Sejak lama, Banda menjadi salah satu sentra penghasil rempah-rempah ternama dunia. Karena itu, tidak aneh jika kawasan kepulauan di timur Indonesia tersebut sudah menjadi rebutan sejumlah negara-negara kolonial seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda.
Menurut sejarawan Wim Manuhuttu, dari temuan-temuan arkeologis, Banda diketahui sudah menjadi bagian besar dari jaringan perdagangan di kawasan Samudera Hindia. “Selain pedagang-pedagang Nusantara, banyak pedagang dari Cina, Arab, Persia datang dan menetap di sana,” ungkap Wim dalam acara seminar "Banda: Heritage of Indonesia" di Erasmus Huis, Jakarta, Senin (31/7/2017).
Bahkan kata Wim, situasi masyarakat Banda sudah begitu teratur. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya desa-desayang tertata baik lengkap dengan perangkat-perangkatnya. “Dari temuan lukisan-lukisan lama, menunjukkan sudah ada permainan bola di sana. Tapi kami tidak tahu apakah ball game seperti sepakbola itu sudah ada aturannya atau tidak, karena dimainkan dengan dua bola,” ungkapnya.
Namun sejak terjadinya pembantaian oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur milik Belanda) pada 1621, populasi masyarakat asli Banda kian berkurang. Hanya tinggal berkisar 13-15 ribu penduduk atau 15 persen saja dari keseluruhan penduduk Banda
Semula banyak orang Banda yang dibawa pedagang-pedagang Belanda ke Batavia. Tapi akibatnya Belanda yang tidak mengerti soal Pala, tak bisa mengelola jenis rempah populer tersebut. “Akhirnya beberapa orang Banda dibawa kembali…” kata Wim.
Seiring waktu, percampuran antara pendatang yang menetap dari berbagai suku bangsa membuat identitas asli Banda perlahan menghilang. Dr Usman Thalib, dosen Universitas Pattimura juga mengakui, bahwa sampai sekarang orang-orang Banda asli terbilang langka.
“Orang-orang di Banda biasanya adalah percampuran keturunan lebih dari dua bangsa. Ini yang menjadikan Banda sangat pluralis dan diakui juga oleh Mohammad Hatta, salah satu tokoh bangsa yang pernah dibuang di Banda,” ujar Usman.
Maka wajarlah, kata Usman, jika Hatta pernah mengatakan: kalau mau melihat keanekaragaman Indonesia, lihatlah masyarakat Banda. Di sana, darah orang Cina, Arab, Bugis, Melayu, Jawa dan Eropa bersatu padu.