Masuk Daftar
My Getplus

Hikayat Jongkindt Conninck dari Kertamanah

Di masa pemerintahan Hindia Belanda berjaya, Pangalengan dikenal sebagai pusat pengembangan kina terbaik di dunia. Salah satu pionir utamanya bernama Willem Gerard Jongkindt Conninck.

Oleh: Hendi Johari | 30 Jan 2021
Willem Gerard Jongkindt Conninck. (Repro keluarga W.G. Jongkindt Conninck).

Makam tua itu terpencil sendirian di sebuah bukit. Luasnya sekitar 2,5 x 4 meter. Masyarakat Kertamanah,Pangalengan menyebutnya sebagai kuburan Tuan Yongkin. Itu merujuk kepada Willem Gerard Jongkindt Conninck, salah satu administratur yang memimpin Perkebunan Kertamanah sejak 1 April 1904 sampai dengan Maret 1942.

Bisa jadi nama Jongkindt Conninck --selanjutnya disebut Willem Jongkindt-- kurang populer dibandingkan nama-nama besar seperti K.A.R Bosscha (konglomerat Hindia Belanda yang mengelola Perkebunan Malabar), Johan Gerrit van Ham (perintis peternakan sapi di Pangalengan) atau Theokoning van de Preanger (raja teh di Priangan).Namun bagi masyarakat Kampung Kertamanah Desa Margamukti, nama Jongkindt selalu dikenang secara turun temurun.

”Tanpa beliau nama Kartamanah belum tentu dikenal orang banyak,”ujar Wawan GS (55), salah satu tokoh masyarakat di Desa Margamukti, kawasan Perkebunan Kertamanah berada.

Baca juga: Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta

Selain menjadi perintis penanaman kina di Kertamanah, Jongkindt juga banyak memberdayakan warga Kertamanah menjadi pegawai di perkebunan. ”Salah satu yang diangkat jadi pegawai itu adalah bapak saya,”ujar mandor besar di perkebunan yang saat ini mengelola tanaman teh tersebut.

Sekadar catatan, menjelang terjadinya Perang Dunia II, Hindia Belanda merupakan penghasil 97% kina dunia. Dari 97% itu sebagian besar dihasilkan dari beberapa perkebunan yang ada di kawasan Pangalengan. Itu terbukti dengan didirikannya laboratorium penelitian kina terbesar di Cinyiruan (masuk dalam kawasan pengelolaan Perkebunan Kertamanah) pada 1920. 

Advertising
Advertising

*
Suatu pagi di bulan Maret 1942. Sebuah truk militer berbendara hino maru (matahari terbit) berhenti di depan Pabrik Kertamanah. Dari truk tersebut, turun seorang perwira Jepang dengan dikawal 4 serdadu bersenjata lengkap. Mereka lantas menuju rumah  Willem Jongkindt yang terletak sekitar 500 meter dari arah pabrik. Sekitar setengah jam kemudian, rombongan kecil tentara Jepang tersebut kembali. Mereka menggiring seorang lelaki tua berpakaian putih-putih—yang tak lain adalah Willem Jongkindt -- ke atas truk. Demikian kesaksian Uyu yang saya wawancarai pada 2009. Saat itu usianya sudah mencapai 96 tahun.

Uyu masih mengingat dengan baik kejadian itu. Sebagai salah seorang pegawai Willem Jongkindt, dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Bersama orang-orang kampung, Uyu hanya bisa menatap sedih kepergian sang tuan. Adakah dia tahu mengapa, Jongkindt ditangkap tentara Jepang?

”Dugi ka ayeuna abdi teu terang (Sampai sekarang saya sama sekali tidak tahu),” ujar lelaki sepuh yang hanya dapat berbahasa Sunda itu.

Namun saat ditangkap itu, Uyu juga tak bisa melupakan ketenangan Willem Jongkindt. Alih-alih ketakutan dan panik, malah dia terlihat sangat tenang. ”Sigana mah anjeunana teh tos pasrah sumerah kana nasib (sepertinya dia sudah iklas pada nasibnya),” kenang Uyu.

Baca juga: Pesan dari Kamp Interniran

Uyu wajar merasa sedih. Bagi Uyu, Willem Jongkindt adalah majikan yang sangat baik. Kendati orang Belanda, namun dia tak segan datang ke rumah para pegawainya hanya untuk menanyakan kabar. Bahkan begitu baiknya Jongkindt, hingga tak jarang pula dia memberi persenan kepada mereka.

”Bade di kebon, bade di jalan,upami Tuan Yongkin nuju hoyong masihan persenan pasti masihan (Mau di kebun, mau di jalan,kalau Tuan Yongkin mau memberi persenan,pasti dia memberi),”katanya.

Saat kerja pada Willem Jongkindt, awalnya Uyu bekerja sebagai tukang cabut rumput di kebun. Namun tak lama kemudian, dia diangkat menjadi sais bendi,kendaraan pribadi Willem Jongkindt. Sejak itulah hampir setiap waktu dia selalu mengikuti kemana perginya sang majikan.

”Kadang abdi nganteur Tuan ngontrol kebon,kadang nganteur ka Malabar atawa ka Pangalengan (Kadang saya harus mengantar Tuan memeriksa kebun, kadang harus ke Malabar atau ke Pangalengan),”ujar Uyu. 

Kedermawanan Willem Jongkindt, dikenang juga secara baik oleh Juwe (saat diwawancarai pada 2009 usianya sudah mencapai 88 tahun). Kendati kurang begitu mengenal Willem Jongkindt secara pribadi, perempuan sepuh itu merasa bangga pernah kerja pada majikan Belanda-nya itu.

Upami nuju ngontrol, teu jarang anjeuna ngajak ngobrol ka padamel-padamelna (Kalau lagi memeriksa, tidak jarang dia mengajak bicara para pekerjanya)”kenang bekas pemetik teh itu. 

*
Lalu siapa sebenarnya Willem Gerard Jongkindt Conninck? Menurut peneliti sejarah dari Historika Indonesia Ronald Najoan, sejatinya Willem Jongkindt bukanlah orang sembarangan. Dia merupakan salah satu putra dari C.J.M. Jongkindt Conninck, direktur pertama Sekolah Pertanian Wageningen (perguruan tinggi pertanian tertua di Belanda).

Selain Willem Gerard Jongkindt Conninck, C. J. M. Jongkindt Conninck memiliki seorang putra lain dan seorang putri. Mereka adalah Gerrit Jan Jongkindt Conninck dan Johanna Cecilia Annette Jongkindt Conninck. Ketiganya ternyata mewarisi bakat ilmu pertanian yang dimiliki sang ayah.

“Kelak saat beranjak dewasa mereka kemudian pergi ke Hindia Belanda dan sempat mengelola puluhan hektar tanah milik Johanna di wilayah Lampegan (Cianjur, Jawa Barat)…” ungkap Ronald.

Baca juga: Cerita dari Lampegan

Vecco Suryahadi dari Komunitas Aleut Bandung menyebut kedatangan kali pertama Willem ke Hindia Belanda pada 22 Juni 1884 sesungguhnya disertai oleh kakaknya, Gerrit.

“Saat itu usia Willem 18 tahun sedangkan Gerrit berusia 24 tahun,” ujar Vecco.

Willem Jongkindt kemudian menapaki karirnya pada sebuah perkebunan tembakau di Sumatera. Mulanya dia bekerja di perkebunan Belawan. Karena prestasinya bagus dia kemudian didapuk menjadi administratur perkebunan tembakau di Deli pada 1889, tepat ketika usianya memasuki 23 tahun.

Pada 1904, Willem Jongkindt hijrah ke Jawa guna mengelola sebuah perkebunan milik adiknya Johanna di wilayah Lampegan. Tak lama berkarir di sana, dia kemudian memutuskan untuk pindah ke Perkebunan Kertamanah  pada 1 April 1904 dan didapuk sebagai administratur-nya.

Di Perkebunan Kertamanah, Willem lantas memokuskan diri pada budidaya kina. Selama berkiprah di sana, pengetahuannya akan cara pengolahan tanah, pemilihan benih, dan penanggulangan penyakit kina semakin bertambah sehingga dia dikenal sebagai salah satu ahli kina terkemuka di Hindia Belanda. Surat kabar De Preangerbode edisi Juli 1913 pernah memuat ulasannya mengenai penyakit yang sering melanda tanaman kina.  

Willem kemudian menjadi terkenal karena keahliannya itu. Tak aneh jika kemudian undangan sebagai pembicara banyak berdatangan kepadanya. Salah satunya adalah undangan Tentoonstelling te Semarang yang menempatkan Willem di seksi agrikultur dan holtikultura.

Tahun 1934 bisa dikatakan sebagai puncak kejayaan Willem Gerard Jongkindt Conninck. Berkat jasanya di bidang budidaya kina, pemerintah Hindia Belanda menganugerahinya penghargaan Ridder in de Orde van Oranje-Nassau. Begitu bahagianya Willem dengan penghargaan itu hingga dia mengadakan  perayaan besar di Perkebunan Kertamanah.

 “Semua dibuat bahagia: ada pementasan wayang golek, nanggap ronggeng dan warga dibebaskan untuk memakan hidangan-hidangan enak sepuasnya,” kenang Uyu.

*

Kertamanah sekira tahun 1920-an. Seperti biasa, di pagi yang dingin itu Willem Jongkindt memeriksa perkebunan kina-nya. Saat melewati areal perkebunan teh (di Perkebunan Kartamanah tanaman teh juga dibudidayakan), seorang pemetik muda sejenak menarik perhatiannya. Sang administratur pun jatuh hati untuk kesekian kali dengan perempuan bumiputera.

Singkat cerita, Sarima (nama perempuan pemetik teh itu) dijadikan oleh Willem Jongkindt sebagai Nyai. Itu adalah istilah yang ditujukan kepada seorang perempuan bumiputera yang dijadikan pasangan hidup seorang lelaki kulit putih tanpa suatu ikatan pernikahan.

“Sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut penahanan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar bagi kebutuhan-kebutuhan seksnya…” tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.

Baca juga: Pergundikan di Perkebunan

Sarima kemudian menjadi salah satu Nyai yang dicintai oleh Willem Jonkindt. Dari perempuan Sunda itu, Willem Jongkindt menurunkan anak hingga cicitnya. Salah satunya adalah Rosano (bukan nama sebenarnya).

Menurut perempuan yang saat ini berdomisili di Jakarta tersebut,  hingga kini keturunan Willem Jongkindt dari beberapa pasangannya sudah hampir mencapai generasi ke-8. Mereka tersebar di beberapa kota besar Indonesia dan Eropa dalam jumlah yang diperkirakan mencapai angka ratusan. Kendati demikian, jarang anak cicit Willem Jongkindt yang peduli kepada sejarah nenek moyangnya.

”Ya bisa jadi mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing atau mungkin juga bagi mereka soal itu sudah tidak dianggap penting lagi,” kata perempuan yang mengaku merupakan generasi ke-6 enam dari Willem Jonkindt itu.

Ketika anak-anak indo-nya sudah beranjak besar, Willem Jongkindt sendiri tak pernah sempat menyaksikannya. Sejak tentara Jepang menjemputnya dari Perkebunan Kertamanah pada Maret 1942, dia tak pernah lagi melihat orang-orang yang dicintainya. Ya di Kamp Interniran 7 Ambarawa, dalam penderitaan sebagai tahanan militer Jepang, Willem Jonkindt menutup mata pada 23 Januari 1945.

“Uyut perempuan saya dan saudara-saudara se-ayahnya yang kemudian memindahkan kerangka Opa (Willem Jongkindt) kembali ke tanah Kertamanah pada sekitar tahun 1950-an,” tutur Rosano.

Makam tua itu terpencil sendirian di sebuah bukit. Luasnya sekitar 2,5 x 4 meter. Warna nisannya kelabu, laiknya warna akhir hidup lelaki ningrat Belanda yang kini bersemayam di bumi Pangalengan itu.

Baca juga: Yang Terbuai di Perkebunan Deli

TAG

jonkindt conninck kartamanah pangalengan

ARTIKEL TERKAIT

W.G.Jongkindt Conninck, Pengusaha Kina Ternama di Hindia Belanda Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben God Bless di Mata Roy Jeconiah