JAVA Jazz, Ngayogjazz, dan Prambanan Jazz menjadi agenda tahunan festival jazz Indonesia. Hingga kini, menurut wartawan musik senior Bens Leo, ada lebih dari 60 titik festival jazz di Indonesia.
“Musisi jazz itu yang paling tidak memusingkan akan dibayar berapa. Mereka punya toleransi dan kegiatan berkesenian yang bagus. Karena itulah festival jazz ada di mana-mana,” kata Bens.
Java Jazz, salah satu festival jazz termegah, menjadi gelaran rutin tiap tahun dan sudah masuk dalam kalender jazz internasional. Berjalan selama 13 tahun, Java Jazz digagas Peter Ghonta setelah terinspirasi North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda. “Ketika akan membuat Java Jazz Festival, dia berkomunikasi dengan penyelenggara di sana. Akhirnya bikin Java Jazz,” kata Bens.
Di waktu yang hampir bersamaan, Ireng Maulana membuat Jakarta International Jazz Festival (Jakjazz). Untuk mempermudah prosedur mendatangkan musisi dunia, Ireng kerjasama dengan kedutaan besar.
Tapi, jazz tak melulu tampil dengan citra berkelas. Ngayogjazz yang diadakan di kampung Yogyakarta atau Jazz Gunung yang diprakarsai Djaduk Ferianto merupakan dua contoh jazz yang tampil membumi.
Popularitas dan banyaknya festival jazz itu buah dari perjalanan panjang jazz di Indonesia. Jazz dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Eropa menggunakan piringan hitam. The American Jazz Band, tulis Alfred D. Ticoalu dalam “Irama Jazz dan Peranakan Tionghoa” di Tionghoa dalam Keindonesiaan, menjadi band jazz pertama yang datang ke Batavia, pada 1919.
Setelah kemerdekaan, band jazz tanah air mulai populer tahun 1950-an. Mereka sebelumnya orang-orang yang aktif berkarya pada masa Belanda dan vakum ketika Jepang datang.
Pertengahan tahun 1950-an, Teddy Chen membentuk kelompok Chen Brothers yang kerap main di Surabaya. Tedy di posisi pemain klarinet, Nico pada drum, Jopie bermain bass, dan Bubi piano. Ada juga pemain tambahan seperti Jack Lemmers (kemudian dikenal Jack Lesmana, ayah Indra Lesmana), Tio Tjip Hie, Toes Sigalarki, Arthur Markusen, dan beberapa pemain lain.
“Tahun 1950-an musisi jazz sudah banyak tampil tapi tidak secara massal, bukan di panggung besar. Biasanya di klub-klub kecil. Karena dimainkan di klub kecil, jadi tidak terlalu kelihatan. Sekarang kan diadakan dengan besar-besaran,” kata Bens.
Dari Chen Brothers, Teddy membentuk Teddy Chen Big Band yang menjadi big band jazz pertama di Indonesia. Tetapi setelah Teddy pindah ke Belanda, akhir 1950-an, Teddy Chen Big Band bubar. Adik Teddy, Bubi membuat Bubi Chen Quartet bersama dua saudaranya, Nico dan Jopi, ditambah Jack Lemmers. Kelompok jazz ini bertahan sampai 1960-an dan bubar ketika Jack pindah ke Jakarta.
Kelompok lain yang juga cukup terkenal di Surabaya tahun 1950-an adalah Boogie Woogie Rhytmics. Sayang, band yang diotaki Micky Wijt dengan anggota Oei Boen Leng, dan Jack ini bertahan cuma dua tahun.
Surabaya, menurut musisi jazz senior Jeffrey Tahalele, merupakan kota kelahiran jazz Indonesia. Bubi dan Jack, ikon jazz Indonesia, bermula di Surabaya. “Tahun 1950-an Jack Lesmana sudah memainkan musik jazz bersama Bubi Chen,” kata Bens.
Jazz lebih dikenal secara luas ketika Jack, Jopie Item bersama rekan-rekannya menginisiasi pertunjukan musik jazz di TVRI tahun 1960-an. “Yang mengenalkan jazz secara audio visual itu Jack Lesmana di TVRI. Mereka melakukan rekaman awalnya di Selebriti Studio, Kebayoran Baru. Kalau nggak ada TVRI, mungkin musik jazz tidak akan dikenal sampai menyeluruh seperti sekarang,” kata Bens.
Adrian Rahmat Purwanto dalam skripsinya, “Becoming A Jazz Musician”, menulis tahun 1970-80-an musisi jazz baru bermunculan. Antara lain, Ireng Maulana, Perry Pattiselano, Benny Likumahuwa, Bambang Nugroho, dan Elfa Secioria. Pertengahan 1980-an muncul band Krakatau dengan Indra Lesmana, Dwiki Darmawan, Gilang Ramadan sebagai anggotanya.
Kemunculan musisi jazz tersebut tak lepas dari pendirian sekolah musik. Lewat sekolah musik seperti Institute Musik Indonesia, Purwa Caraka, atau Sekolah Musik Indonesia calon-calon jazzer tanah air digojlok dan dicetak.
“Musisi jazz makin banyak di berbagai daerah. Anak-anak muda bisa tampil dan memadukan jazz dengan musik etnik sehingga warna musik Indonesia bisa keluar dalam festival. Tapi kalau tidak ada tokoh-tokoh seperti Djaduk, Peter, Ireng, atau teman-teman dari Yogya yang buat Ngayogjazz atau Prambanan Jazz, kita akan sulit melihat perkembangan musik jazz seperti sekarang,” tutup Bens.