Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Perilaku Seks Para Raja

Seks bukan semata pelampiasan nafsu belaka, tetapi juga mengarah ke tujuan spiritual dan legitimasi kekuasaan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 12 Agt 2020
Ilustrasi kuil Khajuraho di India yang menampilkan ajaran Kamasutra. (123.rf).

Hubungan seksual para raja bukan sekadar persoalan nafsu. Ada yang menjadikannya cara mendapatkan legitimasi. Ada pula yang berhubungan dengan laku spiritual. 

Filolog dan dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah (PBSD) FKIP Universitas Veteran Bantara Sukoharjo, Adi Deswijaya menjelaskan bahwa dalam teks Jawa terdapat Asmaradana. Kata asmara (baca: asmoro) berarti asmara dan dahana berarti api. 

"Api asmara yang dilakukan bangsawan dan raja-raja masa lalu terdapat dalam teks-teks," kata Adi dalam dialog sejarah "Seks Zaman Dahulu Kala dari Fetish sampai Bestialitas" yang disiarkan langsung melalui saluran Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa, 11 Agustus 2020. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Teks-Teks Jawa tentang Perilaku Seks

Dalam teks Jawa Baru ditemukan beberapa variasi kata asmara. Di antaranya asmaratantra ketika bersinggungan dengan seorang perempuan. Asmaranada ketika berbicara. Asmaratura ketika saling pandang. Asmaranala ketika dalam taraf berkirim surat. Asmaragama ketika sudah sampai tidur bersama melakukan persetubuhan.

"Meskipun hanya bersinggungan atau baru saling pandang atau baru berbicara tetapi keluar air mani karena begitu menggebu hasrat cintanya bisa dikatakan asmaragama," kata Adi. "Ini kata Ranggawarsita dalam suratnya kepada Winter pada 15 Desember 1842."

Baca juga: Jinarwa Raden Ngabehi Ranggawarsita

Adi menjelaskan dalam filosofi Jawa, lelaki utama harus memiliki empat hal yaitu curiga (keris), wisma (rumah), wanita (perempuan), turangga (kendaraan), kukila (burung). Maka, seperti dalam Babad Tanah Jawi, kisah api asmara juga berhubungan erat dengan pertunjukkan kekuasaan seorang raja. 

"Di dalam Babad Tanah Jawi banyak cerita tentang asmaradana, api asmara seorang bangsawan zaman dulu, perebutan harta, takhta, dan wanita," kata Adi.

Seks sebagai Legitimasi

Adi menerangkan bahwa Babad Tanah Jawi ditulis oleh Yasadipura I, pujangga masa pemerintahan Pakubuwana III (1749–1788) dan IV (1788–1820). Itu dilihat dari isi dan urutan ceritanya. 

"Karena bait-bait terakhir Babad Tanah Jawi berkelanjutan di Babad Giyanti yang memang jelas karya Yasadipura I. Babad Tanah Jawi menurut saya zaman Pakubuwana III," kata Adi.

Contoh kisah api asmara bangsawan dalam Babad Tanah Jawi adalah tentang Sultan Mangkurat Mataram yang merebut Ratu Malang. Padahal, ia sudah bersuami Ki Dalem dan sedang hamil.

Baca juga: Benarkah Babad Tanah Jawi Fiksi?

Namun, karena kecantikan Ratu Malang, Sultan Mangkurat tak peduli dan tetap ingin memilikinya. Ki Dalem pun dibunuh. Ratu Malang yang sedih ikut meninggal. Jenazahnya dibiarkan di dalam keraton, tidak langsung dikebumikan oleh sultan.

"Akhirnya sultan bermimpi kalau Ratu Malang sudah bertemu Ki Dalem. Baru sultan mau memakamkan," kata Adi. 

Di Babad Tanah Jawi juga ada kisah raja yang berhubungan dengan makhluk halus, seperti cerita Panembahan Senopati dengan Ratu Pantai Selatan. Ada juga kisah Jaka Tarub dan bidadari Nawang Wulan. 

Menurut Adi, seorang raja bisa memperoleh legitimasi kekuasaan dari keahlian bercinta. Termasuk dengan makhluk astral, sebagaimana cerita Panembahan Senopati. 

"Tampak adanya legitimasi untuk menaikkan kharisma dan wibawa raja yang absolut, bahwa apa-apa yang diminta harus dituruti. Meski seorang raja juga harus berbudi luhur," ujar Adi.

Baca juga: Siapakah Sebenarnya Nyi Roro Kidul?

Dalam konsep kekuasaan Jawa, menurut Adi, selain didorong nafsu, perempuan yang diinginkan raja biasanya memiliki pengaruh secara politik. Namun, tak selamanya raja yang lebih dulu menginginkan perempuan. Ada kasus ayah atau rakyat justru yang memberikan anaknya kepada rajanya.

"Karena rakyat merasa itu anugerah jika anaknya bisa menjadi selir raja," kata Adi. 

Ada persepsi pula memiliki banyak selir menyimbolkan kekuatan seorang raja. "Kembali ke filosofi Jawa, lelaki utamanya harus memiliki curigawismawanita, turangga, dan kukila," lanjut Adi.

Seks sebagai Laku Spiritual

Dalam tradisi Jawa, seks bukan cuma mengejar kenikmatan semata. Seks menjadi laku spiritual yang harus sesuai dengan ketentuan Tuhan. 

Itu tercermin dalam Serat Centhini, karya bersama para pujangga Keraton Surakarta di bawah arahan Pakubuwono V ketika masih menjadi putra mahkota. Serat ini selesai pada 1814.

Ceritanya, setelah menikah, Syekh Amongraga dan Ken Tembangraras tak langsung melakukan persetubuhan. Mereka menunggu selama 40 hari baru melakukan persetubuhan.

Seks dalam tuntunan Jawa intinya adalah kesabaran. "Dalam Centhini kenapa harus menunggu 40 hari, karena ujung-ujungnya spiritual," kata Adi. 

Baca juga: Paradoks Serat Centhini

Uniknya, Serat Centhini juga memuat interaksi seksual dari berbagai orientasi. Bahkan, dikisahkan pula perilaku bestialitas yakni berhubungan seksual dengan kuda. 

"Dalam bentuk ilham melalui mimpi Ki Kulawiryo untuk penyembuhan Nuripin yang mengalami sakit raja singa atau sipilis," kata Adi.

Model penceritaan dalam Serat Centhini itu berhubungan dengan proses penciptaan naskah. "Dalam Serat Centhini, Pakubuwana V yang waktu itu putra mahkota berusaha menampilkan karya sastra berisi fenomena negatif dan positif di Jawa, tapi terkait agama juga ajarannya," ujar Adi.

Sebelum memprakarsai Serat Centhini, Pakubuwana V membaca Serat Wulangreh warisan ayahnya. Di dalamnya hanya berisi ajaran agama.

"Kalau begini tak akan menarik. Jadi ia membuat suatu metode pengajaran agar yang baca tidak bosan. Lewat jalan cerita kemudian dalam bentuk tembang," kata Adi.

Baca juga: Seni dan Seksualitas

Pakubuwana V memerintahkan tiga orang, yaitu Raden Ngabehi Ronggosutrasno, Yasadipura II, dan Raden Ngabehi Sastradipura. Ronggosutrasno diperintahkan memeriksa daerah Jawa bagian tengah ke timur. Ia menyusuri wilayah utara ke timur, lalu ke selatan hingga kembali ke tengah. 

"Apa yang dilihat dan diketahui selama perjalanan itu disuruh dicatat," kata Adi. 

Yasadipura diperintahkan mengamati Jawa bagian tengah ke barat. Ia menyusuri wilayah utara ke barat, lalu ke selatan kembali ke Jawa Tengah. Ia juga disuruh mencatat apa saja yang ditemuinya.

Terakhir, Sastradipura diperintahkan naik haji ke Makkah untuk mempelajari ilmu agama. Setelah kembali, ia mencatat bagian keagamaan dari Serat Centhini. Ia akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ilhar. 

Baca juga: Bestialitas dalam Serat Narasawan

Karena isinya begitu luhur, banyak pujangga dan sastrawan Jawa kemudian mutrani (duplikasi) kembali Serat Centhini. Contohnya Masalah Saresmi dan Kawruh Sanggama. 

Masalah Saresmi berisi ajaran Rasul kepada anaknya Fatimah az-Zahra dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah larangan dan tuntunan bersenggama. 

"Nggak boleh tanggal pertama dan terakhir bulan. Nggak boleh hari Minggu dan Rabu. Jangan matikan lampu, akan berakibat anaknya bodo, celaka, menjadi durjana, dan sebagainya," kata Adi. 

Sedangkan Kawruh Sanggama merupakan ajian asmaragama yang didapat Batara Guru dari Sang Hyang Tunggal dengan bertapa. Karena sebelumnya ia memiliki empat putra yang wataknya tidak baik. 

"Kemudian menggunakan ajian asmaragama akhirnya punya anak Sang Hyang Wisnu," kata Adi. 

Kawruh Asmaragama mengatur sikap dan tata cara dalam melakukan hubungan seksual. Lebih lanjut istilah sanggama, karonsih, saresmi dan istilah lain dalam Jawa yang didasari watak lilanarimatemen, dan sabar akan dapat menghasilkan hakikat kebenaran sejati pasangan. 

"Semua perbuatan haruslah didasari ilmu. Ilmu dapat menuntun kita ke arah hal positif," ujar Adi.

TAG

seksualitas

ARTIKEL TERKAIT

Riwayat Homofobia Mengorek Ngondek Kisah Romansa Masa Lalu Memuja Dewi Cinta Mesopotamia Cinta dan Kebahagiaan Sejati dalam Kamasutra Sharon Stone dalam Bayang-bayang Simbol Seks Datang ke Medan Terjerat Pelacuran Jejak Studi Koro Bernapas dalam Film Panas Razia Homoseksual Zaman Kolonial