Hari Museum Indonesia diperingati setiap 12 Oktober. Mula penentuannya berpatok pada penyelenggaraan Musyawarah Museum Seluruh Indonesia pertama di Yogyakarta pada 11–14 Oktober 1962. Persamuhan itu membicarakan tentang hari depan museum Indonesia dengan merumuskan peran dan permasalahan museum.
Kala itu, museum-museum di Indonesia berada dalam kondisi suram. Kepedulian dan minat orang pada museum masih sangat kurang. Kebanyakan orang lebih suka mendengar cerita-cerita seram dari gedung museum daripada mengunjunginya. Yang berminat pada museum biasanya orang-orang tua dan pecinta sejarah.
Segelintir kecil orang juga berminat pada museum dan koleksinya. Tapi mereka suka museum dan benda-benda koleksi itu dari sisi ekonomi. Mereka tahu harga benda-benda koleksi museum sangat tinggi jika jatuh pada pembeli yang tepat. Sebab mereka ini golongan penggondol benda koleksi museum. Yang begini seringkali menjadi masalah dalam sejarah museum di Indonesia.
Baca juga: Harga Mahal di Balik Patung Gajah Museum Nasional
Kasus penggondolan benda koleksi museum seringkali terjadi. Ini misalnya menimpa Museum Gajah (sekarang disebut Museum Nasional) di Jakarta. Tak jarang kasus itu cukup menggemparkan. Seperti dalam kasus perampokan perhiasan kuno koleksi Museum Gajah pada 31 Mei 1963. Banyak keterangan lain menyebut 31 Mei 1961.
“Lima orang bersenjata telah memasuki kamar emas –tempat penyimpanan barang-barang dari emas dan permata– dan telah menggarong beberapa buah perhiasan dari emas bermata intan yang disimpan di salah sebuah lemari,” catat Djaja, 8 Juni 1963.
Perampok itu kelihatan telah mempelajari seluk-beluk Museum Gajah. Mereka tahu kekuatan penjaga dan cara melumpuhkannya. Mereka juga paham di mana benda-benda berharga itu terletak.
Perampokan Sejarah Bangsa
Gerombolan garong itu datang menyamar sebagai polisi. Mereka membeli tiket masuk dan berkeliling mengamati benda-benda koleksi museum seperti pengunjung lainnya. Tapi ketika penjaga lengah, mereka beraksi. Aksi mereka kepergok penjaga. Tapi mereka mempersenjatai diri dan mengancam penjaga.
Gerombolan garong itu berhasil membawa benda pusaka peninggalan masa Hindu-Buddha. Saat itu, belum ada taksiran terkait berapa banyak kerugian Museum Gajah secara ekonomi. Tapi banyak orang marah terhadap perampokan itu.
“Perbuatan merampok museum itu tidak hanya merupakan kejahatan biasa, tetapi perbuatan a-nasional, anti nasional. Benda yang tercuri itu tak ternilai harganya dengan uang,” sebut Djaja.
Baca juga: Lebih Dekat dengan Museum Nasional
Penggarongan itu menguarkan usulan tentang pengamanan museum. Menurut Djaja, kemanan museum di Indonesia masih sangat longgar. Bahkan untuk museum sekelas Museum Gajah. “Lemari-lemari penyimpanan maupun sistem keamanan di dalam museum-museum kita sebenarnya sudah ketinggalan zaman,” lanjut Djaja.
Di luar negeri, seperti di Smithsonian Institute, sudah ada penerapan teknologi canggih berupa alarm otomatis jika benda-benda diambil paksa. Selain itu, pihak museum juga membangun wadah pengaman dari konstruksi baja dan kaca tak mudah pecah. Tapi kendala dana cekak pada museum Indonesia membuat cara itu mustahil dilakukan.
Buron Kakap
Setelah beberapa lama buron, para perampok koleksi Museum Gajah ditangkap pada 1968. Pemimpinnya bernama Waluyo alias Kusni Kasdut. Parakitri T. Simbolon dalam Kusni Kasdut mengungkapkan, gerombolan Kusni Kasdut telah menjual pusaka itu senilai Rp2,5 miliar atau setara Rp230 miliar uang sekarang.
Kusni Kasdut adalah juga seorang buron kakap. Dia terlibat dalam banyak kasus pencurian dan pembunuhan. Yang paling terkenal kasus pembunuhan Ali Badjened, seorang pengusaha keturunan Arab. Kusni Kasdut termasuk pula dalam daftar kriminal paling licin dan bengis dalam sejarah dunia hitam Indonesia. Polisi membutuhkan waktu lama dan segala sumber dayanya untuk menangkapnya.
Baca juga: Perjalanan Johny Indo, Perampok Cerdik dan Licin
Tapi penangkapan Kusni Kasdut belum membuat jera para garong benda-benda koleksi museum. Gerombolan garong lain kembali menargetkan Museum Gajah pada 1979. Sejumlah koleksi uang logam kuno hilang. Bersama itu pula, Museum Mulawarman di Tenggarong turut kecurian. Tiga piring keramik kuno dari Tiongkok raib dari rubanah.
Berturut-turut setelah itu, kasus pencurian juga menimpa Museum Puri di Ubud, Bali pada Februari 1985, Museum Candi Dieng di Jawa Tengah pada 1987, Museum Pangeran Geusan Ulun di Sumedang pada 1987, dan Museum Joang di Jakarta pada 1988. Para pencuri menggasak berbagai macam koleksi bersejarah seperti lukisan, arca, dan mata tombak kuno. Semua koleksi tersebut tak pernah kembali.
Seiring kemajuan teknologi dan perbaikan kondisi keuangan, sejumlah museum mulai menerapkan sistem keamanan mutakhir berupa alarm dan kamera pengawas. Salah satunya Museum Gajah. Tapi sistem itu tetap bisa dibobol oleh para garong.
Kasus pencurian terakhir di Museum Gajah pada September 2013 cukup menggemparkan. Kamera pengawas tak berfungsi sehingga para pencuri berhasil menggasak empat artefak emas. Seperti kebanyakan kasus sebelumnya, benda-benda itu tak pernah bisa ditemukan.