Suatu hari, Ben sangat ingin bertemu Bing Slamet, artis pujaannya. Ben ingin lagu ciptaannya dinyanyikan Bing. Ben putar otak. Akhirnya dia dapat akal: lewat Ateng Ben dikenalkan pada Bing. Ben lalu menemui Bing di studionya, dan menawarkan lagunya. “Ini Bang lagunya,” kata Ben.
Bing membaca sekilas, moncoret-coret sedikit dan mengubah syairnya. Ben tampak puas. Dan benar, setelah lagu berjudul Nonton Bioskop itu dirilis –yang delapan tahun sebelumnya ditolak penyanyi Fenti Effendi –langsung meledak. Ben senang bukan kepalang. Dia pun ketagihan menulis lagu. Tapi, atas saran Bing Slamet, sebaiknya Ben menyanyikan lagu-lagunya sendiri. Anjuran Bin terbukti manjur. “Titik awal karier seni profesional Ben bermula dari band kecil bernama Melody Boys,” tulis Ludhy Cahyana dalam biografi Benyamin, Muka Kampung Rezeki Kota.
Bersama Rachman A, Rahmat Kartolo, Pepen Effendi, Imam Kartolo, Saidi, Zainin, Suparlan, Timbul, dan Yoyok Jauhari, Ben terus ngider dari satu klab ke klab lain, satu pentas ke pentas lainnya untuk mengejar popularitas. Ketika peruntungan mulai mendekat, pemerintahan Sukarno melarang segala yang berbau Barat. Daripada disetip peraturan, Melody Boys terpaksa berganti nama menjadi Melodi Ria.
Baca juga: Benyamin Sueb Penyambung Lidah Orang Betawi
Di tengah-tengah perjuangan bermusik itu, Ben juga nyambi ngelawak agar asap dapurnya tetap mengepul. Ben pelawak alami. Darah kocak sudah mengalir deras dalam dirinya sejak kecil. Kedekatannya dengan Letnan Dading dari Kodam Jaya membawanya begabung dalam kelompok seni Kodam Jaya. Bersama Edi Gombloh dan Dul Kamdi, Ben kemudian membentuk grup lawak Trio Kambing. Mereka lalu tur ke berbagai daerah sesuai permintaan.
Ben pun lebih terkenal sebagai pelawak ketimbang penyanyi. Suatu hari di bulan Mei 1970, ia sempat ditolak menyanyi dalam sebuah show di Cirebon, “karena nama Benyamin belum terkenal, bahkan pernah ditolak menyanyi karena dianggap takut merusak show-nya Frans Daromes,” tulis Ludhy. Tapi akhirnya Ben boleh menyanyi setelah melobi kordinator pertunjukan dengan mengatakan bahwa dirinya sudah rekaman lagu Om Senang. Saat itu lagu bertema senada, Tante Girang dan Tante Sun.
Sepulang dari Cirebon, peruntungan Ben terus membaik. Tak lama kemudian, pada 1970, Ben mulai solo karier di dunia tarik suara. Si Jampang menjadi debutnya. Dia terus mempertahankan ciri khasnya: lagu-lagunya bertema humor dan nada yang enak di telinga, tapi sedikit mengabaikan susunan kata. Dengan solo karir dia juga bebas bereksperimen. “Dia terbilang sukses meramu spontanitas Betawi dengan celoteh, yang terkadang menggerutu dan sering ngaco,” tulis Ludhy.
Baca juga: Benyamin Sueb, Ikon dari Kemayoran
Buntutnya gelar bapak rap Indonesia pun dialamatkan padanya. “Suatu ketika,” kenang Zainin, “Ben iseng memainkan gambang kromong. Tiba-tiba yang lain (teman Ben-Red.) nyeletuk, ‘Kamu kan orang Betawi, kenapa tidak menyanyikan lagu Betawi?” Mulai saat itulah Ben melirik dan serius menekuni gambang kromong. Namanya pun kian meroket.
Sayang, Ben merasa jemu bersolo. Dia kembali membuat terobosan, berduet. Tapi, beberapa kali ganti pasangan, mulai Rossy hingga Rita Zahara, “prestasi” Ben kurang menggembirakan. Sampai akhirnya dia menemukan penyanyi cilik Ida Royani, nama Ben di pentas musik nasional baru benar-benar “menggelegar”.
Cing Kaji, kakak Ben, berjasa menduetkan mereka berdua. Awalnya Ida tidak tertarik. “Bayangkan, penampilan Ida yang modis dan funky, harus menyanyi bareng Benyamin yang penampilannya, ‘sudah item, dekil lagi,’” ujar Ida sebagaimana ditulis Ludhy.
Ida waktu itu sudah menjadi penyanyi top remaja. Tapi, Ida terus dipengaruhi ibunya. “Sudah, kamu coba saja dulu,” begitu ibunya menasihati Ida. Ida akhirnya menerima tawaran duet itu. Meski kaset-kaset mereka laku keras, awalnya Ida merasa berat menjalani duet itu. Teman-temannya mencap dia kampungan. Akibatnya, dia kerap menumpahkan perasaan kesalnya ke Ben. Ben santai saja menanggapinya, “Biarin Da, gue dikatain muka kampungan, tapi rezeki kita, rezeki kota.”
Baca juga: Benyamin Sueb, Perkutut Berhenti di Lampu Merah
Duet itu terus menanjak dan kian bersinar. Sampai-sampai penyanyi top saat itu, Lilis Suryani, merasa tersaingi. Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kemampuan Ida nimpalin celetukan-celetukan Ben. “Kita tidak ada persiapan sama sekali. Pokoknya spontan saja,” ujar Ida.
Tak berbeda jauh dari dunia tarik suara, di dunia layar lebar pun Ben sukses tak tanggung-tanggung. Meski awalnya enggan nyemplung ke dunia itu, Ben akhirnya tak kuasa menahan godaan bermain film. Bahkan, di dunia yang satu ini dia rela melanggar nasihat emaknya, sebab emaknya tak suka dengan gaya hidup para selebritas film. Ben mengalami dilema awalnya, tapi dia tetap berkuat hati untuk berjuang di dunia layar lebar. Abang angkatnya, Adung Saleh, turut mendukung pula. “Udahlah Min, jangan didenger emak, sengsara kita,” begitu nasihat Saleh kepada Benyamin.
Ben nurut nasehat abang tirinya. Debutnya dimulai saat membintangi Honey Money and Jakarta Fair (1970), yang disutradarai Misbach Djusa Biran. Kemudian tak lama setelah itu, melalui film besutan sutradara Turino Djunaidy, Intan Berduri, Ben memenangkan Piala Citra (1973) untuk kategori pemeran pria terbaik. Melalui film itu, menurut Gombloh, “langkah Benyamin dalam dunia seni seperti langsung langkah kanan, kayaknya cepat sekali dan dengan filmnya yang susul-menyusul, seperti Biang Kerok, Biang Kerok Beruntung, dan lain-lain.” Saking larisnya, Ben sempat dikontrak dua perusahaan film sekaligus. Tambah satu profesi, kesibukan Ben pun luar biasa. Mulai saat itu pula Ben menjalani tiga profesi sekaligus: menyanyi, melawak, dan main film.
Baca juga: Benyamin Sueb Raja Lenong Main Film
Film-film Ben boleh dikata tak jauh dari penggambaran pengalaman pribadinya. Perkelahian, kejailan, humor dan lain sebagainya, hampir selalu mewarnai sebagian besar film-film yang Ben bintangi. Judul-judul film itu pun banyak yang memiliki kaitan dengan masa lalunya, semisal Biang Kerok atau Tarzan Kota. Tapi, justru dengan kesederhanaan itulah film-film Ben memiliki corak yang berbeda dari film-film pada umumnya kala itu. Banyak orang mencari-cari film-film Ben, bahkan hingga saat ini. Dengan film-film yang menggambarkan keseharian masyarakat itulah nama Ben makin melambung dan menjadi ikon etnis Betawi.
Kekuatan film-film Ben terutama terletak pada karakter Betawinya. Asal goblek, kocak, jail, tempramen, dan lain sebagainya, hampir selalu melekat pada tokoh yang Ben perankan. Dan Ben sangat gape melakoninya. Itulah yang menyebabkan kekuatan karakter seorang tokoh muncul, yang tanpa disadari turut membentuk pandangan pemirsanya. Improvisasi menjadi salah satu andalan Ben dalam berakting. “Betul-betul rajanya dalam berimprovisasi,” kata Putu Wijaya.
Selain itu, spontanitas Ben luar biasa. Tidak ada duanya. Kreativitasnya sangat mengagumkan. “Idenya selalu gila dan bagus. Meski naluri penghiburnya lebih bagus dari sutradara, dia tak pernah menganggap remeh. Sebaliknya, dia sangat menghargai dan tidak mau melangkahi wewenang sutradara. Itulah kelebihan yang tak dimiliki artis lainnya,” tulis Ludhy.