Malam 31 Desember 1977 di Istora Senayan, Jakarta. Duel dua band besar yang berpengaruh dalam blantika musik Indonesia. Di awal acara, ketika gong berbunyi, wakil band masing-masing membawa dua ekor burung merpati lalu melepaskannya ke angkasa. Tak hanya dua merpati, balon-balon pun dilepas ke udara.
Seorang penonton maju membawa koin untuk mengundi siapa yang lebih dulu naik panggung. Alhasil, God Bless tampil lebih dulu. Kala itu, God Bless diawaki Teddy Sunjaya (drum), Yocky Soeryoprayogo (organ), Ian Antono (gitar), Donny Fattah Gagola (bass), dan tentu saja Achmad Syech Albar sebagai vokalis.
“Dengan peralatan yang berkekuatan 4.000 watt, Achmad melepaskan lagu-lagu Carry on Warward Son, Silver Spoon, She Pass Away, You Have it All, —juga hitnya Neraka Jahanam,” demikian laporan majalah Tempo, 14 Januari 1978. Saat itu, God Bless sudah merilis album rock, yang meski comot sana-sini, terbilang hebat dalam sejarah musik rock Indonesia.
Baca juga: Semarak Konser Musik Rock di Indonesia
Permainan God Bless dianggap lebih bagus daripada penampilan sebelumnya di Taman Ismail Marzuki. Namun, suara sumbang datang dari barisan belakang penonton.
“Turun! Turun!” teriak penonton. Ini adalah hal yang wajar karena ada dua massa dengan selera musik berbeda yang menonton konser duel itu. Konser terus berlanjut. Setelah God Bless tampil, ada jeda yang diisi oleh banyolan pelawak Bagio. Namun, Bagio dilempari karena lawakannya dianggap tak menghibur bagi penonton yang tak sabar mendengar permainan band selanjutnya.
Baca juga: Senandung Orkes Gambus
Selanjutnya Rhoma Irama, yang baru pulang naik haji, naik panggung. Tentu saja diiringi bandnya yang dikenal sebagai Orkes Melayu Soneta Group. Rhoma Irama dkk. bermain dengan alat berkekuatan 6.000 watt. Tempo menyebut Soneta bermain lebih dahsyat daripada God Bless.
“Saya tidak mau mengecewakan pengagum saya,” kata Rhoma. Soneta tentu saja menjadikan Rhoma Irama sebagai magnetnya. Personel lain Soneta kurang dimunculkan. Rhoma Irama membawakan lagu Kiamat, Pemarah, Jakarta. Para penonton yang militan biasanya akan berjoget. Setelah lagu Banyak Jalan ke Roma, Rhoma berkhotbah.
Rhoma Irama mendapat perhatian lebih di Istora Senayan malam itu. Di akhir pertunjukan, Rhoma Irama dan Achmad Albar berpelukan. Konser bubar sekitar pukul 23.00 dan penonton pulang ke rumah masing-masing.
Pada 1970-an adalah era perseteruan musik rock dengan dangdut. Ada seorang musisi non-dangdut dari Bandung yang menyebut dangdut sebagai musik kampungan atau musik taik kucing. Mirip dengan musisi pop era 2000-an yang mengejek Kangen Band dan band-band musik berirama Melayu.
Baca juga: Petikan Gambus Entakkan Gendang
Musik dangdut baru naik daun pada era 1970-an. Dangdut yang dibawakan Rhoma Irama dkk. terpengaruh musik Melayu, Gambus, India, bahkan rock. Jika dalam album pertama God Bless terpengaruh Genesis; dengarkanlah lagu Huma Di Atas Bukit yang mirip Firth of Fifth. Maka, Soneta juga terpengaruh Deep Purple; dengarkan lagu Kiamat mirip Child in Time.
Tak hanya pernah duel dengan Soneta di akhir tahun 1977, hubungan Achmad Albar dengan musik dangdut berlanjut lagi di tahun berikutnya. Kedekatan Achmad Albar dengan dangdut sebenarnya bukan hal yang aneh. Sebab, ayahnya, Syech Albar adalah musisi gambus.
“Pada 1979, secara mengejutkan, Achmad Albar dengan musik yang ditata Ian Antono merilis sebuah album dangdut berjudul Zakia (Sky Record). Meskipun dikecam penggemar rock, album ini menuai sukses,” tulis Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia.
Baca juga: Di Balik Lagu Zakia
Dari sini berdasarkan selera musik masyarakat Indonesia, dangdut lebih populer daripada musik rock. Itu yang membuat God Bless tidak sering merilis album. Terlalu produktif di industri rekaman seperti AKA yang digawangi Arthur Kaunang, Syech Abidin, Sunata Tanjung, dan Ucok Harahap, hanya membuat mereka terjebak dengan membawakan lagu-lagu pop yang liriknya cengeng.
Akhirnya, Achmad Albar pun sukses sebagai “pendeta” yang menjaga God Bless sebagai “kuil” musik rock. Sementara Rhoma Irama dan Soneta sukses menjadi pengumpul massa dengan dangdut yang sebetulnya musik cukup revolusioner. Hingga hari ini, Rhoma Irama masih terus jadi pengumpul massa.*