Masuk Daftar
My Getplus

Aryono, Ayutthaya, dan Adelaide: Testimoni untuk Aryono

Mengapa sejarawan Indonesia belum tertarik melakukan studi atau riset arsip tentang hubungan perdagangan maritim antara Muangthai dan Nusantara?

Oleh: Priyambudi Sulistiyanto | 27 Sep 2020
Aryono (duduk), kepala riset Historia.id, sedang meneliti arsip milik sejarawan Anton Lucas di Perpustakaan Flinders University, Adelaide, Australia, September 2019. Anton Lucas tengah menunjukkan arsip kepada Bonnie Triyana, pemred Historia.id.

Pagi itu, Selasa, tanggal 15 September, berita sedih yang dikirim dari Bonnie Triyana muncul di telepon saya, yang memberitahu tentang meninggalnya teman baik, Aryono, yang juga seorang periset arsip andal dan ulung dari Historia.id di Jakarta. Berita ini membuat saya meneteskan air mata dan menambah jumlah kepergian menjadi tiga belas teman di Indonesia yang mendahului kita semua di masa pandemi ini.

Terakhir, pada bulan Desember 2019, saya bertemu dengan Aryono di Le Chocolat Lounge di lobby Hotel Pullman di Jakarta, sambil menitipkan oleh-oleh dari Adelaide untuk dia dan Bonnie. Sebetulnya, pertemuan saya yang lebih intensif dengannya terjadi ketika ia dan Bonnie mengunjungi Adelaide selama sepuluh hari pada bulan September 2019 untuk melakukan riset arsip tentang pemberontakan Tiga Daerah milik sejarawan Anton Lucas yang diwakafkan di Perpustakaan Flinders University, Adelaide, Australia Selatan.

Baca juga: Aryono dalam Kenangan

Advertising
Advertising

Di antara kesibukannya melihat dan meneliti arsip sejarah revolusi sosial di wilayah Pantura, Jawa Tengah, saya juga berdiskusi panjang dengan Aryono, Bonnie, dan Wahyu Susilo (yang juga berada di Adelaide untuk konferensi) mengenai jejak-jejak masa lalu jalur perdagangan antara kota tua Ayutthaya di Muangthai dengan pusat perdagangan yang lainnya di kepulauan Nusantara atau Hindia Belanda saat itu, seperti Banten, Batavia, Lasem, dan Makassar.

Dalam diskusi dengan teman-teman ini, saya bertanya mengapa tidak ada ahli sejarah atau sejarawan dari Indonesia yang sudah belajar dan studi sejarah Muangthai secara serius, khususnya tentang sejarah jalur perdagangan masa lalu antara, misalnya, Ayutthaya dan Batavia? Jika tidak ada, perlukah kita mempersiapkan studi tour ke Ayutthaya dengan membawa sejarawan muda dari Historia.id atau peneliti muda sejarah Asia Tenggara dari Indonesia?

Bangunan bersejarah peninggalan Ayutthaya. (Dok. Priyambudi Sulistyanto).

Ketertarikan saya dengan Ayutthaya ini bermula setelah saya mengunjungi kota bersejarah ini lebih dari lima kali sejak kunjungan pertama di akhir tahun 1990 dan yang paling terakhir kalinya adalah bulan Desember 2018 yang lalu. Ayutthaya berada sekitar 90 kilometer di sebelah utara Bangkok. Dalam sejarahnya, Ayutthaya adalah bekas ibu kota kedua (setelah Sukothai) di Muangthai dan berdiri tahun 1350 dan mengalami zaman keemasan dari abad 14 hingga 18 di mana Ayutthaya menjadi pusat peradaban Hindu dan Buddha, menggantikan posisi keberadaan peradaban Angkor di Kamboja yang mulai runtuh pada abad 13.

Di samping itu, Ayutthaya juga menjadi pusat perdagangan maritim yang penting di Asia Tenggara. Dengan lokasinya yang strategis yaitu di sebuah pulau kecil di tengah tiga sungai yang mengelilinginya, yaitu Chao Praya, Lopburi, dan Pasak, Ayutthaya didatangi oleh para pedagang dari Asia Tenggara, Cina, India, Arab dan juga belakangan, dari Eropa. Sayangnya, Ayuthaya dihancurkan hingga luluh lantak oleh serangan tentara dari pihak Burma tahun 1767. Dengan segala warisan sejarah yang unik dan kaya inilah yang hingga kini, Ayutthaya juga diakui sebagai salah satu kota bersejarah yang penting di dunia oleh UNESCO.

Baca juga: Tantangan Riset Sejarah di Era Milenial

Pengakuan dari UNESCO inilah yang mengundang banyak perhatian dari para sejarawan Muangthai sendiri untuk kembali melakukan penelitian arsip-arsip mengenai Ayutthaya yang berada di Cina, Portugis, Inggris, Prancis, dan juga di dalam negeri. Sejarah masa lalu yang gemilang ini mengundang banyak perdebatan bagi para sejarawan di Muangthai.

Salah satu tokoh sejarawan Muangthai yang gigih mengajak sejarawan muda lainnnya untuk meriset kembali Ayutthaya sebagai pusat perdagangan maritim yang terpenting di Asia Tenggara adalah Charnvit Kasetsiri. Ia menerbitkan bukunya yang berjudul The Rise of Ayudhya (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1976) dan buku ini merupakan hasil dari disertasi doktoral di Cornell University, Amerika Serika, pada 1973. Buku ini sangat berpengaruh bagi sejarawan Muangthai dan Barat yang ingin melakukan riset tentang pentingnya jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara.

