Masuk Daftar
My Getplus

Alkisah Bocah Nazi dan Piyama Yahudi

Menyelami elemen terkelam holocaust dari kacamata bocah Nazi dan Yahudi dalam “The Boy in the Striped Pyjamas”.

Oleh: Randy Wirayudha | 26 Des 2020
Kisah persahabatan anak perwira Nazi dan bocah penghuni kamp konsentrasi dari novel holocaust diangkat ke layar lebar bertajuk "The Boy in the Striped Pyjamas". (miramax.com).

PESTA di rumah Bruno (diperankan Asa Butterfield) di Berlin pada suatu malam berlangsung meriah. Dari railing lantai dua, bocah berusia delapan tahun itu bersama kakaknya, Gretel (Amber Beattie), melihat raut wajah bahagia para tamu ayahnya bergaun mewah, berjas pesta, atau berseragam militer.

Namun di antara para tamu itu, Nathalie (Sheila Hancock), nenek Bruno, kedapatan menampakkan wajah bermuram durja. Dari pantulan cermin besar di lantai bawah, sang nenek terlihat melambaikan tangannya ke arah Bruno yang langsung berbalas senyum.

Itu jadi lambaian tangan dan pertemuan terakhir sang nenek dengan Bruno. Pasalnya, keesokan harinya Bruno sekeluarga ikut ayahnya yang pindah tugas ke luar Berlin. Dari ibunya, Elsa (Vera Farmiga), Bruno mendapat penjelasan bahwa kepindahan mereka untuk mendukung pekerjaan penting ayahnya yang mengabdi pada negara. Bruno, bocah polos yang belum paham apa pekerjaan sang ayah, hanya bisa menuruti.

Advertising
Advertising

Ralf (David Thewlis), ayah Bruno, merupakan perwira SS (Schutzstaffel/Paramiliter Nazi) berpangkat obersturmbannführer (setara letnan kolonel). Ia baru mendapat promosi jadi komandan sebuah kamp.

Ralf (kanan) perwira Nazi ayah Bruno yang dipromosikan menjadi komandan kamp konsentrasi. (IMDb).

Kisah keluarga Ralf itu jadi prolog yang disajikan sutradara Mark Herman dalam drama tragedi bertajuk The Boy in the Striped Pyjamas. Bertema holocaust, The Boy in the Striped Pyjamas diangkat dari novel berjudul serupa karya John Boyne.

Adegan lantas beralih ke adegan Bruno tiba di rumah barunya. Selain banyak penjaga, di lingkungan anyar itu Bruno bahkan bertemu sesosok orang tua di dapur mengenakan baju lusuh bergaris-garis yang dianggapnya sebagai piyama. Sosok yang ia kenal bernama Pavel (David Hayman) itu sempat merawat lutut Bruno kala terluka pasca-terjatuh dari ayunan.

Baca juga: Kisah Dramatis Atlet Kulit Hitam di Pentas Olahraga Era Nazi

Di rumah baru itu pula Brono tak bersekolah dengan mendatangi sebuah kelas, melainkan dengan homeschooling dengan guru yang didatangkan ayahnya. Sang guru, Tuan Liszt (Jim Norton), mengajarkan banyak hal berbeda. Liszt meremehkan cita-cita Bruno yang ingin jadi penjelajah lantaran saat itu umumnya anak seperti Bruno sudah mesti belajar situasi negerinya.

Bruno tak tertarik pada ajaran-ajaran antisemit Tuan Liszt. Ia jadi sering bosan. Pada suatu hari, Bruno menemukan sebuah pintu di samping rumahnya yang menghubungkan ke taman belakang. Naluri penjelajahnya terlecut. Dari sebuah jendela yang terbuka di gudang taman belakang, Bruno menjelajahi hutan sampai tiba kakinya terhenti di depan jejeran kawat berduri.

Sosok Shmuel (kanan) bocah Yahudi berpiyama yang menjalin pertemanan dengan anak komandan kamp konsentrasi. (miramax.com).

Bruno menafsirkan tempat itu sebagai areal pertanian. Namun anehnya, semua orang di tempat itu, termasuk seorang bocah seusianya, mengenakan piyama bergaris-garis yang sama dengan milik Pavel. Bruno yang tak punya teman, dengan polos berkenalan lalu berteman dengan bocah bernama Shmuel (Jack Scanlon) itu.

Hampir setiap hari Bruno menyelinapkan makanan untuk Shmuel. Suatu hari, Bruno membulatkan tekadnya untuk membantu Shmuel mencari ayahnya yang hilang beberapa hari sebelumnya setelah digiring sejumlah penjaga ke sebuah tempat. Misi penjelajahan Bruno pun dimulai.

Seperti apa petualangan Bruno bersama Shmuel dan bagaimana akhirnya? Baiknya Anda saksikan sendiri The Boy in the Striped Pyjamas. Kendati sudah dirilis sejak 26 November 2008, saat ini masih bisa ditonton di Mola TV.

Holocaust dari Mata Dua Bocah

Selain meminjam tembang lawas “Smile When You Say Goodybe” ciptaan Harry Parr-Davies, film juga diiringi music score sejumlah karya orkestra garapan komposer James Horner untuk membuat penonton bisa masuk ke suasana tahun 1940 ketika rezim Nazi di Jerman tengah berada di masa puncaknya. Horner mengiringinya dengan scoring bertema ceria kala Bruno masih tinggal di kota besar seperti Berlin, bergeser ke “bittersweet” ketika Bruno pindah ke rumah besar dekat kamp konsentrasi yang menyimpan cerita pahit.

Seiring dengannya, untuk menyokong cerita yang diadaptasi dari novel karya Boyne, Herman yang merangkap penulis skenario dibantu editor Michael Ellis meracik tone film menjadi suram saat Bruno dan keluarganya pindah dari Berlin. Dalam sebuah wawancara yang dimuat What’s On Live, 26 Mei 2015, Boyne memberi kebebasan pada Herman untuk memberi beberapa perubahan dari novel ke filmnya.

“Sebelum diproduksi saya bertemu Mark dan kami membicarakan tentang penggarapannya. Dia punya ide bagus tentang bagaimana mengalihwahanakannya dan saya sendiri senang untuk memberinya kebebasan. Kemudian saya juga cukup terlibat dalam proyek filmnya dan senang dengan hasil yang dibawakan Mark,” ujar Boyne.

Baca juga: Kisah Intel Israel Mengejar Gembong Nazi Terakhir

Novel The Boy in the Striped Pyjamas karya novelis Irlandia John Boyne. (johnboyne.com).

Beberapa perbedaan dihadirkan Herman lewat improvisasinya. Antara lain tentang pertemuan keluarga Bruno dengan Führer Adolf Hitler yang akhirnya membuahkan promosi sang ayah. Bruno dengan lidah cadelnya melafalkan führer menjadi “Fury”. Herman meniadakan kisah ini dalam filmnya. Kisah tentang Bruno melafalkan kamp konsentrasi Auschwitz menjadi “Out-With” di novel juga ditiadakan Herman demi meniadakan penyebutan tempat jahanam yang memakan banyak nyawa Yahudi itu.

Tim produksi beralasan, mereka tak ingin terlalu dalam menjejali horor holocaust pada anak-anak dan generasi muda yang jadi target filmnya. Bagi produser David Heyman, mereka ingin menggambarkan holocaust tetap dari mata seorang bocah. Oleh karena itu Herman dan Heyman tak banyak mengedukasi apalagi sampai mengarahkan para aktor ciliknya soal pengetahuan holocaust karena belum pantas untuk disajikan pada usia mereka.

“Mark memutuskan untuk tidak mengedukasi mereka (para aktor cilik) terlalu banyak. Terhadap Asa (Butterfield, pemeran Bruno), itu menjadi proses penggalian pengetahuan pada banyak tingkatan. Saya pikir sebagai aktor, dia sudah mencari tahu sendiri tentang pentingnya dan relevansi keterlibatannya dalam film ini. Di film ini pengalaman dan pengetahuan mereka berkembang. Mereka menjadi lebih dewasa setelah memulai keterlibatannya,” ungkap Heyman kepada indielondon.co.uk.

Baca juga: Heydrich, Jagal Nazi Berhati Besi

Tetap saja kritik menghampiri mereka, terutama tentang bagian akhir film. Itu lantaran Herman merangkum kisah di novel hanya dalam satu momen. Ditambah, Bruno menyisipkan plot twist yang seolah menawarkan simpati bagi keluarga Bruno yang notabene anak pelaku holocaust.

“Situasi ambigu itulah yang memang saya inginkan. Saya senang faktanya penonton terpaku pada ambiguitas itu. Apa kita harus kasihan padanya (ayah Bruno)? Apakah dia korban? Atau dia pantas mendapatkannya? Saya senang penonton mempertanyakan pada diri sendiri tentang apa yang mereka rasakan,” kata Herman sebagaimana dinukil RTÉ, 11 September 2008.

Kolase adegan tragis di kamp konsentrasi Nazi. (miramax.com).

Bagi Herman, itu sekadar inspirasi dari novel Boyne yang dibacanya. Boyne juga menciptakan cerita dan karakter-karakternya berupa fiksi yang terinspirasi dari beberapa hal nyata. Karakter-karakter keluarga Bruno contohnya. Realitasnya, memang ada seorang komandan kamp konsentrasi Auschwitz yang bertugas dengan membawa serta keluarganya.

“Saya tahu komandan dari Auschwitz yang menyertakan keluarganya untuk tinggal di sana dan dia punya lima anak. Tetapi saya tidak mendasarkan karakter Bruno dari salah satu dari lima anak itu. Juga dengan karakter Shmuel. Ia hanya representasi dari anak-anak di kamp konsentrasi,” sambung Boyne.

Baca juga: Adolf Eichmann, Perwira Nazi Spesialis Yahudi

Faktanya, di kamp Auschwitz sempat ada ratusan anak laki-laki yang dijadikan pekerja paksa sebelum dihabisi di kamar gas. Henry Gonshak yang meriset sejumlah arsip kamp konsentrasi Nazi menyatakan dalam Hollywood and the Holocaust bahwa tercatat ada 619 anak laki-laki di Auschwitz. Namun tak satupun dari mereka yang berusia sembilan tahun ke bawah karena dianggap para penjaga belum cukup usia untuk dipaksa bekerja. Lazimnya, anak-anak seusia Shmuel di novel Boyne langsung digiring ke kamar gas setelah tiba di Auschwitz.

Dari banyak catatan tentang Auschwitz itulah Boyne menjadikannya inspirasi untuk membuat kisahnya. Sementara, karakter keluarga Bruno diraciknya dari kisah keluarga Obersturmbannführer Rudolf Höss, komandan Auschwitz yang tinggal di sebuah vila besar dekat kamp Auschwitz I. Semua pelayan kamp itu adalah para tahanan kamp.

Keluarga Obersturmbannführer Rudolf Franz Ferdinand Höss, komandan kamp konsentrasi Auschwitz. (IFZ).

John W. Primomo dalam Architect of Death at Auschwitz: A Biography of Rudolf Hoss menyingkap, Höss membawa serta keluarganya ketika mendapat promosi menjadi komandan Auschwitz pada 1 Mei 1940. Selain sang istri, Hedwig Hensel, turut pula keempat anaknya: Klaus (10), Heidetraut (8), Inge-Brigitt (6), dan Hans-Jurgen (3). Adapun anak kelimanya, Annegret, baru lahir pada 1943 seiring masa tugas Höss.

“Keluarga saya, tentunya, diberi kebutuhan dengan baik di Auschwitz. Semua keinginan istri dan anak-anak dipenuhi. Istri saya juga punya surga bunga di tamannya. Para tahanan (kamp) tak melewatkan kesempatan berbuat baik dengan membawakan anak-anak saya: kura-kura, kucing, kadal, semua hewan yang menarik perhatian,” ungkap Höss dalam catatan hariannya yang dikutip Primomo.

Kepada anak-anaknya yang mulai bertanya tentang para pelayan dari kamp, Höss  hanya menjelaskan: “Mereka bukan orang-orang biasa. Mereka tahanan.”

Sementara para tahanan disiksa hingga dihilangkan paksa di kamar-kamar gas, Höss dan keluarganya hidup nyaman di vila besar itu hingga tiga tahun setengah. Saat Perang Dunia II berakhir, Höss mengasingkan diri dari keluarganya dan menyamar menjadi personil Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman).

Sementara keluarganya selamat, Höss tertangkap setelah penyamarannya terbongkar pada 11 Maret 1946. Sebulan berselang Höss diajukan ke Supreme National Tribunal di Polandia dan divonis hukuman mati. Hidup Höss lantas berakhir di tiang gantung pada 2 April 1947. Eksekusinya dilakoni tepat di sebelah ruang kremasi Auschwitz I.

Data Film:

Judul: The Boy in the Striped Pyjamas | Sutradara: Mark Herman | Produser: David Heyman | Pemain: Asa Butterfield, Vera Farmiga, David Thewlis, Jack Scanlon, Amber Beattie, David Hayman, Sheila Hancock, Jim Norton, Rupert Friend | Produksi: BBC Films, Heyday Films, Miramax Films | Distributor: Miramax Films | Genre: Drama Holocaust | Durasi: 94 Menit | Rilis: 26 November 2008, 2020 (Mola TV)

Baca juga: Josef Mengele Dokter Keji Nazi

TAG

holocaust film molatv nazi yahudi

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II) Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I) Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea