Ki Hajar Dewantara dan sekolah liar
“Kanda Sumardinah Martadirja, Yogyakarta. Kalau berita itu benar, aku yang lebih dulu tahu. Dan jika pun benar, aku sudah siap menghadapi risiko apa pun dengan penuh kebanggaan sebagai keturunan brandal Diponegoro,” jawab Sutartinah dalam surat balasan, seperti dikutip Bambang Sokawati Dewantara dalam biografi Nyi Hajar Dewantara. Raden Ajeng Sutartinah lahir pada 14 September 1890. Dia cucu Sri Paku Alam III sekaligus canggah atau keturunan kelima Pangeran Dipaonegoro.
Sutartinah bergegas menuju Bandung, namun terlambat. Suwardi dan Tjipto sudah ditahan, sementara Douwes Dekker juga dilarang menerima tamu. Bandung mencekam sebab banyak pasukan kolonial berjaga dengan sangkur telanjang.
Atas izin kepala militer setempat, Sutartinah bertemu Suwardi meski hanya lima menit. Di ruang khusus, Suwardi menggenggam tangan Sutartinah. Mereka bertukar sapu tangan yang diselipkan ke genggaman masing-masing tanpa sepengetahuan penjaga. Rupanya, masing-masing menulis pesan di dalamnya. Pesan Suwardi supaya Sutartinah menyelipkan berita dari luar tahanan melalui serdadu asal Ambon yang terpercaya, Sersan Soulisa. Sedangkan Sutartinah berpesan bahwa dirinya akan kembali ke Yogyakarta untuk mencari dukungan dan bantuan seperlunya.
Sutartinah memenuhi permintaan Suwardi. Kabar dari luar penjara disampaikan melalui Sersan Soulisa yang menyimpannya di dalam laras senapan.
Sehari sebelum pulang ke Yogyakarta, Sutartinah mendapat surat dari Douwes Dekker: “Tinah! jangan berkecil hati! kau harus bangga bahwa satu di antara pahlawan-pahlawan kita itu adalah manusia pujaanmu.”
Sutartinah pun membalas: “Nest yang baik, Suwardi bukanlah pahlawanku. Tetapi pahlawan kita semua, seperti halnya dirimu dan Tjipto.” Tinah biasa menyapa Douwes Dekker dengan panggilan Nest dari namawa awalnya, Ernest.
Baca juga: IErnest Douwes Dekker, indo yang jadi menteri
Di Yogyakarta, Sutartinah berhasil meyakinkan Sri Paku Alam VII mengenai kasus Suwardi melalui jasa saudara sepupunya, pangeran Suryaningprang. Pemerintah kolonial meminta supaya orangtua Suwardi, Pangeran Suryaningrat dapat menekan perangai anaknya. Suryaningrat berangkat ke Bandung, dan justru mendukung perjuangan anaknya. Sehari setelah Suryaningrat meninggalkan Bandung, Sutartinah diminta ayah mertuanya untuk berangkat ke Bandung untuk menemani proses pengadilan Suwardi.
Sebulan, Tiga Serangkai merasakan dinginnya kamar berjerajak besi. Pada 18 Agustus 1913, hakim memutuskan Tiga Serangkai akan dibuang ke Bangka, Banda Neira dan Timor, Kupang. Namun, mereka menolak dan menginginkan pengasingan keluar tanah air, dengan negara tujuan negeri Belanda.
Sebelum berangkat, akhir Agustus 1913, Suwardi dan Sutartinah melangsungkan pernikahan sederhana di Puri Suryaningratan, Yogyakarta. Mereka akan melangsungkan bulan madunya di tanah pengasingan. Pada 13 September 1913, kapal Bullow bertolak ke Belanda, membawa Tiga Serangkai serta Sutartinah.
Sutartinah tak menikmati bulan madunya. Selain sebagai istri Suwardi, dia juga mengatur belanja harian orang-orang buangan politik itu. Dana tersebut berasal dari Tado Fonds, badan bentukan Indische Partij yang menggalang dana dari organisasi atau masyarakat untuk membiayai buangan politik. Jumlahnya pun tak banyak. Untuk menambal kekurangan, Sutartinah menyediakan mengajar di taman kanak-kanak di Weimaar, Den Haag.
Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, dokter antifasis
Sekali waktu, Suwardi dan Tjipto mendapat undangan ke Berlin, Jerman untuk menghadiri presentasi Douwes Dekker di Universitas Berlin. Sutartinah tak turut karena sedang hamil.
Namun malang, Suwardi dan Tjipto dicokok intelijen Jerman yang mengikuti mereka, karena mendengar mereka berdua berbicara memakai bahasa Jawa. Intel Jerman itu menduga bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jepang. Jerman belum bersekutu dengan Jepang saat Perang Dunia I.
Kabar penahanan ini tiba juga ke Sutartinah. Dia pun mengontak karibnya, Chrislebeau, pelukis kesayangan Ratu Wilhelmina, dan Kementrian Luar Negeri Belanda. Akhirnya, pemerintah Belanda mengontak pemerintah Jerman. Sutartinah yang sedang hamil membawa surat pembebasan ke Berlin. Suwardi dan Tjipto pun bebas. Douwes Dekker mengantar mereka ke stasiun, pulang ke Belanda.
“He Cip! Tahukah kamu? Salah Siapakah semua ini?” tanya Douwes Dekker.
“Tentu salahmu! Kamulah yang mengundang kami,” jawab Tjipto.
“Ah tidak bisa,” jawab veteran Perang Boer itu mengelak.
“Ini salah Suwardi sebab dia tidak mengajak Tinah. Seharusnya kau mulai menyadari Wardi, apapun yang terjadi, kau dan Tinah tidak boleh berpisah sedetik pun juga,” ujar Douwes Dekker.
Pada 1928, saat Suwardi berusia 40 tahun, mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, demikian pula Sutartinah, menjadi Nyi Hajar Dewantara. Selama 46 tahun Nyi Hajar mendampingi Ki Hajar dalam suka dan duka.