ACADEMY Awards atau kondang disebut Piala Oscar ke-93 pada Minggu (25/4/2021) menghadirkan sejarah tersendiri bagi para pelaku film asal Asia. Dua sutradara dan tiga aktor Asia masuk beragam nominasi. Dua di antara mereka pulang dengan menggenggam trofi penghargaan tertinggi di ajang perfilman global itu.
Sineas asal China Chloé Zhao naik ke atas panggung untuk menerima trofi setelah filmnya, Nomadland (2020), jadi film terbaik. Ia mencatatkan diri sebagai sutradara perempuan Asia pertama yang memenangi Piala Oscar. Selain Zhao, Youn Yuh-jung menerima Piala Oscar setelah aktris berusia 73 tahun itu menang di kategori aktris pendukung terbaik di film Minari (2020). Sementara, Christina Oh (sutradara terbaik/Minari), Riz Ahmed (aktor terbaik/The Sound of Metal), dan Steven Yeun (aktor terbaik/Minari) harus puas sekadar masuk nominasi.
Baca juga: Karpet Merah Piala Oscar dalam Sejarah
Dari 92 gelaran Piala Oscar, sangat jarang aktor Asia mendapat apresiasi layak. Hingga kini tak lebih dari 20 aktor berdarah Asia yang pernah masuk nominasi. Hanya enam di antaranya membawa pulang trofi, termasuk Youn yang terbaru. Hal itu dianggap takkan mengubah pandangan Hollywood terhadap aktor-aktor Asia.
“Hollywood bisa mengklaim bahwa mereka mempromosikan keragaman dengan award itu. Itu bagian dari resume mereka namun itu bukan berarti menjadi indikasi sesungguhnya dari sebuah perubahan besar. Kita bisa bicara tentang sejarah semau kita tetapi bagi saya ‘sejarah’ hanya sekadar jadi trivia, kecuali sejarah itu sendiri bisa mengubah banyak hal secara kultural,” ungkap Brian Hu, kritikus film dan televisi dari San Diego State University, dikutip Time, Minggu (25/4/2021).
Isu diskriminasi dan seksis acap jadi penghambat para aktor dan aktris Asia bisa diapresiasi secara layak dalam Piala Oscar sejak pertamakali dihelat pada 1929. Berikut lima di antara pemenangnya selain Youn:
Yul Brynner
Lahir di Vladivostok, Uni Soviet (kini Rusia) pada 11 Juli 1920, aktor bernama asli Yuliy Borisovich Bryner punya perpaduan darah Rusia, Jerman, Swiss, dan Mongolia. Aktor beretnis Buryat ini sempat hidup berpindah-pindah dari China hingga Prancis sebelum akhirnya hijrah ke Amerika Serikat setahun pasca-pecahnya Perang Dunia II.
Di Amerika itulah Brynner mulai belajar akting. Debutnya dilakoni di Broadway pada 1941. Butuh delapan tahun baginya untuk bisa tampil perdana di film, Port of New York (1949). Namanya kian melejit setelah mendapatkan peran utama sebagai Raja Mongkut asal Siam (kini Thailand) di film musikal The King and I (1956). Film tersebut mengantarkan Brynner sebagai aktor keturunan Asia pertama yang menang Piala Oscar di kategori aktor terbaik pada 1957.
Tetapi hampir sepanjang kariernya Brynner selalu diusik pertanyaan soal asal-usulnya, antara lain tentang benarkah ia keturunan dari salah satu panglima Genghis Khan atau keturunan Gipsi Rumania? Spekulasi berseliweran di sekitarnya. Salah satunya menyebutkan, ayahnya orang Mongolia bernama Taidjie Khan yang lahir di Swiss dan meminjam nama “Bryner” agar dapat pekerjaan.
Baca juga: Warna-warni Kehidupan Sean Connery
Simpang siur asal-usul itu betebaran lantaran Brynner tak pernah tahu detail garis keluarga dari ayahnya. Kebenaran asal-usul Brynner justru baru disingkap Yul “Rock” Brynner, putra sulungnya dari istri pertama, Virginia Gilmore.
Michaelangelo Capua dalam Yul Brynner: A Biography mengungkapkan, Rock mendapati kebenaran bahwa ayahnya merupakan keturunan seorang dokter asal Swiss, Johannes Bruner, dan istrinya, Marie Huber von Windisch. Putra bungsu mereka, Julius Bruner, jadi petualang ke Afrika Utara hingga Jepang. Saat bekerja jadi juru tulis di perusahaan impor di Yokohama, ia mengganti namanya jadi Yulius Bryner.