Peninggalan VOC di Ayutthaya. (Dok. Priyambudi Sulistyanto).

Pada 2017, terbit juga buku baru yang berjudul A History of Ayutthaya, yang ditulis oleh dua akademisi/sejarawan yaitu Chris Baker dan Pasuk Phongpaichit. Buku ini memperkuat gagasan sebelumnya yang mengatakan bahwa ketika itu, Ayutthaya, bisa disetarakan sebagai “Venice” di Asia Tenggara. Bahkan bisa dikatakan Ayutthaya merupakan pusat perdagangan maritim terbesar di Asia Tenggara dari abad 14 hingga 18 yang menghubungkan Cina, Asia Tenggara, dan Eropa.

Setelah berkali-kali mengunjungi Ayutthaya, saya selalu tertarik dengan aneka ragam kuliner dan adanya kampung Islam/Makassar. Beragam kuliner di Ayutthaya juga dipengaruhi cita rasa dari India, Cina, Melayu, Portugis, Jepang, dan Belanda. Beberapa contoh kuliner tersebut adalah foi tong, gulai gaeng, gulai masaman dan juga sup tahu, dan panggang babi dan bebek. Keberadaan kampung Islam/Makassar juga masih nampak unik di mana menunjukkan nenek moyang mereka yang datang dari Arab, Persia, India dan juga Makassar (yang berasal dari pelaut Bugis dan elitenya yang merantau atau lari setelah Perang Makassar di abad 17).

Seperti yang saya diskusikan dengan Aryono, Bonnie, dan Wahyu, namun yang paling unik dan penting dari kunjungan terakhir saya ke Ayutthaya adalah menemukan dan mengunjungi Baan Hollanda yang terletak di pinggiran sungai Chao Praya. Lokasinya adalah tanah bekas didirikannya kantor perwakilan VOC (Venerigde Oost-Indische Compagnie) di Ayutthaya yang mulai beroperasi di tahun 1608.

Baca juga: Sepuluh Fakta tentang VOC

Menurut buku yang ditulis oleh Baker and Pasuk (2017: 120-121) Ayutthaya mulai berkembang pesat di bawah kepemimpinan Raja Ekathotsarot (1605–1620) di mana ia mengundang banyak perwakilan perdagangan maritim asing untuk beroperasi dan berdagang rempah dan komoditas lainnya secara besar-besaran. Di kota tua inilah perwakilan VOC memperkuat dominasi dan kekuataan perdagangan maritim di Asia Tenggara.

Jejak-jejak masa lalu Muangthai dan Nusantara inilah yang saya bisa pelajari dan teliti ketika saya mengunjungi Baan Hollanda yang juga menyajikan informasi dan arsip lama dari Belanda secara padat namun juga interaktif. Para pengunjung diajak masuk ke berbagai ruang dengan disertai peta dan informasi lengkap mengenai sejarah berdirinya perwakilan VOC di Ayutthaya (baanhollanda.org). Semua informasi tersaji dengan detail dan runtut mengikuti runtutan abad dan peristiwa-peristiwa penting yang menjadikan perwakilan VOC berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi perdagangan maritim di Muangthai ketika itu.

Priyambudi Sulistyanto, dosen senior Flinders University, dan Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, di depan patung gajah di Museum Nasional hadiah Raja Chulalongkorn. (Dok. Priyambudi Sulistyanto).

Yang paling penting untuk saya adalah mengapa para sejarawan Indonesia belum atau tidak tertarik melakukan studi atau riset arsip tentang hubungan perdagangan maritim antara Muangthai dan Nusantara?

Sebaliknya, sejarawan muda Muangthai, Kannikar Sartraprrong, menerbitkan bukunya yang berjudul A True Hero, King Chulalongkorn of Siam’s visit to Singapore and Java in 1871 (Bangkok: Institute of Asian Studies, Chulalongkorn Univeristy, 2008). Buku ini menceritakan mengenai kunjungan Raja Chulalongkorn (1868-1910) dari Muangthai ke Pulau Jawa (Batavia, Bogor, Yogya, Semarang, dan Surabaya) berkali-kali yaitu tahun 1871.

Baca juga: Harga Mahal di Balik Patung Gajah Museum Nasional

Dari kunjungan ini, Raja Chulalongkorn bertemu dengan pihak Belanda dan raja-raja di Jawa dengan misi untuk belajar dan studi mengenai aspek perdagangan, pemerintahan, budaya, kuliner, dan bahasa. Sebagai apresiasinya, Raja Chulalongkorn memberikan hadiah patung gajah ke pemerintah Hindia Belanda dan sekarang masih berada di depan gedung Museum Nasional di Jakarta. Sebagai ketertarikan atau langkah strategis, Raja Chulalongkorn mengunjungi Nusantara lagi pada 1891 dan 1901.

Semoga tulisan singkat ini yang merupakan sebuah testimoni pendek untuk Aryono bisa mengingatkan kita semua dan juga mendorong generasi sejarawan Indonesia untuk mau membuka kembali lembaran sejarah lama yang gemilang dan unik yang menghubungkan Muangthai dan Nusantara.

Salam hangat dari Adelaide, 23 September 2020.

Dr. Priyambudi Sulistyanto adalah dosen senior Flinders University, Adelaide, Australia Selatan.

TAG

obituari aryono thailand

ARTIKEL TERKAIT

Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Memori Manis Johan Neeskens Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Hari-hari Pangeran Paribatra di Jawa Salim Said Bicara Tentang Tiga Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia Johny Pardede dari Sepakbola hingga Agama