KEDUA pasangan itu tampak sumringah. Jossie, berusia 25 tahun, terlihat tampan dengan setelan jas putih dan dasi kembang-kembang warna merah. Bonnie, berusia 22 tahun, mengenakan gaun panjang, juga berwarna merah. Pernikahan dilangsungkan di Swinging Pub Bar, Blok M, dengan dihadiri 120 orang, termasuk keluarga kedua mempelai.
Bonnie memotong kue pengantin. Jossie menyuapi pasangannya. Para tamu bertepuk tangan lalu memberikan ucapan selamat. Selesai berpesta, pengantin tersebut pulang ke rumah mereka, di bilangan Pejaten (Jakarta Selatan).
Perkawinan Jossie dan Bonnie, yang berlangsung pertengahan April 1981, mendapat pemberitaan luas dari media –dengan lebih menonjolkan sisi sensasional. Perkawinan mereka juga mengejutkan publik, yang umumnya masih menganggap hubungan sesama jenis sebagai “perilaku menyimpang”. Jossie dan Bonnie menuai hujatan, terutama kelompok Islam. Dan tak ada yang membela keduanya. Di masa Orde Baru, siapa yang berani?
Julia Suryakusuma termasuk sedikit dari orang Indonesia yang membela mereka. Bersama Toeti Heraty dan Marianne Katoppo, dia menulis surat pembaca ke majalah Tempo yang berisi dukungan bagi Jossie dan Bonnie. Giliran mereka yang dihujat.
“Kami menerima banyak cacian pedas (semua dari laki-laki) dan satu surat dukungan dari Dede Oetomo, sekarang aktivis hak-hak gay dan HIV/AIDS terkemuka di Indonesia, yang baru saja membentuk Lambda Indonesia (sekarang GAYa NUSANTARA), organisai hak-hak gay pertama di Indonesia,” tulis Julia Suryakusuma, “Should a married couple be frank and earnest?”, The Jakarta Post, 12 September 2007.
Dede Oetomo menulis bahwa surat mereka ibarat "menghirup udara segar" dalam suasana yang didominasi heteroseksualitas. Padahal mereka bukanlah lesbian. Mereka melakukannya sebagai “warga negara yang percaya pada hak demokratis setiap individu atas seksualitas mereka,” tulis Julia.
Di Indonesia, melalui UU Perkawinan, negara hanya mengakui perkawinan heteroseksual, antara lelaki dan perempuan. Jossie dan Bonnie menjadi sosok pertama yang berani keluar (coming out) dari kungkungan norma perkawinan heteroseksual dan memantik gerakan homoseksualitas di Indonesia. Jika sebelumnya kaum homoseksual masih berkutat pada diri mereka sendiri, kini mereka mulai menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat, menjadi bagian dari masyarakat.
“Keduanya ingin menjadi pelopor bagi kaumnya yang sebetulnya berjumlah tidak sedikit,” tulis majalah Liberty sebagaimana dikutip Tom Boellstorff dalam The Gay Archipelago.
Meski banyak orang menganggap konsep lesbianisme adalah baru, dan berasal dari Barat, praktik hubungan sesama jenis bukanlah hal baru dalam sejarah. Ia hadir dalam melalui cerita-cerita rakyat, laporan kolonial, maupun pemberitaan media. Kakawin Hariwangsa, misalnya, secara eksplisit menggambarkan interaksi seksual sesama perempuan. Relasi seksual sesama perempuan terjadi di dalam keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di Bali, menurut Jaleswari Pramodhawardani dalam tesisnya, pernah hidup suatu komunitas perempuan di Puri Gde yang dipimpin oleh perempuan agung dan tak pernah menikah.
Kasus yang mirip Jossie-Bonnie pernah terjadi pada 1939 di Alahan Panjang, sebuah nagari di Sumatra Barat, sekira 65 kilometer dari Kota Padang. Namanya Rakit dan Tinoer.
Rakit janda yang sudah delapan tahun ditinggal suami. Tinoer, yang potongan rambutnya seperti lelaki, anak gadis seorang syekh yang tinggal di Sungai Nanam. Karena saling mencinta, mereka hidup layaknya suami-istri. Keduanya lalu minta izin menikah tapi orangtua Tinoer tak mengizinkan. Tak patah arang, pada 11 Februari 1939 mereka mendatangi kantor districtshoofd (kabupaten). Sontak, permintaan mereka bikin geger seisi kota. Bukannya mengabulkan, para pejabat di kantor kabupaten justru mengirim keduanya ke dokter.
“Districtshoofd jadi heran, lalu mengirim kedua perempuan itu pada dokter di Solok,” tulis Sin Po, 21 Februari 1939.
Yang menarik, Sin Po sudah menyebut istilah lesbischeliefde (lesbianisme) –artinya, istilah itu sudah dikenal masa itu. Tak jelas bagaimana nasib sepasang kekasih itu. Sementara tahun-tahun itu, pemerintah Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya melancarkan tindakan homofobia, terutama di kota-kota besar. Jika kisah Rakit dan Tinoer memang terjadi, mereka melampaui zamannya sebagai lesbian yang berani keluar (coming out) dan menunjukkan identitas seksual mereka.
Selama ini, relasi sesama perempuan cenderung dilakukan secara diam-diam. Dan toh, kaum lesbian umumnya masih berkutat pada persoalan diri mereka sendiri: dari dalam (psikologi) maupun dari luar (penerimaan keluarga dan dan masyarakat). Tak heran jika hubungan sesama perempuan yang mencuat ke permukaan biasanya justru didorong oleh ketidakterimaan keluarga dan masyarakat. Hal serupa terjadi pada Aty dan Nona, masing-masing berusia 21 tahun dan 12 tahun, yang juga jadi pemberitaan media tak lama setelah kasus Jossie-Bonnie mencuat.
Aty dan Nona tinggal bertetangga di kompleks Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur. Keduanya saling jatuh cinta. Ketika akhirnya tahu, orangtua Nona pernah melarang hubungan mereka. Tapi diam-diam mereka sering bertemu hingga kemudian pergi ke Malang dan Bali. Nona sempat berkirim surat untuk orangtuanya. Isinya meminta maaf dan pengertian ayah dan ibunya. Sampai harus dibunuh pun, katanya seperti dikutip Tempo, 23 Mei 1981, "Nona tetap memilih Aty sebagai kawan hidup", bahkan sudah berikrar di atas Alkitab. Nona tak senang pada laki-laki, tulisnya dalam surat itu, "karena mereka egoistis dan senangnya nyakitin –Nona tahu siapa laki-laki itu."
Berdasarkan pengaduan keluarga Nona, Aty masuk tahanan dan harus duduk di kursi pesakitan. Hakim Ny Emin Aminah akhirnya memutuskan Aty, sebagai tertuduh, terbukti “berbuat cabul dengan lawannya yang sejenis”, Nona, yang dianggap belum cukup dewasa. Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Aty dengan hukuman delapan bulan penjara, dengan masa percobaan 1 tahun dan 8 bulan. Tapi, menurut liputan Tempo, putusan pengadilan tak menghilangkan cinta Aty dan Nona.
Hukum tak melarang homoseksual. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), peninggalan Belanda, seseorang dianggap bersalah jika melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur, tak peduli orientasi seksualnya.
Bukannya memberi dukungan, pihak keluarga justru menstigmatisasi apa yang mereka lakukan. Dalam pembelaannya, pengacara Aty menunjukkan surat keterangan dokter yang menyatakan Aty menderita kelainan jiwa –artinya, Aty semestinya bebas dari hukuman. Ibu Aty setali tiga uang, masih berharap anaknya kembali “normal”. Ini berbeda dari kasus Jossie dan Bonnie. Perkawinan mereka mendapat restu dari keluarga, sesuatu yang seringkali sulit didapatkan sehingga memperburuk identitas seksual kaum homoseksual.
Jossie dan Bonnie sadar bahwa hukum perkawinan tak mengakomodasi keinginan mereka untuk menikah. “Saya sudah mengira tak mungkin kawin secara hukum,” ujar Jossie sebagaimana dikutp Tempo, 30 Mei 1981.
Toh, “Yang penting kami happy,” ujar Jossie.