“Yulius kemudian pindah ke Vladivostok dan menikahi Natalya Kurtukova, seorang perempuan berwatak keras dan berkarakter dingin putri dari seorang pangeran Mongolia yang garisnya bisa ditarik sampai ke Genghis Khan. Salah satu dari putra mereka adalah Boris, yang kemudian menikah dengan Marousia Blagovidova. Anak pertama mereka yang lahir 11 Juli 1920 dinamai Youl Borisovitch Bryner alias Yul Brynner,” tandas Capua.
Umeki Miyoshi
Nancy Umeki. Begitu nama panggungnya saat merintis karier sebagai biduan klub malam di Hokkaido pasca-Perang Dunia II. Aktris kelahiran Otaru pada 8 Mei 1929 ini kemudian menseriusi musik pop dan seni peran di teater kabuki. Akhirnya Umeki mendapatkan peran pendukung perempuan di film drama Sayonara (1957) dengan memerankan karakter bernama Katsumi.
Sayonara diangkat dari novel bertajuk sama karya James Michener (1954) yang mengisahkan cinta terlarang antara personil militer Amerika dan perempuan Jepang di masa Perang Korea. Film tersebut memetik tiga Piala Oscar, termasuk kategori aktor terbaik atas nama Red Buttons dan aktris terbaik yang dimenangi Umeki. Umeki jadi aktris Asia pertama yang memenangi Piala Oscar 1958.
“Filmnya menyandingkan suasana kemiliteran dengan eksotisme Jepang: antara pangkalan yang kaku dengan teater kabuki dan rumah-rumah beralaskan tatami; antara seragam militer dengan kimono; prajurit Amerika bersuara berat dengan perempuan Jepang. Hubungan yang digambarkan antara prajurit dan perempuan Jepang menempatkan hubungan interasial ke era baru yang tidak menyenangkan,” tulis Sarah Kovner dalam Occupying Power: Sex Workers and Servicemen in Japan.
Baca juga: Sharon Stone dalam Bayang-bayang Simbol Seks
Sayonara juga mengumbar “eksotisme” Jepang dalam bentuk kevulgaran perempuan Jepang. Hal ini menjadi sorotan sosiolog Nancy Wang Yuen, bahwa stereotip dan imej eksotis dari peran seperti yang dimainkan Umeki itu terus terbawa di industri film Hollywood hingga kini.
“Melihat (karakter) Katsumi memandikan orang kulit putih, kurang lebih seperti itulah cara perempuan Asia yang diumbar seksualitasnya dan dianggap eksotis dalam imajinasi Hollywood. Seksualitas itulah satu-satunya cara aktris Asia bisa memenangkan Piala Oscar dan dia (Umeki) benar-benar mencontohkan masalah-masalah representasi perempuan Asia,” tandas Yuen, dikutip Time, Minggu (25/4/2021).
Ben Kingsley
Bernama lahir Krishna Pandit Bhanji, dia dilahirkan pada 31 Desember 1943. Namun demi memperlancar kariernya di dunia akting, pada medio 1960-an Krishna memilih ganti nama berbau Inggris menjadi Ben Kingsley. Seni peran sudah mendarah daging dalam dirinya, terutama diturunkan dari ibunya, Anna Lyna Mary Goodman. Anna merupakan aktris dan model sebelum dipersunting peneliti asal Gujarat, Dr. Rahimtulla Harji Bhanji.
Terjun ke dunia film sejak 1972, Kingsley membintangi 97 film, termasuk yang terakhir Locked Down (2021). Namanya melejit setelah memenangi Piala Oscar 1983 sebagai aktor terbaik dengan memerankan tokoh legendaris Mahatma Gandhi dalam biopik Gandhi (1982).
Baca juga: Kirk Douglas, Pelaut yang Menaklukkan Hollywood
Saat ikut casting, Kingsley sudah punya banyak keunggulan. Selain penampilan fisik dan warna kulitnya mirip dengan Gandhi, Kingsley sudah malang-melintang 15 tahun di seni teater di Royal Shakespeare Company. Saat diumumkan, Kingsley mendapat dukungan dari Indira Gandhi.
“Tetapi pekerjaan saya terusik banyak orang. Bahkan satu adegan sederhana saja bisa jadi perhatian. Dua puluh kali dalam sehari orang-orang akan mendesak saya dengan gagasan-gagasan mereka. Dan ketika adegan pemakaman Gandhi dengan 300 ribu (pemeran) ekstra, sayalah sosok yang dilihat semua orang. Saya belajar mendengarkan suara hati saya dengan sabar yang mengatakan untuk jadi diri sendiri,” ujar Kingsley kepada New York Magazine, 20 September 1982.
