Sebuah kabar menyenangkan datang dari Soemanang Soerjowinoto, pemimpin redaksi harian Pemandangan, pada 1948. Soemanang memberitahukan Rosihan Anwar bahwa R.H.O. Djuanedi, penerbit Pemandangan, memiliki dana dan ingin menerbitkan koran yang membawa suara kaum kiblik.
Sebelum Perang Dunia II, Djunaedi sudah menerbitkan harian Pemandangan dengan Soemanang sebagai pemimpin redaksinya. Djunaedi ingin memanfaatkan percetakan Pemandangan di Senen Raya 107 untuk menerbitkan sebuah koran lagi. Syaratnya sederhana. Nama depan koran harus dengan huruf “P”, sama dengan nama depan Pemandangan.
Rosihan Anwar bukanlah orang baru di dunia jurnalistik. Dia pernah bekerja jadi wartawan Asia Raya dan Merdeka, sebelum kemudian menerbitkan Siasat. Tapi dia tak begitu puas dengan Siasat yang lebih menonjolkan sisi idealisme. Dia butuh perahu lain yang bisa dia nahkodai secara lebih bebas dan menguntungkan secara bisnis.
Rosihan menyambar kesempatan itu. Dia mengusulkan nama Pedoman. Djunaedi tak berkeberatan. Begitu juga ketika Rosihan hendak memakai orang-orang Siasat –berhenti terbit pada 1957. Nomor perdana Pedoman terbit pada 29 November 1948.
Baca juga: Mengenang Rosihan Anwar sang Anak Demang
Sebagai koran kiblik, Pedoman kerap memberitakan perlawanan tentara Indonesia. Pedoman pun merasakan pembredelan kali pertama pada 31 Januari 1949 karena memuat pidato radio Menteri Luar Negeri (darurat) Indonesia Mr Maramis dari New Delhi, India, yang mengajurkan kaum republiken meneruskan perjuangan kemerdekaan. Enam bulan Pedoman lumpuh. Ketika hendak terbit lagi, Djunaedi tak lagi antusias jadi penerbit. Tapi Rosihan jalan terus, meski dengan dana terbatas. Kesulitan modal akhirnya teratasi setelah Lim Tok Ie, tetangga sekaligus teman Rosihan di Pegangsaan Barat, menawarkan pinjaman. Perlahan Pedoman menjadi bacaan golongan menengah, kaum elite dan intelektual.
Sosialisme dan kedekatannya dengan kelompok Sjahrir memengaruhi sikap dan cara Rosihan mengambil kebijakan dalam mengelola Pedoman. Beberapa kalangan pun beranggapan Pedoman adalah suratkabar PSI. Menurut Rosihan Anwar, hubungan Pedoman dengan PSI harus dilihat dalam konteks saat itu. Hampir semua partai politik mempunyai organ pers, kecuali PSI yang tak punya modal. Secara sukarela Rosihan menjadikan Pedoman sebagai pendukung sosialis.
“PSI harus berterima kasih kepada saya karena saya bersedia dan secara sukarela menyokong perjuangan PSI. Tanpa mengeluarkan biaya, PSI mendapatkan koran pendukungnya, suatu koran yang besar tirasnya zaman itu,” ujar Rosihan, bercanda.
Baca juga: Mencatat Rosihan Mengenang Soerjono
Sikap itu terlihat jelas pada pemilihan umum tahun 1955. Rosihan masuk PSI untuk memenuhi syarat pencalonannya sebagai anggota Konstituante. Lalu dia menjadikan korannya untuk kepentingan kampanye PSI lewat tajuk rencana “Pilihan Kita: PSI”.
Pilihan sikap itu menjadi bahan ejekan koran lain, suatu hal yang biasa di zaman pers partisan. Koran Partai Nasional Indonesia Suluh Indonesia menganggap Pedoman “wis entek entute”. Alasannya Pedoman adalah bulat-bulat koran PSI. Karena PSI gagal besar dalam pemilihan Parlemen, begitu juga Pedoman. Tajuk rencana Pedoman, 14 Desember, menjawabnya dengan tulisan, “Menghadapi pemilihan Konstituante, kami tegaskan Pedoman durung entek entute dan begitu pula halnya PSI. (Yakin)”.
Keyakinan yang tak berbuah. Sama seperti hasil pemilihan umum Parlemen, dalam pemilihan Konstituante PSI hanya berhasil menempatkan 10 wakil di Konstituante. Rosihan sendiri gagal menjadi anggota Konstituante. Rosihan pun gagal jadi politisi.
Sudah takdir Rosihan, yang biasa dipanggil Bung Cian dan terkadang pula Haji Waang –nama tokoh lugu dan polos dalam tajuk rencana Pedoman tiap Jumat yang ditulisnya– untuk tetap jadi wartawan. Dengan pengetahuan yang kurang memadai, kecuali tahu sedikit-sedikit dari bacaan, Rosihan menerapkan gaya kepemimpinan yang dia sebut personal management dan membesarkan Pedoman. Tirasnya terus meningkat. Bahkan pada 1961, memiliki tiras 53.000 eksemplar dan menjadikannya koran beroplah terbesar. Pemasukan iklan bertambah.
Baca juga: Yang Melaporkan dari Medan Perang
Rosihan tak menganggap Pedoman miliknya. Dalam tajuk untuk memperingati ulang tahun Pedoman, 28 November 1953, Rosihan menegaskan bahwa sejarah pertumbuhan Pedoman tak pernah terikat kepada sejarah satu orang tapi senantiasa kepada sejarah suatu kumpulan orang. Sikap ini dia tunjukkan ketika membentuk PT Badan Penerbit Pedoman. Dia mengusulkan agar hak milik atas suratkabar itu dibagi sama rata. Wartawan dan karyawan mendapat jumlah saham yang sama.
“Sentimen sosialis dan idealis di masa muda telah menggerakkan saya supaya membuat suratkabar suatu usaha dan milik bersama,” ujarnya. Rosihan juga tak mau mengulang pengalaman buruk harian Merdeka, yang membuatnya berselisih dengan BM Diah dan membuatnya terdepak.
PT Badan Penerbit Pedoman kemudian menerbitkan lampiran-lampiran yang dijual secara terpisah: Pedoman Minggu, Pedoman Wanita, Pedoman Sport, dan Pedoman Anak. Tiras mereka terbilang lumayan; masing-masing 42.000, 15.000, 40.000, dan 45.000 eksemplar pada 1961.
Untuk menjadi koran mainstream, jalan Pedoman tidaklah mulus. Beberapa kali Pedoman tak bisa terbit karena aksi boikot (dilakukan Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia pada September 1950) maupun bredel penguasa militer. Situasi paling kritis terjadi pada 1957 ketika terjadi sejumlah pergolakan di daerah. Pedoman berkali-kali kena bredel. Bahkan Rosihan sempat duduk di kursi pesakitan tapi dibebaskan.
Pada November 1960, Pedoman merayakan ulangtahun ke-13. Tak seperti biasanya, kali ini tak ada acara meriah. Yang ada perenungan. Sudah 13 tahun usia koran ini, dengan begitu banyak tekanan menghadang tapi selalu lolos. Tapi sampai kapan? Dalam tajuk rencana “Pedoman berultah ke-13”, 29 November 1960, Rosihan Anwar menyiratkan kesadaran bahwa hidup suratkabarnya tak akan lama.
“Dalam pada itu, sebagaimana lazimnya dalam kehidupan manusia ini, tentulah kita ketahui pula bahwa tiada yang bersifat kekal adanya, termasuk suratkabar,” tulisnya.
Intuisinya benar. Mula-mula pemerintah mengeluarkan program manipolisasi pers dalam bentuk izin terbit. Berdasarkan Peraturan Peperti No 10/1960, para peminta izin terbit harus menyetujui dan menandatangani pernyataan 19 pasal mendukung Manipol-USDEK. Yang tak mau, tutup. Rosihan Anwar bersedia menandatanganinya, sebuah pilihan yang mempertaruhkan citranya. Sikap itu juga menyulutkan polemik dengan Mochtar Lubis.
“Kalau mau begitu permainannya, playing the game, kita ikuti. Kalau saya tanda tangani, itu taktik; mau menyelamatkan Pedoman. Itu saja. Kita punya kewajiban untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat. Untuk mencapai itu, startegi itu, ditempuh macam-macam taktik. Bisa zig-zag, begini-begitu, plin-plan atau apalah boleh saja. … Kalau nggak ada koran, apa yang mesti dididikkan, apa yang hendak kita sampaikan?” ujar Rosihan.
Baca juga: Pertempuran Dua Jurnalis Perang
Toh itu tak bisa menyelamatkan korannya. Pada 7 Januari 1961, penguasa militer membredel Pedoman karena dianggap "sering memuat tulisan-tulisan yang nadanya bertentangan dengan atau melemahkan kepercayaan rakyat kepada landasan, tujuan, dan program kepemimpinan revolusi Indonesia". Pedoman Minggu, Pedoman Wanita, Pedoman Anak, dan Pedoman Sport juga kena bredel. Pembredelan itu terkait usaha pemerintah menghentikan koran-koran pendukung Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi yang dilarang dan dibubarkan bulan Agustus 1960.
Bagi Rosihan, pembredelan itu memaksanya berhenti jadi editor. Di sinilah dia mulai berpikir tentang apa yang pernah dia lakukan. “Betapa pada tahun-tahun ketika jadi pemimpin redaksi Pedoman sebelum dibredel pada awal tahun 1961, saya menulis dengan tajam dan mengkritik orang dengan keras. Saya bikin banyak musuh karena itu, bukan saja musuh politik, melainkan juga musuh pribadi. Saya berpendapat seorang wartawan yang baik tidak mencari popularitas, supaya disenangi oleh semua pihak dan golongan,” tulis Rosihan dalam otobiografinya, Menulis Dalam Air.
Pada 29 November 1968, tak lama setelah kekuasaan Sukarno runtuh, Rosihan menerbitkan kembali Pedoman tapi hanya bertahan sekitar lima tahun. Pada 24 Januari 1974, pemerintah membredel Pedoman setelah terjadi demonstrasi mahasiswa di Jakarta yang menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dan mengkritik politik pemerintah, dalam apa yang disebut Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari (Malari). Padahal saat itu tiras koran sudah mencapai 60.000 eksemplar.
Pembredelan Pedoman, bagi Rosihan, merupakan tragedi yang akan senantiasa terasa getir. Pedoman sudah menjadi bagian dalam sejarah hidupnya, dan tak akan ada lagi. Makanya, Rosihan tak meluluskan keinginan banyak orang untuk menerbitkan kembali Pedoman ketika kran kebebasan pers dibuka di awal reformasi.