BERTARUNG, bertarung, dan bertarung. Ke manapun Ip Man (diperankan Donnie Yen) melangkah, ia acap terpaksa adu ilmu. Betapapun upaya menghindar dari konflik selalu dilakukan sang sifu Wing Chun itu, ujung-ujungnya ia pasang kuda-kuda juga. Kisah Ip Man, klasik lantaran ke manapun ia bertualang pada akhirnya bakal dihadapkan pada situasi pertarungan untuk menegakkan keadilan.
Kisah klasik itu kembali dihadirkan sutradara Wilson Yip dalam Ip Man 4: The Finale. Itu menjadi biopik action keempat dan terakhir seri Ip Man yang digarap Yip.
Premis Ip Man 4 pun mirip dengan tiga film sebelumnya. Pembeda yang signifikan hanya sekadar latar belakang dan lokasi. Ip Man 4 mengisahkan sang guru berkelana ke San Francisco, Amerika Serikat pada musim gugur 1967. Ip Man bersikeras mencarikan sekolah buat putra bungsunya, Ip Ching (Jim Liu), kendati sang anak lebih memilih menggali ilmu beladiri ketimbang “makan” bangku sekolah.
Ip Man juga dihadapkan pada menurunnya kesehatan lantaran mulai mengidap kanker tenggorokan stadium awal gegara perokok berat. Pun begitu ia tetap terbang dari Hong Kong ke tanah Paman Sam berbekal tiket dari salah satu muridnya yang membuka kelas Wing Chun di San Fransisco, Bruce Lee (Danny Chan).
Baca juga: Berlatih Ala Bruce Lee
Sayangnya mendaftarkan Ip Ching tidak mudah. Untuk menjadi imigran guna bersekolah di Amerika membutuhkan surat rekomendasi Chinese Consolidated Benevolent Association (CBA). Surat itu tak mudah didapat lantaran Ketua CBA Wan Zong-hua (Wu Yue), seorang master Tai Chi, punya perkara yang belum selesai dengan Bruce Lee.
Master Wan hanya mau memberi surat rekomendasi itu bila Ip Man mau “menjewer” Bruce Lee agar menghentikan kelas kungfu untuk non-China-nya. Padahal dalam petualangannya di tanah seberang, Ip Man juga memberi pelajaran pada seorang instruktur karate yang bikin onar di sebuah festival di Pecinan San Francisco.
Gawatnya, instruktur yang dihajar itu merupakan guru di markas Marinir Amerika. Tak terima instrukturnya babak belur, Sersan Barton Geddes (Scott Adkins) menuntut balas. Bagaimana kelanjutannya? Pasti jauh lebih seru jika Anda tonton sendiri Ip Man 4 yang sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak 1 Januari 2020.
Sarat Dramatisasi
Ip Man 4 pas untuk mengisi liburan Tahun Baru Imlek 2020. Penonton tak hanya bakal bernostalgia dengan theme song Ip Man yang melekat di ingatan sejak seri pertama tahun 2008. Ip Man 4 juga sarat adegan-adegan action ciamik Wing Chun yang dikenal efisien dan mematikan.
Setiap pertarungannya juga diiringi music scoring yang mampu memperkuat setiap gerakan Wing Chun yang dipertontonkan Donnie Yen. Music scoring mengagumkan itu digarap Kenji Kawai.
Aneka kelebihan itu mampu menutupi sedikit rasa jemu dari alur cerita yang nyaris sama dengan film-film sebelumnya. Utamanya soal Wing Chun yang dianggap remeh oleh para master kungfu beraliran lain dan lagi-lagi, soal kungfu itu sendiri yang dianggap inferior dan dilecehkan oleh orang kulit putih.
Baca juga: Tendangan Kungfu yang Terulang
Pelecehan itulah yang membuat Ip Man mau tetap pasang jurus-jurus terakhir meski fisiknya sudah mulai digerogoti usia. Apa lagi kalau bukan demi kehormatan kungfu China.
Untuk kesekian kalinya, perjalanan Ip Man diracik dramatisasi sedemikian rupa sebagaimana Ip Man (2008), Ip Man 2 (2010), dan Ip Man 3 (2015). Dramatisasi itu mengakibatkan banyak scene tak sesuai fakta dan kisah asli sang guru Wing Chun itu.
“Memang banyak enggak bener sama kisah aslinya. Banyak dramatisasinya. Jadi yang kisahnya benar, hanya digambarkan bahwa benar ada yang namanya Ip Man, guru Wing Chun,” sebut Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia, kepada Historia.
Baca juga: Tuntutlah (Ilmu) Wushu sampai ke Negeri China
Salah satu penyimpangan fakta adalah soal penggambaran keluarga Ip Man. Di Ip Man 4, sang sutradara hanya menonjolkan sosok si bungsu Ip Ching. Anak-anak Ip Man yang lain tak dihadirkan.
“Seperti waktu di Ip Man yang pertama (2008), anaknya yang ditonjolkan hanya satu orang, Ip Chun. Di Ip Man 2 (2010), istrinya melahirkan anak kedua, Ip Ching, di Hong Kong. Padahal enggak betul. Ip Ching aslinya lahir di Foshan, bukan Hong Kong. Ip Man juga aslinya anaknya ada empat. Dua lagi perempuan, enggak diceritakan. Mungkin karena memang enggak belajar beladiri,” lanjutnya.
Ip Man dan Bruce Lee si Murid “Durhaka”
Ip Man 4 sudah diputuskan menjadi yang terakhir dimainkan Donnie Yen. Sang sutradara menegaskannya dalam satu adegan terakhir ketika Bruce Lee menghadiri pemakaman Ip Man yang wafat pada 18 Juni 1972.
Film bertema Ip Man memang tak hanya yang dimainkan Donnie Yen. Sejak booming pada 2008, banyak film bertema serupa dengan aktor lain memainkan karakter Ip Man yang bermunculan. Selain The Legend is Born: Ip Man (2010) yang diperankan Dennis To, ada The Grandmaster (2013) dengan Tony Leung pemeran utamanya, dan Ip Man: The Final Fight (2013) yang diperankan Anthony Wong.
“Tapi memang sepertinya yang paling cocok ya Donnie Yen. Dia sampai menguruskan badan untuk bisa pas memerankan Ip Man. Setelah Ip Man 4 ini, mungkin saja diteruskan dengan kisah Bruce Lee,” lanjut Martin.
Baca juga: Wushu Menembus Sentimen dan Stigma Orde Baru
Prediksi Martin sangat mungkin benar lantaran di beberapa adegan Ip Man 4, sang sutradara seolah memberi kode yang mengarah ke Bruce Lee. Antara lain, saat Ip Man bangga melihat demonstasi Jeet Kun Do, yang dikembangkan dari Wing Chun, Bruce Lee di sebuah eksebisi turnamen karate.
Adegan lain, saat Ip Man dalam pertarungan terakhirnya menggunakan beberapa teknik adaptif untuk menumbangkan musuhnya yang berbadan besar. Ia antara lain menggunakan tendangan ke selangkangan yang bikin nyeri “kantong menyan” lawan. Teknik itu tak pernah dipergunakan Ip Man di tiga film sebelumnya, di mana sang guru selalu berkelahi tanpa teknik “culas” semacam itu.
Kode terakhir adalah, adegan Bruce Lee datang ke pemakaman Ip Man. Padahal faktanya, Bruce Lee baru bisa datang ke Hong Kong melayat ke keluarga mendiang Ip Man tujuh hari setelah sang guru berpulang. Bruce Lee yang tengah sibuk merintis karier jadi aktor laga di Amerika, tahu kabar itu tiga hari setelah Ip Man berpulang lewat sejumlah suratkabar berbahasa Inggris memberitakannya sebagai murid durhaka gegara tak hadir di pemakaman gurunya.
“Padahal orang-orang yang mengecam tahu bahwa Bruce tak datang ke pemakaman karena ia tidak tahu Ip Man wafat. Di Hong Kong kala itu Ip Man masih sekadar guru kungfu yang kurang dikenal. Berita kematiannya hanya diberitakan di koran-koran berbahasa China yang jarang dibaca Bruce,” ungkap Matthew Polly dalam biografi Bruce Lee: A Life.
Namun yang berkembang justru pemberitaan miring terhadap Bruce Lee. Berita-berita itu mengutip sejumlah mantan rekan seperguruan Bruce Lee maupun salah satu mantan guru Wing Chun-nya selain Ip Man, Wong Shun-leung. “Rasa cemburu mereka keterlaluan. Saya baru mengetahui kematiannya (Ip Man) tiga hari kemudian. Sialan. Saya merasa kecewa,” ketus Bruce Lee dikutip Polly.
Ip Chun, putra sulung Ip Man, diungkap Polly, sejatinya sudah ingin angkat telefon untuk mengabarkan kematian ayahnya pada Bruce Lee. “Tetapi kemudian seseorang mencegah saya untuk menelefonnya, dan pada akhirnya saya tak pernah menghubunginya,” kenang Ip Chun tanpa mau menyebut siapa orangnya.
Baca juga: Wushu dan Telepon Merah RI Satu