Masuk Daftar
My Getplus

Dari Koboi Revolusi ke Koboi Insaf

Koboi sebermula seorang penunggang kuda penggembala ternak. Berubah jadi sosok heroik dan dibanggakan oleh pemuda revolusi di Surabaya.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 10 Apr 2021
Koboi Amerika tahun 1888. (John C. H. Grabill/Library of Congress/Wikimedia Commons).

Lelaki itu selesai menunaikan salat di masjid. Dia berjalan menuju parkiran masjid. Di sanalah kudanya menunggu. Di badan kuda, ada sebuah tombol. Lelaki itu memencetnya. Sebuah tangga menjulur. Dia naiki tangga itu untuk sampai di punggung kuda. Sesaat wajahnya tampak di spion kuda. Topi koboi hitam lebar dengan kumis tipis.

Itulah potongan awal film “Benyamin Koboi Insyaf” produksi 1986. Pemeran utamanya Benyamin Sueb. Dalam film itu, dia tergila-gila jadi koboi. Kemana-mana menunggang kuda dan membawa pistol. Semua digunakan untuk menyelamatkan orang dari perampokan dan perkosaan. Ini gambaran koboi versi sutradara Nawi Ismail.

Tapi dalam beberapa peristiwa nyata, istilah koboi sering melekat pada orang yang serampangan dan arogan. Misalnya pengendara Fortuner yang mengancam warga dengan pistol. Media dan warganet menyebutnya koboi Fortuner. Padahal gambaran awal koboi jauh berbeda dari kesan serampangan dan arogan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Anarkisme dalam Perang Sipil Spanyol 1936

Koboi bertumbuh dari tanah bumi bagian Barat. Orang sering mengira berasal dari Amerika Serikat. Tapi Eric Hobsbawm, sejarawan Marxis legendaris dari Inggris, menyebut koboi Barat memiliki asal lahir dari Meksiko. Sebutannya vaquero yang berasal dari kata berbahasa Spanyol, vaca atau sapi. Pakaian koboi Amerika pun berasal dari vaquero.

“Pakaian vaquero dari penggembala-penunggang kuda Meksiko, yang telah menjadi pakaian klasik dari koboi Barat,” sebut Hobsbawm dalam Bandits.

Laman americancowboy.com menguraikan sisik-melik vaquero. Pada abad ke-16, orang-orang Spanyol tiba di Meksiko. Mereka membuka peternakan untuk memelihara sapi dan kuda. Orang-orang Spanyol merekrut vaquero untuk merawat ternak karena keterampilan dan keunggulannya dalam menjerat, berkuda, dan menggembala.

Banyak dari mereka berusia muda dan membutuhkan uang tunai. Selain mahir menggembala ternak, mereka juga bisa memperbaiki pagar dan bangunan. Mereka biasanya memakai topi besar untuk melindungi dari terik matahari. Juga menggunakan sepatu bot untuk menahan duri kaktus dan memasang penutup mulut dan hidung untuk menyaring debu.

Baca juga: Semakin Trendi dengan Topi

Memasuki 1700-an, peternakan milik orang Spanyol menyebar ke wilayah utara Amerika: Texas, Arizona, New Mexico, sampai ke Argentina. Di mana ada wilayah tandus dan berpasir di Amerika, di situ ada vaquero.

Kemudian pada 1800-an, banyak imigran dari Inggris di Amerika Serikat mulai mengadopsi cara hidup vaquero. Antara lain pakaian, topi, sepatu, dan cara menggembala sapi. Mereka inilah yang kemudian disebut koboi. Langkah ini lalu diikuti oleh orang-orang Afro-Amerika, suku tempatan, dan pemukim di wilayah Timur.

Peran koboi mulai bergerak lebih luas ketika pembangunan jaringan rel kereta api dari wilayah Timur ke Barat pada pertengahan abad ke-19. “Para koboi menggiring dan mengumpulkan ternak yang diangkut dengan kereta api di seluruh negeri untuk dijual,” tulis laman history.com.

Tapi peran mereka mulai berkurang memasuki awal abad ke-19. Saat itu, suhu musim dingin membunuh hewan-hewan ternak. “Banyak ahli percaya bahwa musim dingin yang menghancurkan ini adalah awal dari akhir era koboi,” tambah history.com.

Disebut awal dari akhir koboi lantaran identitas koboi justru lahir kembali dalam bentuk berbeda. Ini andil dari film-film Hollywood dan komik pada 1920-an. Dua medium ini menampilkan citra koboi yang heroik. Tengoklah film seperti “High Noon” dan “Hopalong Cassidy” atau komik “Black Rider” dan “Kid Colt”.

