Kirab gunungan mengawali Festival Panen Gandum yang digelar di Kebun Percobaan Salaran, Semarang, pada 8 September 2016. Acara ini memeriahkan panen gandum varietas dewata, berasal dari galur DWR-162 asal India, yang ditanam Pusat Studi Gandum Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bekerja sama dengan PT. Bogasari.
Penelitian itu dimulai sejak tahun 2000. Bukan hanya itu, UKSW juga menyiapkan buku panduan cara memasak gandum sesuai dengan budaya kuliner setempat. Upaya ini bukanlah tanpa dasar. Indonesia adalah importir gandum terbesar kedua di dunia. Padahal permintaan gandum meningkat seiring pola konsumsi orang Indonesia terhadap mi instan, roti, hingga biskuit.
Gandum (Triticum aestivum L.) adalah sekelompok tanaman serealia yang kaya karbohidrat. Sejak masa prasejarah, ia sudah menjadi sumber pangan. Di Indonesia, gandum diperkenalkan orang-orang Eropa.
Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi
Demi memenuhi kebutuhan gandum, Belanda melakukan upaya penanaman di Cirebon, Batavia, Semarang, dan Surakarta pada 1790 dengan menggunakan benih dari Jepang, Iran, dan Tiongkok. Menyusul kemudian benih dari berbagai negara termasuk India ditanam di Tengger dan Dieng (1828), Timor (1849), Merbabu (1855), Pangalengan (1923), dan Karo (1925).
“Sejak itu tidak lagi terdengar adanya percobaan yang teratur dan berencana,” tulis A.G. Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum.
Pada 1937, seorang Belanda, J.A. Cramer, mencoba menanam gandum di Wonosobo. “Setelah ternyata hasilnya baik, lalu dianjurkan kepada rakyat,” tulis Soemartono Poerwokoesoemo dalam Monografie Kabupaten Wonosobo, terbitan Jawatan Pertanian Rakyat, tahun 1960.
Pada masa pendudukan Jepang, rakyat dipaksa memperluas areal untuk menanam gandum dan hasilnya dibeli pemerintah pendudukan Jepang. Hal ini berjalan dua tahun. Pada masa Republik, penanaman gandum mengalami kemunduran disebabkan kehabisan bibit, serangan hama, dan sebagainya. Praktis, kebutuhan gandum dan tepung terigu dipenuhi melalui impor.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Menurut Pringgodigdo, pada 1963 Yayasan Pembina Gandum Nasional di Surabaya memulai percobaan dan penyelidikan penanaman gandum di daerah sekitar Gunung Bromo. Hasilnya dipanen pada 1967. Dari 25 kg bibit gandum untuk satu hektar diperoleh hasil kurang lebih 15 kuintal gandum.
“Untuk memperkenalkan dan menarik perhatian umum diadakan pameran tepung dan berbagai jenis makanan yang dibuat dari hasil gandum dalam negeri tersebut pada Maret 1968,” tulis Pringgodigdo.
Kebijakan Orde Baru yang fokus pada produksi dan swasembada beras menyebabkan penelitian, pengembangan, dan penanaman gandum menjadi terbatas. Terlebih lagi, pada 1969, pemerintah mendapatkan bantuan gandum dari Amerika Serikat. Pada 1971, bantuan itu berupa bulgur yang diproduksi di Amerika.
Baca juga: Tentang Tiga Mi Instan
Pada 1971, pemerintah menetapkan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai satu-satunya importir dan distributor gandum dan tepung terigu. Dalam praktiknya, PT. Bogasari yang didirikan pada 1968 oleh Liem Sioe Liong, pengusaha yang dekat dengan Soeharto, memainkan peranan. Bogasari memiliki pabrik tepung terigu di Jakarta serta Surabaya dan menjadi produsen tepung terigu terbesar di Indonesia.
Keberhasilan Pusat Studi Gandum bisa menjadi pintu masuk budidaya gandum secara lebih luas. Terlebih, hasil pemuliaan gandum varietas dewata ternyata juga bisa ditanam di dataran rendah.