JALAN-jalan raya di daerah Glodok-Pancoran, Senen, dan Jatinegara riuh ramai oleh musik tanjidor, barongsai, suling, dangsu atau pemain akrobat rakyat, dan topeng. Bukan hanya orang Tionghoa yang ikut dalam perayaan Imlek di Batavia, ada juga orang Betawi, Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Arab, dan Belanda.
Anak-anak keluar rumah dari pukul empat sore. Mereka mengenakan pakaian baru dan selop yang dihiasi manik-manik. Jika bertemu dengan sebayanya, mereka saling memamerkan oto-oto, pakaian dalam penutup dada dan perut yang dibuat dari kain berwarna-warni.
Kantung-kantung mereka diisi dengan petasan cabe rawit. Dengan berbekal dupa yang dinyalakan, anak-anak akan menyalakan petasan itu. Ada juga yang membawa petasan tikus, jenis petasan yang bisa mengejar orang. Bunyi petasan dan musik tanjidor selalu mengiringi perayaan Imlek.
Baca juga: Imlek, Kala Musim Semi Tiba
Perayaan Imlek juga diadakan di kampung-kampung. Tanjidor tak ketinggalan mengiringi. Kesenian tanjidor, tulis Sufwandi Mangkudilaga dalam “Fungsi Tanjidor bagi Masyarakat Betawi”, memang tumbuh dan berkembang di lingkungan Tionghoa dan Belanda. Mulanya, tanjidor dimainkan para budak untuk tuan-tuannya. Begitu aturan tentang penghapusan budak diketok palu pada abad ke-19, budak pemain tanjidor itu membentuk kelompok sendiri dan main keliling.
Orkes tradisional Betawi hasil adaptasi budaya Eropa dan Tionghoa ini mengamen dari rumah ke rumah orang Tionghoa. Dengan rombongan antara lima hingga delapan orang, mereka membawa alat-alat musik berupa tanjidor (tambur besar), trompet, klarinet, seruling dan trombone. Lagu-lagu yang dibawakan, tulis Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi, kebanyakan mars warisan Belanda.
“Yang didatangi merasa senang dan menghadiahi mereka angpau, uang yang dibungkus kertas merah,” tulis James Dananjaya dalam “Perayaan Imlek dan Pesta Capgome” yang dimuat di Bunga Rampai Seni Pertunjukan Kebetawian.
Baca juga: Merayakan Keberagaman Imlek Kala Pandemi
Pada hari-H Imlek, orang-orang akan dibangunkan oleh suara tanjidor. Meskipun suaranya agak sumbang tetapi orang-orang tua sangat suka mendengarnya. Seluruh gambaran Imlek ini diceritakan oleh narasumber James, seorang Betawi keturunan Tionghoa Daniel D, pada perayaan Imlek awal abad ke-20. Pada puncak perayaan Imlek, yakni malam Capgome, pemain tanjidor masih terus menyemarakkan acara. “Musik yang paling setia selama perayaan Tahun Baru Imlek sudah tentu tanjidor,” tulis James.
Tanjidor juga dimainkan pada perayaan Ceng Beng, tanggal satu bulan kelima dalam penanggalan Tionghoa. Pada perayaan Peh-Cun atau pesta sungai (dulu masih dirayakan di beberapa kali di Batavia seperti Kali Besar, Kali Pasar Baru, dan Kali Angke), pemain tanjidor disewa untuk meramaikan acara.
Tapi, keikutsertaan tanjidor dalam perayaan-perayaan orang Tionghoa berakhir ketika pada 1953 Wali Kota Jakarta Raya Sudiro melarang tanjidor mengamen pada perayaan Imlek hingga Capgome. Alasannya, ketika para pemain tanjidor mengamen untuk perayaan Imlek dan Capgome sama saja merendahkan derajat orang “pribumi”. Menurutnya, golongan “pribumi” seolah-olah mengemis kepada orang Tionghoa.
Baca juga: Benarkah Khonghucu Memerintahkan Perayaan Tahun Baru Imlek?
Padahal, tulis James, sebagai orang Jawa Sudiro tidak banyak tahu bahwa beberapa pemain tanjidor adalah orang Betawi keturunan Tionghoa. Namun karena kulitnya coklat dan agamanya sudah Islam mereka tidak lagi terlihat seperti orang Tionghoa. Ditambah lagi, secara ekonomi para orang Betawi keturunan Tionghoa dalam grup tanjidor ini juga miskin dan tinggal di daerah pinggiran kota seperti Bekasi dan Tangerang. Karena sudah tidak memenuhi stereotip orang Tionghoa, alhasil mereka disangka “pribumi”.
Setelah dilarang mengamen oleh Sudiro, kelompok tanjidor tetap mengamen ketika Imlek, tapi di luar Jakarta. Sementara, di Jakarta mereka tetap menerima permintaan untuk tampil di berbagai perayaan, bukan mengamen lagi. “Tanpa tanjidor, perayaan tahun baru Imlek dan pesta rakyat Capgome akan kehilangan pamornya,” kata James.