Seni pertunjukan teater tradisional ludruk tumbuh dan berkembang di Jawa Timur. Salah satu kelompok yang masih eksis hingga kini adalah Kartolo Cs.
Kartolo selalu menghadirkan kisah sehari-hari, seperti problem kenakalan remaja, gaji pas-pasan, hingga persoalan rumah tangga. Dagelannya yang spontan dan berdasarkan improvisasi pemain kerap membuat penonton terpingkal-pingkal.
Asal-usul kesenian ludruk tak diketahui secara pasti. Namun, menurut Matthew Isaac Cohen, profesor teater dari Royal Holloway, University of London, jejak ludruk bisa dilihat lewat laporan A.D. Cornets de Groot, residen Belanda di Gresik, yang menggambarkan keadaan Kota Gresik pada 1822 hingga 1823.
“Dia menulis, kata ludruk atau badut berarti suatu tarian dengan dua pelawak. Salah satunya berpakaian perempuan. Mereka bersama main peran dan melakonkan cerita lucu,” kata Cohen kepada Historia.
Intinya, kata Cohen, dagelan merupakan bagian utama ludruk sejak dahulu. Selain itu terdapat tari remo, selingan, dan cerita (lakon). Dagelan dimainkan setelah tari remo dan sebelum selingan.
James L. Peacocks dalam bukunya Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, menulis bahwa isi dari tarian remo, dagelan, selingan, dan cerita bervariasi dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain, serta isi dan elemen-elemen lain bervariasi secara hampir bebas dari isi dari elemen-elemen lain.
“Sebuah rombongan ludruk katakan saja biasa menampilkan enam dagelan yang berbeda, enam cerita yang berbeda, dan tiga jenis ngremo selama 20 pertunjukannya berturut-turut,” tulis Peacocks.
Tak ada pakem yang pasti terhadap pertunjukan ludruk, seperti jumlah pemain dan jumlah babak. Para pemain ludruk dituntut berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dahulu.
Dagelan diawali dengan kemunculan seorang pemain dagelan di atas panggung. Kemudian, dia mengidung sendirian. Tak lama, muncul pemain dagelan kedua, dan mereka saling berdialog, memunculkan kisah pendek yang lucu.
“(Cerita) dagelan ludruk beraneka ragam, tapi biasanya tidak lepas dari keadaan sehari-hari orang kecil,” kata Cohen.
Lebih lanjut, menurut Cohen, ludruk awalnya memang memainkan banyak dagelan slapstick (lawak kasar fisik). Namun, setelah muncul ludruk Cak Gondo Durasim pada 1920-an, banyak perubahan dalam konsep dagelan. Ludruk lebih cenderung ke lawak halus, dengan permainan kata-kata dan sindiran sosial-politik.
Cak Durasim merupakan pelopor perkumpulan ludruk di Surabaya. Pada 1937, dia mempopulerkan legenda Soerabaja dalam bentuk drama. Ketika pendudukan Jepang, dia kerap mengangkat kisah perjuangan lokal di Jawa Timur. Ketika pentas di Keputran Kejambon, Surabaya, Cak Durasim mengritik Jepang dengan kidungan: pagupon omage dara, melu Nippon tambah sengsoro (kandang rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara). Akibatnya, Cak Durasim dijebloskan ke penjara oleh polisi militer Jepang. Setahun kemudian, dia wafat.
Ludruk biasanya mengangkat realitas kehidupan sehari-hari. Jadi, menurut Cohen, lakon ludruk, meski bicara soal masa lampau, pada intinya tetap terkait isu-isu di masyarakat masa kini, seperti relasi lelaki-perempuan, kaya-miskin, tua-muda, tradisi-modern. Dagelan pun memainkan kisah semacam itu.
Peacock menulis, pada awal keberadaannya, ludruk tak lebih dari seorang pemain dagelan. Manajer rombongan ludruk biasanya juga bermain dalam peran pemain dagelan. Saat ini, jumlah pemain dagelan dalam ludruk tidak tentu. Terkadang dua, terkadang tiga, bahkan lebih.
Peacock mencatat, ada beberapa ciri khas pemain dagelan. Pertama, para pemain dagelan menggunakan nama aslinya, sehingga hanya mereka pemain yang dikenal namanya oleh para penonton. Kedua, para pemain dagelan memainkan peran-peran bawahan, seperti pembantu atau buruh. Ketiga, para pemain dagelan menggunakan bahasa Jawa ngoko dengan dialek Suroboyoan.
Menurut Henri Nurcahyo, seorang penulis asal Surabaya, dalam tulisan di laman blognya berjudul “Ludruk (yang) tidak Membosankan”, kreativitas pelawak diuji dalam babak dagelan. Yakni, sejauh mana para pelawak mampu menghadirkan humor baru, atau hanya mengulang humor lama yang sudah bisa ditebak penonton. Henri juga menjelaskan, ciri khas dagelan ludruk selalu ada guyonan teka-teki, mengenai bahasa asing dan bahasa daerah, serta mengenai dunia hewan.
Sindhunata dalam buku Gendhakan: Visualisasi Parikan Ludruk menyebut, pemain dagelan ludruk selalu mengenakan sarung yang sederhana, bercelana panjang, dan berbaju tanpa kerah, mirip seorang pelayan. Ciri khas lainnya, mereka sering memakai kopiah hitam.
Sedikit-banyak, pertunjukan dagelan dalam ludruk, menurut Cohen, ikut mempengaruhi gaya pelawak yang dibesarkan di Jawa Timur. Gaya lawakan Cak Lontong bisa jadi mengadaptasi dagelan ludruk.
Meski Cohen mengatakan, saat ini tak ada slapstick dalam dagelan ludruk, nyatanya lawak kontak fisik masih jadi andalan seperti keplak-keplakan kepala.
Gaya lawak semacam ini diadaptasi oleh grup-grup lawak, seperti Srimulat. Bahkan, saat ini, para penampil di acara-acara televisi pun mengadopsi gaya lawak dari dagelan dalam ludruk.