Majalah Penjebar Semangat didirikan dr. Sutomo pada 1933. Majalah berbahasa Jawa ini awalnya menurunkan berita politik. Namun, lama-kelamaan tidak begitu laku. Akhirnya, membuka rubrik cerita hantu, “Alaming Lelembut.” Majalah lain yang memiliki cerita hantu adalah Joko Lodang dengan “Jagating Lelembut” dan Joyo Boyo dengan “Cerita Misteri.”
“Cerita hantu di Panjebar Semangat muncul tahun 80-an ketika oplah mulai turun. Lama-lama jadi menu utama dan yang paling favorit. Hipotesis saya, kalau tidak ada cerita hantu, majalah ini tidak akan bertahan sampai sekarang,” kata Sunu Wasono, pengajar sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam bincang ilmiah “Tema Horor dalam Masyarakat” di FIB UI, Depok, Jawa Barat (3/10).
Menurut Sunu, yang membuat disertasi tentang dongeng lelembut di Penyebar Semangat pada 2015, cerita hantu mencerminkan pandangan atau kepercayaan masyarakat karena bersinggungan dengan kehidupan dan kematian. Dalam konsep Jawa, secara garis besar ada dua jenis kematian. Kematian yang baik seperti mati karena sudah tua, mati di jalan Tuhan, mati saat melahirkan atau dilahirkan. Yang kedua adalah kematian karena sebab-sebab yang tidak lumrah, seperti mati bunuh diri atau kecelakaan.
Baca juga: Kala Hantu Pindah ke Kota
“Dalam majalah Panjebar Semangat yang mati bunuh diri nanti gentayangan, kesasar-sasar ikut genderuwo, dll.,” kata Sunu.
Hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang yang mati karena kecelakaan, menjadi korban pembunuhan atau pemerkosaan. Sering kali dalam cerita hantu ini, mereka bisa diselamatkan dengan doa oleh orang yang masih hidup, kehadiran kiai, ataupun dukun.
Dari banyak jenis hantu yang muncul dalam cerita seram, genderuwo merupakan yang paling populer. Meski demikian, ada banyak jenis hantu di Indonesia, seperti wewe gombel, kuntilanak, cumplung, cerangkong, atau banaspati.
“Khazanah hantu kita kaya. Kalau bisa menggali itu bisa dibuat film. Banaspati misalnya, suka menghisap darah orang. Itu vampire versi Indonesia,” kata Sunu.
Javanolog H.A. Van Hien dalam penelitiannya, De Javaansche geestenwereld... (1896), menyebut 95 jenis makhluk halus di Jawa. Sementara itu, dari hasil penelitiannya di Mojokuto, Jawa Timur pada 1950-an, antropolog Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priayi, Priayi dalam Masyarakat Jawa, membagi makhluk halus di Jawa menjadi lima golongan besar: memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang.
Baca juga: Kategori Makhluk Halus di Jawa
Suma Riella Rusdiarti, pengajar program studi Prancis FIB UI, mengatakan ada perubahan kecenderungan pemilihan hantu dalam sinema Indonesia. Film-film horor Indonesia tahun 80-an diisi dengan tokoh-tokoh mistis, seperti Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, atau tokoh hantu semacam kuntilanak. Tokoh-tokoh mistis atau hantu kebanyakan merupakan perempuan.
Kuntilanak dalam film digambarkan sebagai perempuan korban kekerasan yang membalas dendam terhadap laki-laki. “Yang menyedihkan ketika sudah jadi hantu dan sakti mereka dikalahkan oleh laki-laki sebagai dukun atau agamawan,” kata Riella yang menulis disertasi tentang “Kaidah, Makna Das Unheimliche, dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia” di UI pada 2015.
Riella juga menjelaskan bahwa hantu-hantu perempuan dalam film Indonesia merupakan representasi perempuan yang sulit dikendalikan. Mereka menjadi hantu karena ketika hidup hadir sebagai makhluk inferior dan direpresi.
Baca juga: Hak Hidup Makhluk Halus
“Film horor Indonesia paling banyak memunculkan kuntilanak dan pocong. Hantu khas Indonesia hari ini adalah pocong. Dua puluh tahun yang lalu, pocong belum menjadi pemeran utama dalam film Indonesia. Bila kuntilanak jenis kelaminnya bisa dideteksi dengan jelas, tidak halnya dengan pocong,” kata Riella.
Perubahan juga ada dalam lokasi kemunculan hantu yang bergeser ke kota. Dulu hantu muncul di pohon beringin, telaga, atau tempat yang dianggap keramat. Akan tetapi, belakangan film hantu menggambarkan kemunculan hantu di tempat-tempat umum, seperti kantor, terowongan, atau rumah sakit.
Baca juga: Makhluk Halus Pencuri Fulus
Cerita hantu, baik dalam film maupun tulisan, mengekploitasi kematian dengan menghadirkan sosok yang sudah mati. Mereka hadir untuk mewadahi pengalaman supranatural penontonnya. Meski demikian, cerita hantu tidak akan berhasil menakuti bila penontonnya tidak memahami konteksnya.
“Untuk orang Indonesia, pocong itu menakutkan. Teman saya yang orang luar malah heran apa yang mengancam dari sosok yang diikat dan melompat-lompat. Buat mereka pocong malah lucu,” kata Riella.