Haing Somnang Ngor
Sebelum munculnya biopik The Killing Fields (1984), tak satu pun di kalangan perfilman mengenal Haing S. Ngor. Namanya dalam sekejap melejit setelah memerankan tokoh wartawan Kamboja, Dith Pran, dengan latar belakang perang saudara Kamboja dan teror Khmer Merah pimpinan Pol Pot.
Lahir di Samrong Yong pada 22 Maret 1940, Haing berprofesi sebagai dokter kandungan di Pnom Penh hingga Khmer Merah merebut kekuasaan di ibukota Kamboja itu. Pendudukan itu membuat Haing terpaksa menyamar sebagai orang biasa di kamp tawanan lantaran rezim Khmer Merah menargetkan membantai para intelektual dalam rangka eksperimen sosial “Year Zero”.
Baca juga: Layar Kehidupan Robert De Niro
Saking harus mempertahankan “aktingnya” sebagai orang awam, Haing sampai harus mengikhlaskan istri dan anak dalam kandungannya meninggal di kamp. Ia tak bisa membongkar penyamarannya demi melakoni operasi Caesar. Pasca-kejatuhan Khmer Merah, Haing pindah ke Amerika untuk meneruskan kariernya sebagai dokter. Yang tak disangkanya kemudian adalah sutradara Roland Joffé mendekatinya ketika akan menggarap The Killing Fields.
“Setelah sebulan casting, dia (Joffé) punya sekumpulan aktor yang menarik. Ada John Malkovich, Sam Waterston, dan Haing S. Ngor awalnya tidak diperhitungkan tapi pertemuan mereka sangat intens. Faktanya memang Haing belum pernah berakting sebelumnya tapi John melihat hal berbeda: dia bilang Haing justru sudah berakting sepanjang hidupnya –Anda harus jadi aktor yang hebat untuk bisa selamat dari Khmer Merah,” kenang aktor Julian Sands kepada The Guardian, 10 November 2014.
Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler
Meski sempat menolak untuk masuk ke proyek film dan memerankan Dith Pran, Haing kemudian berubah pikiran setelah dibujuk tim produksi. Keputusannya ternyata tak keliru. Pada ajang Academy Awards 1985, Haing memenangkan Piala Oscar untuk kategori aktor pendukung terbaik dan jadi aktor Asia pertama yang memenangkannya di debut film.
“Lagipula saya menghabiskan empat tahun di sekolah akting Khmer Merah. Saya ingin memperlihatkan pada dunia betapa dalamnya bencana kelaparan di Kamboja dan berapa banyak orang yang mati di bawah rezim komunis,” ujar Haing, dikutip The Vietnam Experience: A Concise Encyclopedia of American Literature, Songs, and Films.
F. Murray Abraham
Sosok kelahiran Pittsburg, Pennsylvania, Amerika Serikat pada 24 Oktober 1939 ini tak punya darah seni dari ibunya, Josephine Stello, maupun ayahnya, Fahrid Abraham. Namun begitu aktor blasteran Suriah-Italia ini ikut teater sekolah, minatnya pada seni peran tumbuh dengan sendirinya. Hingga kini ia sudah membintangi 73 film.
Lewat film Amadeus (1984), ia memenangkan Piala Oscar kategori aktor terbaik di ajang Academy Awards 1985. Di film itu Abraham memerankan komposer Italia Antonio Salieri, yang dari kawan menjadi lawan komposer Wolfgang Amadeus Mozart.
Amadeus yand diproduksi dengan biaya hanya 19 juta dolar laris di pasaran dengan meraup laba 90 juta dolar. Capaian tersebut kian sempurna karena Abraham memenangkan Oscar dengan mengalahkan Jeff Bridges (Starman), Albert Finney (Under the Volcano), Sam Waterston (The Killing Fields), dan rekan Abraham sendiri di film Amadeus, Tom Hulce.
“Amadeus jadi film ketujuh dalam sejarah yang menang delapan Oscar (dari 11 nominasi). Penampilan Abraham mengungguli rekannya sendiri, Albert Finney. Sampai lima tahun kemudian Abraham tetap tak menyangka: ‘Piala Oscar adalah event paling penting dalam karier saya. Saya diundang makan malam oleh para raja, pendapatan yang setara dengan para idola saya, memberi kuliah umum di Harvard dan Columbia, serta merasa bangga bisa ambil bagian di perkumpulan seniman internasional terhebat dunia,” kata Abraham, dikutip Anthony Holden dalam The Oscars.
Baca juga: Aktor Wawan Wanisar dalam Kenangan