ISTILAH Pasar Malam sudah tak asing di telinga warga Belanda, bahkan sudah masuk dalam kamus Bahasa Belanda Van Dale. Berbicara tentang sejarah Pasar Malam Besar berarti juga bicara tentang budaya Indo. Ras Indo, atau Indies Eurosian secara sederhana berarti anak campuran antara darah Barat dan Timur, Eropa dan Asia. Tak sedikit yang beribu seorang nyai, yang artinya dia lahir sebagai anak di luar perkawinan sah. Ada juga yang keturunan Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) yang berganti warga negara, seperti ayah The Tielman Brothers. Ada warga Belanda murni yang lahir di Nusantara. Ada orang Indonesia asli yang menikah dengan orang Belanda atau statusnya disamakan dengan orang Eropa oleh pemerintah kolonial kala itu. Merekalah Indische Nederlanders.
Selain di Indonesia, keturunan ini juga hadir di Malaysia (Cristang), Sri Langka (burghers), dan Goa. Juga di Afrika, misalnya di Cape Verde. Komunitas ini pun, dari 1945 hingga pertengahan 1960-an, menyebar ke Belanda. Den Haag menjadi kota tujuan utama, karena merupakan kota administrasi sementara kaum Indo ini adalah ambtenaar. Lainnya menyebar ke berbagai negara seperti Kanada, Australia, dan Amerika Serikat. Sekadar catatan, komunitas Indo terbesar di luar Belanda adalah California dengan jumlah sekitar 35 ribu orang yang hidup di Los Angeles –di antaranya Eddie dan Alex van Halen.
Terminologi “Indis” berasal dari Nederlandsch Indie (Hindia Belanda), negara jajahan Belanda di wilayah Nederlandsch Oost Indie, yang membedakannya dari Nederlandsch West Indie, (Suriname dan Curascao). Kata ini juga acap disamakan dengan Indo.
Berdirinya Pasar Malam Besar pada 1959 diotaki oleh Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, seorang intelektual Indo dan sastrawan terkenal. Pria berdarah Belanda-Inggris-Jawa ini bernama asli Jan Boon. Kala itu, 1950-an, terjadi migrasi besar-besaran komunitas Indo ke Belanda. Di Indonesia, suasana memanas, dan memaksa mereka berhijrah. Namun Negeri Kincir Angin pun tak betul-betul menerima mereka. Kerajaan Belanda mengeluarkan aturan tentang asimilasi dan menghimbau kaum Indies melupakan sejarah negeri seberangnya. Robinson menolak kebijakan itu, dan bersama rekan-rekannya sesama keturunan campuran Indonesia-Belanda, ia membentuk Indies Cultural Circle. Salah satu pencapaiannya adalah terselenggaranya Pasar Malam Besar.
Idenya untuk nostalgia Pasar Malam Gambir yang rutin diadakan di Lapangan Banteng, Batavia. Saat itu, acaranya masih sekadar pertemuan, makan, dan musik, dan pengunjung boleh menyumbangkan dana untuk melestarikan budaya hibrida mereka selama tiga hari. Merekalah yang melestarikan bahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh) –bahasa yang digunakan kaum Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, yang awalnya berasal dari Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahasa campur-campur ini diperkirakan menghilang pada akhir abad ke-21. Bahasa kaum Indo adalah campuran antara bahasa Belanda, Melayu, Betawi, dan Jawa. Dari tata bahasa, ia mengikuti bahasa Melayu, sedangkan dari leksikon, bahasa ini merujuk bahasa Belanda.
Nama Tong Tong diambil dari nama institusi yang didirikan Robinson. Awalnya adalah majalah Onze Brug (Jembatan Kami) yang dia ambil-alih oleh Robinson dari Grote Indische Feestavond, pada 1958 dan diganti dengan Tong Tong. Fokus Onze Brug yang berorientasi pada Papua Nieuw Guinea diganti dengan kisah dan pengalaman warga Indo di Belanda. Belakangan, setelah Robinson wafat pada 1974, majalah ini diambil-alih oleh istrinya, Lilian Ducelle, dan diganti namanya menjadi Moesson, yang masih terbit hingga hari ini. Pada 1955 ia harus meninggalkan Belanda dan mengembara karena aktivitasnya mempertahankan budaya Indies dan karenanya melawan aturan asimilasi Belanda. Tapi ia tetap berjuang. Majalah Tong Tong itulah basis utamanya, yang tersebar ke seluruh negeri, tempat kaum Indo berdiaspora. Kelak, pada 1961, Robinson melanglang buana ke Spanyol dan lantas pada 1963 ke Amerika Serikat untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Indies.
Pada 2003 Ratu Beatrix membuka Pasar Malam Besar, dan itu artinya pengakuan resmi kerajaan akan budaya campuran itu. Pada 2007, Pasar Malam Besar dianugerahi Grand Prix 2007 untuk ajang nasional terbaik, dan layak disejajarkan dengan Festival Film Internasional Rotterdam, North Sea Jazz, dan Oerol.
Di awal pendirian, kaum Indies memposisikan diri sebagai korban. Mereka membuat acara untuk sekadar berkumpul. Kini, Pasar Malam Besar hanya sekadar untuk menyeruput eksotisme budaya diaspora dari bekas negara jajahannya.