Baca juga: Lagak Sukarno Naik Kuda

Koboi-koboi itu melawan para bandit bersenjata. Tak jarang pula membagi-bagi barang rampasan dari bandit untuk warga. Tokoh-tokoh perannya antara lain Billy the Kid atau Jesse James.

Film-film koboi ini sampai juga ke Hindia Belanda. Adegan saling tembak dan jotos-menjotos sangat menarik bagi para penduduk Hindia. Gambaran koboi sebagai sosok heroik melekat kuat. Hingga akhirnya saat Indonesia merdeka pada 1945, para pemuda revolusi yang masa kecilnya punya pengalaman menonton koboi, mencitrakan diri mereka sebagai koboi.

“Sejumlah kelompok revolusioner menganggap bahwa mereka adalah koboi Wild West Amerika yang sedang melawan gerombolan bandit kejam. Beberapa orang mungkin sampai berkhayal bahwa mereka sedang meniru tokoh-tokoh sejarah terkenal seperti Jesse James atau Billy the Kid,” ungkap Francis Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?

Pengidentifikasian diri pemuda revolusi sebagai koboi juga tersua dalam cerpen Surabaya karya Idrus terbitan 1947. Idrus menggambarkan pemuda-pemuda revolusi di Surabaya selama November 1945. Mereka kemana-mana membawa pistol dan revolver dan menjaganya dengan segenap jiwa raga. Pistol dan revolver itu disayangi, dibelai, dan dicium-cium. Itulah senjata mereka untuk melawan tentara Sekutu yang digambarkan sebagai bandit.   

Baca juga: Kebrutalan Pertempuran Surabaya

“Serdadu Sekutu, hitam-hitam seperti kepala kereta api, dicurigai koboi-koboi seperti bandit-bandit yang dibiarkan lepas dan berkuasa,” tulis Idrus.

Ketika tentara Sekutu mengultimatum para pemuda revolusi di Surabaya untuk menyerahkan senjatanya, para pemuda mengabaikannya. Dan Idrus menggambarkannya sebagai berikut.

“Koboi-koboi tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak, ambillah jiwa kami! Pada waktu berteriak itu mereka menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi.”

Pertempuran Surabaya berakhir dengan kerugian di dua pihak. Pada akhirnya Sekutu hengkang dari Indonesia. Koboi-koboi muda pun bersorak bangga. Lalu lawan mereka berganti jadi serdadu NICA dua tahun kemudian. Semakin banyak pula pemuda yang menenteng pistol dan revolver.

Tak semua orang senang dengan lagak koboi para pemuda. “Dua tahun kemudian, majalah Kutipan Patriot mengeluh bahwa ada terlalu banyak pemuda yang mencoba meniru jagoan-jagoan yang mereka lihat di film-film Humphrey Bogart dan Dead End Kids,” tulis Gouda.

Baca juga: Pemuda di Balik Senjata Berat dalam Pertempuran Surabaya

Dari sinilah berkembang citra koboi yang serampangan dan petantang-petenteng membawa senjata.

Sampai 1950-an, film dan komik koboi masih mempunyai banyak penggemar di Indonesia. Biasanya anak-anak paling terpengaruh dengan dua hal itu. “Seorang anak yang baru saja melihat sebuah film koboi umpamanya sangat kagum akan kegagahan, keberanian, dan kelincahan sang koboi dalam menghadapi bandit yang berpuluh-puluh,” catat Sunday Courier No. 1, 1955.

Film dan komik itu memunculkan pula musim-musim “di mana anak-anak bermain seperti koboi-koboian”.

Memasuki 1970-an, cerita tentang koboi diadopsi oleh para insan film Indonesia. Kebanyakan film koboi itu berjenis komedi slapstick seperti “Benyamin Koboi Ngungsi” dan “Bing Slamet Koboi Cengeng”.

Film ini turut membawa serta gambaran baru tentang koboi. Tak hanya gagah, berani, dan baik hati, tapi juga konyol dan kocak. Ada pula koboi yang berwatak buruk, ugal-ugalan, dan petantang-petenteng. Mereka adalah koboi-koboi yang melawan koboi pemeran utamanya.

Begitulah citra koboi berubah-ubah.

TAG

koboi pertempuran surabaya

ARTIKEL TERKAIT

Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben God Bless di Mata Roy Jeconiah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri