PERNAH suatu masa celana cutbrai menjadi tren. Pedangdut Achmad Rafiq, yang meninggal 19 Januari lalu, didaulat sebagai orang yang mempopulerkannya. Dia memboyong goyang pinggul dan gaya kostum mencolok ke dangdut bersama celana panjang cutbrai khas yang dikenal sebagai “celana A. Rafiq.”
Orang datang ke penjahit cukup bilang, “Tolong jahitin celana A. Rafiq. Orang (penjahit) sudah tahu. Itu tidak bisa hilang dalam sejarah,” kata A. Rafiq kepada Andrew N. Weintraub dalam Dangdut Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.
Dilahirkan di Semarang pada 1949, A. Rafiq dibesarkan dalam keluarga religius yang memiliki leluhur dari Timur Tengah, India, dan Turki. Dia mahir membaca Alquran. Ketika dia memutuskan berkarier di dunia musik, keluarganya menentang. Tapi dia nekat. Dia pergi dari Semarang untuk bergabung dengan orkes Melayu Sinar Kemala di Surabaya.
Sinar Kemala, yang didirikan Abdul Kadir, merupakan orkes terbesar pada 1960-an dengan personel 15-25 musisi, termasuk 4-6 penyanyi. Awalnya, grup ini kental pengaruh Timur Tengah. Tapi, sejak akhir 1960-an, sangat terpengaruh India.
“A. Kadir memoles para bintang penyanyinya, termasuk Ida Laila, Ali Alatas, dan A. Rafiq,” tulis Weintraub. “A. Rafiq, yang di kemudian hari menjadi salah satu bintang rekaman pertama dangdut, menandai peralihan dari Sinar Kemala A. Kadir ke dangdut.”
A Rafiq sempat punya grup musik dangdut Elrafika yang dibentuk pada 1969, sebelum hijrah ke Jakarta.
Menurut Weintraub, A Rafiq memboyong elemen fisik dan visual dramatik ke dangdut. Dia bisa berbicara filmis di panggung dengan gerakan-gerakan yang membuat orang merasa seolah-olah nonton film. “A. Rafiq memadukan gerakan dari film India, silat Cina, tari Melayu (zapin), dan rock ‘n roll Amerika,” tulis Weintraub.
“Dari kecil,” kata A Rafiq, “saya dikatakan Elvis Indonesia. Hanya sayangnya, saya nyanyi dangdut. Gerakan-gerakan saya, cara saya, show dan segala macam, Elvis! Sampai Errol, Elvis Indonesia, ngomong sama saya, ‘Mustinya lu yang Elvis. Bukan gue.’ Cuma karena dia nyanyi lagu-lagu Elvis, jadi dia Elvis Indonesia. Padahal, saya sebetulnya pertama nyanyi bukan dangdut, tapi lagu Elvis.”
Bersama gerakan, tingkah-polah, aksi panggung, dan kostumnya yang mirip Elvis, A. Rafiq menyanyikan dan menciptakan lagu-lagu yang kental dengan melodi India. Contohnya, “Pandangan Pertama” (1978), soundtrack film berjudul sama yang dibintanginya, didasari lagu “Cheda Mere Dil Ne” dalam film Asli Nagli (1962). Namun, hit terbesarnya, “Pengalaman Pertama” (1977), juga dari judul filmnya, adalah ciptaannya sendiri yang dilandasi ikhtiar “mengawinkan berbagai macam gaya”.
Lagu-lagunya meledak di pasaran. Bahkan lagu “Lirikan Matamu” sempat tembus satu juta kaset.
Tak hanya bernyanyi dan main film, dia juga sempat menyutradarai sinetron Si Miskin Bercinta (2007). “Cintaku” (2010) menjadi lagu terakhir yang dia nyanyikan, berduet dengan anaknya, Fairuz.