Masuk Daftar
My Getplus

Gunung Agung 70 Tahun Jual Buku

Toko buku Gunung Agung akan ditutup. Padahal toko ini pelopor perdagangan buku di Kwitang.

Oleh: Petrik Matanasi | 23 Mei 2023
Toko Buku Gunung Agung pada 1953. (repro "Bapak Saya Pejuang Buku")

Kabar buruk datang dari Gunung Agung. Toko buku legendaris itu beberapa hari terakhir ramai diberitakan akan mem-PHK karyawannya secara besar-besaran. Langkah itu diambil pihak manajemen lantaran terus merugi. Terbaru, pihak manajemen memastikan akan menutup semua toko Gunung Agung yang tersisa pada 2023.

“Keputusan ini (Toko Buku Gunung Agung tutup) harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar,” kata pihak manajemen Gunung Agung, yang berpusat di Kwitang, Jakarta Pusat, sebagaimana diberitakan kompas.com, 22 Mei 2023.

Hingga awal milenium ini, Kwitang terkenal dengan pasar buku bekasnya. Tak hanya anak sekolah, kaum intelektual yang berada di Jakarta biasa mencari buku di tempat ini. Padahal, sebelum tahun 1953 kawasan Kwitang masih sepi.

Advertising
Advertising

“Hanya pepohonan di sekitar situ. Jangankan kios penjualan buku, toko lain pun belum ada,” kata Ketut Masagung, putra pendiri Toko Buku Gunung Agung, dalam Bapak Saya Pejuang Buku yang disusun ulang Rita Sri Hastuti.

Pada 1953, Tjio Wie Tay baru saja pecah kongsi dengan dua kawan bisnisnya, yang satu di antaranya juga ipar Tjio Wie Tay. Sebelumnya, Tjio Wie Tay, Lie Thay San, dan The Kie Hoat berkongsi dalam Thay San Kongsie sejak 1945. Selain menjual rokok, mereka menjual majalah dan buku.

Tjio Wie Tay yang waktu umur 13 tahun pernah diam-diam menjual buku sekolah kakaknya, pada 1945 sadar bahwa buku bacaan sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama buku bahasa Belanda. Peluang itu pun “disambar” Thay San Kongsie, yang ikut mengimpor buku dari Belanda. Thay San Kongsie pernah punya toko di Kramat Bunder.

Pada 1953, Tjio Wie Tay mengusulkan untuk memperbesar bisnis mereka. Lie Thay San tak setuju ide itu lalu mundur dari perkongsian. Dia memilih berdiri sendiri dengan tokonya di Kramat Bunder yang kemudian bernama Toko Buku Kramat Bundar.

Tjio Wie Tay maju terus. Dia tak peduli dengan mitos 13 angka sial. Di sebuah rumah yang terletak di Jalan Kwitang nomor 13, dengan berani Tjio Wie Tay memulai sebuah toko buku. Setelah toko buku itu berdiri, lapak-lapak penjual buku lain bermunculan di Kwitang. Kebetulan ada sekolah di sekitar situ.

Lantaran Tjio Wie Tay bingung menamai tokonya, dia lalu menerjemahkan nama Thay San ke dalam bahasa Indonesia. Thay San diartikan sebagai gunung besar atau gunung agung.  Gunung Agung adalah nama sebuah gunung di Bali. Tjio Wie Tay—yang mengaku punya leluhur Putri Bali– pun menamai tokonya Gunung Agung.  Begitu juga perusahaannya sebagai NV Gunung Agung.

Ketika baru saja memulai bisnisnya, menurut Ketut Masagung, Tjio Wie Tay sudah berani mengadakan pameran buku pada 8 September 1953 di Kwitang 13. Konon Tjio Wie Tay juga lahir tanggal 8 September 1927. Pameran 10.000 buku itu sukses. Tjio Wie Tay pun berjuang menjadi penerbit buku.

Ketika Pameran “Pekan Buku Indonesia” dihelat pada 1954 di Deca Park, sisi utara lapangan Monas, Gunung Agung langsung berpartisipasi. Sastrawan Ajip Rasidi menjadi salah satu penjaga stand Gunung Agung. Banyak pejabat tinggi, termasuk Presiden Sukarno, hadir dalam pameran buku itu.

“Di siitulah saya berkenalan dan bersalaman dengan Bung Karno dan Bung Hatta,” aku Tjio Wie Tay seperti dikutip Ketut Masagung.

Kala itu Bung Karno mencari buku ensiklopedia, namun tak berhasil menemukan. Celah itu langsung dimanfaatkan Tjio Wie Tay dengan mengimporkannya dari luar negeri. Nama NV Gunung Agung pun makin terkenal. Alhasil Bung Karno mempercayakan karya-karyanya diterbitkan oleh Gunung Agung.

“Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak,” aku Ketut Masagung.

Buku Bung Karno yang diterbitkan Gunung Agung adalah Dibawah Bendera Revolusi, larisnya luar biasa. Setelahnya, otobiografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Buku-buku itu tentu ikut dijual di toko Gunung Agung.

Tak hanya membesarkan toko buku di Kwitang, Tjio Wie Tay membesarkan Gunung Agung dengan membuka cabang. Dalam waktu singkat, ia menjadikannya enam toko.

Modal pembukaan cabang senilai Rp.500 juta itu rupanya dikumpulkan Tjio Wie Tay dari dari 100 pemegang saham. Di antara pemegang saham itu adalah Wakil Presiden Mohamad Hatta, Walikota DKI Sudiro, Jurnalis Jamaludin Adinegoro, Kritikus Sastra HB Jassin, pendiri Antara Sumanang, dan kawan The Kie Hoat yang dulu sama-sama di Thay San Kongsie.

“Setelah 25 tahun, paid up-nya (pembayarannya) mencapai Rp 500 Juta,” aku Tjio Wie Tay yang belakangan dikenal sebagai Haji Masagung dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.

Tentu saja pemegang saham untung karena Gunung Agung berkembang sebagai penjual, pengimpor, dan penerbit buku sekaligus. Di kemudian hari, ia juga mendirikan Toko Buku Wali Songo yang tak jauh dari Gunung Agung pusat. Setelah bisnis bukunya sukses, Haji Masagung alias Tjio Wie Tay merambah ke bisnis lain.

TAG

sejarah indonesia rewind2023

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Hujan Es Melanda Jakarta Polusi Membunuhmu Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Dulu Clackers Kini Latto-latto Peluang Emas Pasukan Baret Merah Seketika Musnah (Lanjutan) Ketika Baret Merah Berhasil Mengorek Informasi Gerombolan Bersenjata Aparat Salah Cegat Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti