Masuk Daftar
My Getplus

Candranegara V, Sang Pengelana Pertama

Bupati Kudus ini menjadi pelancong pribumi pertama. Buku catatan perjalanannya telah diterjemahkan dalam tiga bahasa asing, sayangnya belum terbit dalam bahasa Indonesia.

Oleh: Imam Taufiqurrahman | 10 Feb 2022
Raden Mas Arya Candranegara V bersama istri dan putrinya pada 1867. (Woodbury & Page/koleksi Universiteit Leiden, KITLV).

Raden Mas Arya Candranegara V melakukan perjalanan demi perjalanan ke sepenjuru Jawa dalam rentang 1860–1875. Menggunakan nama Purwalelana –berarti pengelana pertama, ia menempuh perjalanan 5.000 kilometer yang dituangkan dalam Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana (Perjalanan Raden Mas Arya Purwalelana). Terbit perdana dalam dua volume pada 1865–1866, buku ini menahbiskan Candranegara V sebagai pelancong pribumi pertama yang menulis sebuah catatan perjalanan.

Bergenre travelogue, buku itu ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Slamet Riyadi, peneliti dari Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, dalam Sastra Jawa Masa Transisi 1840-1917 (1997), menggolongkannya sebagai “kisah perjalanan model Barat”. Usai Candranegara V, kemudian muncul karya-karya serupa, macam Cariyos Nagari Betawi (1867) oleh R.A. Sastradarma dan Purwa Carita Bali (1875) oleh Sastrawidjaja.

Baca juga: Nusantara dalam Catatan Penjelajah Dunia

Advertising
Advertising

Sebagai yang mula-mula, kehadiran buku Candranegara V mampu mendobrak zaman. Sebelumnya tak ada karya literatur Jawa yang terbit dengan gaya tutur orang pertama, berbentuk prosa, dan berisi kesaksian atas kejadian yang berlangsung kala itu. Lazimnya karya di masa itu berupa tembang atau dandanggula, ditulis dalam larik puisi, berisikan epos yang mengagungkan raja-raja atau kisah peperangan.

Dalam edisi perdana, Candranegara V bahkan bereksperimen dengan memberi spasi di antara kata sebagaimana penulisan Latin. Pemisahan ini tidak dikenal dalam tata penulisan aksara Jawa, sehingga mengakibatkan kebingungan di kalangan pembaca.

Baru pada edisi kedua, Candranegara V menyusunnya sebagaimana tata aksara Jawa. Volume pertama edisi kedua ini terbit pada 1877 dalam judul Cariyos Bab Lampah-Lampahipun Radèn Mas Arya Purwalelana. Sementara volume kedua terbit pada 1880 sebagaimana judul dalam edisi perdana, Lampah-Lampahipun Radèn Mas Arya Purwalelana. Tiap volume berisikan dua perjalanan.

Baca juga: Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam “The perils of hybridity in 19th-century Java: Ronggawarsita’s reputation, animated debates in Bramartani, and the probable origins of Javanese acrostics; with a postscript on Purwalĕlana”, Archipel 96, 2018, menjelaskan perjalanan Candranegara V dimulai lebih awal, pada sekitar 1858. Perjalanan itu dibagi dalam empat tahap.

Dalam kata pengantarnya, Candranegara V menyebut seluruh wilayah yang ia jejaki. Jumlahnya mencapai 18 keresidenan. Hanya Banten, Krawang, Banyumas, Bagelen, dan Madura yang tidak ia datangi.

Keempat kisah perjalanannya selalu bertolak dari Salatiga. Pada perjalanan pertama, ia berkereta kuda menuju Semarang. Dari Semarang, ia berlayar ke Batavia. Usai berkeliling kota, ia berkereta api ke Bogor. Berlanjut ke Bumi Priangan, ia terus ke timur hingga Cirebon. Lantas menyusuri pantura, singgah di Tegal dan Pekalongan, lalu berakhir di Semarang.

Baca juga: Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara

Perjalanan sang Purwalelana mampu menyuguhkan potret Jawa masa lampau. Sebagai penulis perjalanan, ia menggambarkan hiruk-pikuk suasana negerinya sendiri, mengekspresikan kekaguman pada pemandangan alam atau berbagi pengalaman menaiki bermacam moda transportasi. Ia menziarahi makam leluhur, menjelaskan isi kota, juga tempat dan bangunan yang jadi tengara.

Acapkali ia begitu puitis seperti yang tertulis di awal perjalanan: “Di jalan, saya begitu takjub melihat sinar mentari yang terbit menyinari perbukitan, Rawa Pening, demikian juga sebuah barak di Banyubiru. Air berkilau seperti perak yang bertabur permata. Dinding putih barak begitu mempesona, dengan sentuhan kuning, tampak seperti seikat bunga teratai putih. Biru kehijauan menjadi warna Perbukitan Prawata, hitam adalah jurang-jurang dalam. Asap putih bertumpuk-tumpuk selayaknya kapuk, uap yang keluar dari Gunung Merapi. Semua itu akan memukaukan siapa pun yang baru pertama melihatnya.”

Baca juga: Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit

Sebagai karya yang menjadi tonggak penting, buku tersebut telah dialihaksarakan oleh Yayasan Sastra Lestari (Yasri) dari Surakarta pada 2011. Penulisannya dibuat ke dalam huruf Latin, dengan masih dalam bahasa Jawa. Terkecuali bagian keempat perjalanan, tulisan dapat diakses dalam tiga tautan di situs sastra.org milik Yasri: Cariyos Bab Lampah-lampahipun Radèn Mas Arya Purwalêlana (h. 1-139), (h. 140-259), dan Lampah-lampahipun Radèn Mas Arya Purwalêlana.

Supardjo (66), editor pengalihaksaraan buku Candranegara V, mengakui bahwa Yasri tidak memiliki bagian keempat perjalanan. “Hanya punya sampai yang ketiga,” ujarnya dalam wawancara via telepon (4/2/2022).

“Kami akan sangat senang kalau ada yang bisa membantu kami mendapatkannya,” ungkap filolog yang juga salah satu pendiri Yasri itu.

Supardjo menyebut, adanya naskah keempat perjalanan Candranegara V yang sebagian berisi dandanggula itu tentu akan melengkapi kisahan sang Purwalelana. Penting, mengingat tembang tersebut diinspirasi dari perjalanan yang sungguh-sungguh.

Terjemahan buku telah terbit setidaknya dalam empat bahasa. Menariknya, alih bahasa pertama dilakukan ke dalam bahasa Madura oleh Raden Panji Djaja Adi Negara, seorang guru dari Pamekasan. Terjemahan ini diterbitkan oleh Albert Cornelis Vreede di Leiden pada 1882.

Baca juga: Turis Bukan Hanya Orang Asing

Buku perjalanan Candranegara V telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Belanda, dan Inggris. Marcel Bonneff menerjemahkannya ke bahasa Prancis berjudul Pérégrinations javanaises: Les voyages de R.M.A. Purwa Lelana: Une vision de Java au XIXe siècle (c. 1860-1875) pada 1986.

Judith E. Bosnak dan Frans X. Koot, dibantu oleh Revo A.G. Soekatno, menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda dengan judul Op reis met een Javaanse edelman: Een levending portret van koloniaal Java in de negentiende eeuw (1860-1875); De reizen van Radèn Mas Arjo Poerwolelono pada 2013.

Lantas pada 2020, Bosnak dan Koot menerjemahkannya ke bahasa Inggris dengan judul The Javanese Travels of Purwalelana, A Nobleman’s Account of his Journeys across the Island of Java 1860-1875.

Terjemahan Prancis dan Inggris diperkaya gambar, peta, dan foto. Selain menguatkan konteks, isinya padat akan informasi mengenai sosok Candranegara V, arti penting buku, dan penuh catatan kaki. Patut disayangkan, justru belum ada yang menerbitkannya dalam bahasa Indonesia.

Baca juga: Adinegoro, Penulis Buku Perjalanan Wartawan Pertama

Perjalanan Candranegara V dilakukan saat ia menjabat sebagai bupati Kudus (1858–1880). Sebagai priayi, ia disebut-sebut sebagai salah satu orang Jawa pertama yang mampu berbahasa Belanda. Sulung dari empat bersaudara ini adalah anak dari Pangeran Arya Candranegara IV, bupati Demak pada 1850–1866. Adiknya berturut-turut bernama Purbaningrat, Sasraningrat, dan Hadiningrat. Kelak dari Sasraningrat, lahir seorang tokoh literasi yang sangat terkenal, Raden Ajeng Kartini.

Marcel Bonneff dan kebanyakan sumber lain hanya menyebut 1836 sebagai tahun kelahiran Candranegara V. Namun, Bosnak dan Koot dalam buku terjemahan bahasa Inggris mengoreksi dan menyantumkan tanggal detail kelahirannya. Bersumber dari koran De Locomotief, Candranegara V lahir pada 9 Februari 1837. Sang pengelana pertama wafat pada 7 Mei 1885 di usia 48 tahun.

Penulis adalah pengamat burung, penyuka sejarah. Saat ini bekerja sebagai Manajer Konservasi Burung di Yayasan SwaraOwa yang bergerak di bidang pelestarian primata. Sesekali menulis di blog peburungamatir.wordpress.com (tulisan lama) dan kini peburungamatir.blogspot.com.

TAG

buku perjalanan

ARTIKEL TERKAIT

Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben