Masuk Daftar
My Getplus

Habis Sudah Sang Antagonis

Film India membuat Torro Margens tertarik seni peran. Lebih dikenal sebagai aktor daripada sutradara.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 04 Jan 2019
Torro Margens bermain dalam film terakhirnya, Love for Sale (2018). (Youtube Visinema Pictures).

PADA 2004, lembaga Frontier Consultant & Riset Jakarta mengadakan survei marketing celebrity image di enam kota besar dengan tiga ribu responden. Juara untuk kategori image antagonis jatuh kepada Torro Margens, aktor senior yang meninggal dunia pada 4 Januari 2019. Ya, karakternya sebagai penjahat yang melekat di benak banyak orang.

Torro Margens, bernama asli Sutoro Margono, lahir di Pemalang, Jawa Tengah pada 5 Juli 1950. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi aktor dan sutradara.

“Saya mulai tertarik dengan dunia seni peran karena kecintaan saya pada fim India, pada waktu kecil. Setiap pulang nonton filmnya, selalu saya menirukan gerak akting pemain India di kaca. Lho kok beda? Kenapa tubuh saya yang kelihatan cuma sebagian? Kenapa nggak seperti di film, seluruh tubuh bisa kelihatan. Berangkat dari keinginan tubuh saya kelihatan di film seperti artis India, akhirnya saya menekuni seni teater,” kata Torro dalam wawancara dengan majalah Film tahun 1993.

Advertising
Advertising

Dalam Festival Film Indonesia 1988 disebut Torro yang hanya lulus SLTA kemudian kursus seni peran di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, workshop acting di Dir. Kes. Dirjen Kebudayaan, dan lokakarya penyutradaraan Dewan Kesenian Jakarta bidang teater. Dia cukup dikenal sebagai pemain teater muda potensial, dan pernah terpilih sebagai aktor terbaik pada festival teater se-DKI Jakarta. Sanggar Prakarya, wadah teater anak-anak muda yang dipimpinnya, berulang kali muncul sebagai yang terbaik dalam festival teater.

“Di bidang teater, nama Torro tidak bisa dipandang sebelah mata, permainannya memikat dan mengundang decak kagum penonton pertunjukannya,” demikian komentar majalah Film.

Torro juga pernah menjadi seorang dubber film luar. Menurut majalah Film, dia termasuk pen-dubber kelas satu dan cukup mahal setiap suaranya untuk menggantikan suara orang lain.

Torro mulai main film pada 1974 dalam Neraka Perempuan. Sepuluh tahun kemudian, dia menyutradarai film perdananya, Bercinta dalam Badai. Dia mengaku cukup puas karena hasil penyutradaraan itu untuk memenuhi syarat menjadi sutradara yang telah ditetapkan organisasi KFT (Karyawan Film dan Televisi). Waktu itu, untuk menjadi sutradara film atau televisi harus lulus sertifikasi dari KFT.

“Ketika hasil penyutradaraan pertama saya serahkan ke KFT. KFT langsung mengakui hasil garapan saya bagus. Saya tanpa harus menunggu film kedua dan ketiga, langsung dikukuhkan sebagai sutradara resmi. Itu kebanggaan saya,” kata Torro.

Baca juga: Siapa sebenarnya Angling Dharma?

Sejak itu, Torro aktif menjadi sutradara sampai tahun 1984. Film yang cukup berhasil dia sutradarai di antaranya Anglingdarma II (1990) dan Saur Sepuh V (1992). Anglingdarma II punya karakteristik tersendiri dan bertahan hampir dua minggu di bioskop-bioskop kelas B di Jakarta. Saur Sepuh V episode Istana Atap Langit, tidak kalah menariknya dengan garapan sutradara sebelumnya, Imam Tantowi.

Apa konsep dan resepnya? “Konsep saya pembaharuan, artinya setiap film yang saya garap selalu harus ada pembaharuannya. Baik artistiknya, kostum maupun trik laga. Jadi penonton tidak bosan,” kata Torro.

Baca juga: Saur Sepuh, dari telinga turun ke mata

Film garapannya yang berhasil menjadi nominator dalam Festival Film Indonesia 1987 adalah Pernikahan Berdarah produksi PT Garuda Film. Kendati tak menjadi film terbaik yang direbut Nagabonar, film yang dibintangi Willy Dozan dan Raja Ema (aktris Malaysia) itu sukses di Negeri Jiran. Sehingga Torro pun mendapat tawaran menyutradarai dua film di Malaysia, yaitu Lukisan Berlumuran Darah (1988) dan Cinta Berdarah (1989).

“Waktu itu PT Kanta Indah Film tengah menjalin kerja sama dengan PT Cipta Swa Film dari Malaysia. Pihak Cipta Swa, melihat keberhasilan film saya, Pernikahan Berdarah yang dibintangi Raja Ema sukses di Malaysia,” kata Torro. “Ada kebanggaan apalagi di sana saya diminta tidak sekadar sebagai sutradara dan penulis skenario. Tapi juga sebagai produser pelaksana.”

Selain sebagai sutradara, Torro juga aktor yang produktif sejak 1970-an hingga jelang akhir hayatnya. Film terakhir yang dia bintangi adalah Love for Sale (2018). Film ini meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2018 untuk kategori aktor terbaik (Gading Martin), sedangkan Della Dartyan sebagai nominasi aktris terbaik, dan nominasi skenario asli terbaik.

Tak hanya film, Torro juga main sinetron, FTV, dan presenter uji nyali Gentayangan di TPI. Suaranya yang serak dan menakutkan membuatnya akan selalu dikenang.

TAG

Film obituari aktor

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Dua Kaki Andreas Brehme Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi