Masuk Daftar
My Getplus

Akhir Pernikahan Sjahrir

Meski telah pindah agama, Maria tetap tidak diterima. Pernikahannya dengan Sutan Sjahrir dibatalkan pemuka agama.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 19 Mar 2022
Maria Duchateau, mantan istri Sutan Sjahrir, tahun 1946. (Arsip Nasional Belanda).

Ketika kuliah di Belanda, Sutan Sjahrir bersahabat dengan Salomon Tas, wartawan dan ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat. Setelah tinggal bersama kakaknya, Sjahrir kemudian pindah ke apartemen Tas. Di situ tinggal istri Tas, Maria Johanna Duchateau bersama dua anaknya yang masih kecil, serta teman Maria, Judith van Wamel.

Sjahrir hadir saat hubungan Tas dan Maria renggang karena Tas menjalin hubungan asmara dengan Judith. Sjahrir pun mengisi posisi Tas. Maria menerimanya. Mereka saling memanggil dengan panggilan sayang: Mieske untuk Maria dan Sidi untuk Sjahrir.

Sjahrir mengajak Maria ketika akan pulang ke Hindia Belanda pada 1932. Sjahrir terpaksa menghentikan studinya untuk mengambil alih pimpinan partai Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Baru. Empat bulan kemudian, Maria menyusul bersama kedua anaknya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Ketua Umum PSI Sutan Sjahrir Jadi Perdana Menteri

Sjahrir dan Maria menikah di sebuah masjid di Medan pada 10 April 1932. “Maria masuk Islam di Medan, dan dia menikah dengan Sjahrir secara Islam, bukan Kristen,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.

Sjahrir dan Maria tinggal di Medan, di rumah yang pernah ditempati Sjahrir sebelum sekolah ke Jawa, bersama kakaknya, Soetan Noer Alamsjah dan keluarganya, serta adiknya, Soetan Mahroezar yang tinggal berdekatan.

Sjahrir dan Maria tidak pergi ke Koto Gadang karena tidak memiliki cukup biaya. Mereka berharap dapat segera pindah ke Jawa. Mereka menunjukkan kemesraan secara terbuka: berjalan bergandengan tangan, pergi ke pasar, menonton film, musik, dan teater yang ramai dikunjungi orang kulit putih. Apalagi Maria suka memakai kebaya dan kain sehingga mengundang perhatian orang Belanda. Mereka pun segera digunjingankan baik oleh penduduk pribumi maupun Belanda.

“Suratkabar-suratkabar lokal menjadikannya isu besar dan mendesak pemerintah mengambil tindakan terhadap Sutan Sjahrir dan istrinya,” kutip Mrazek.

Maria Duchateau ketika muda.

Pada saat itu, pernikahan lelaki Belanda dan Eropa dengan perempuan pribumi sudah biasa, tetapi lelaki pribumi menikahi perempuan kulit putih sulit diterima. Polisi kemudian menyelidiki dokumen pernikahan Maria.

“Dengan cepat diketahui, bahwa sebelum bertolak ke Hindia, Maria tidak secara resmi bercerai dari Sal Tas, suaminya yang pertama,” tulis Mrazek.

Akibatnya, menurut Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas muncul reaksi dari pejabat pemerintah kolonial yang segera mempertanyakan masalah bigami (bersuami dua).

Baca juga: Skandal Pernikahan Raden Saleh

Para pemuka agama setempat pun bereaksi keras karena Maria menikah secara Islam dalam status belum bercerai. Mereka memutuskan untuk membatalkan pernikahan Sjahrir dan Maria pada 5 Mei 1932 atau lima pekan setelah akad. Pemerintah kolonial kemudian memulangkan paksa Maria ke Belanda.

“Pernikahan itu hanya sebentar saja. Orang-orang Belanda kolonial tahun 1930-an tidak senang melihat inlander Sjahrir kawin dengan wanita bule. Maria dipaksa balik ke Negeri Belanda,” tuis Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1909–1966.

Yang membuat Sjahrir sedih, Maria tengah mengandung anaknya yang kemudian meninggal tiga minggu setelah lahir. Upaya mereka untuk bersatu terhalang penolakan pemerintah Belanda. Mereka pun berhubungan lewat surat-menyurat.

Sutan Sjahrir menikahi Siti Wahjunah Saleh pada 1951 di Kairo, Mesir.

Kesempatan menyusul Maria ke Belanda terbuka setelah Sjahrir berencana melanjutkan studinya. “Segala sesuatu sudah dipersiapkan. Tiket kapal sudah diatur. Malang, rencana itu tidak pernah terlaksana,” tulis Rosihan.

Pemerintah kolonial Belanda menangkap dan membuang Sjahrir dan Hatta ke Digul, Papua, kemudian ke Banda Neira, Maluku.

Pada 6 Maret 1936, Sjahrir mengajukan permintaan kepada pejabat Belanda setempat untuk memperbolehkan Maria dan anak-anaknya bergabung dengannya di Banda Neira. Permintaan itu ditolak, dengan alasan bahwa Maria bukan istri Sjahrir. Sjahrir pun menikahi Maria melalui wali pelukis Salim di catatan sipil di Haarlem pada 2 September 1936.

“Dua minggu kemudian, kini resmi sebagai suami istri, mereka mengulangi permintaan mereka untuk bergabung. Kembali ditolak, dan pemberitahuan resmi diterima Sjahrir pada akhir 1937,” tulis Mrazak.

Baca juga: Kisah Pria Bumiputera yang Menikahi Perempuan Kulit Putih

Pada akhir 1939, ketika Maria sudah punya uang untuk pergi menemui Sjahrir di Banda Neria, tidak ada lagi kapal yang menuju Hindia Belanda karena Perang Dunia II telah berkobar.

Sjahrir dan Hatta kembali ke Jawa pada 1942. Sjahrir bergerak di bawah tanah selama pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, dia terpilih menjadi perdana menteri pertama.

Akhirnya, setelah 15 tahun berpisah, Sjahrir bertemu dengan Maria dalam sebuah acara di New Delhi, India, pada April 1947. Tuan rumah Jawaharlal Nehru yang mengundang Maria untuk memberi kejutan kepada Sjahrir. Nehru tak tahu kalau kawannya itu sudah menjalin kasih dengan sekretarisnya, Siti Wahjunah Saleh, yang biasa disapa Poppy. Sjahrir menikahi Poppy pada 1951 di Kairo, Mesir.

Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya. Pertemuan sekaligus perpisahan. Keduanya memutuskan bercerai pada 12 Agustus 1948. Maria kemudian menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam.

TAG

sutan sjahrir

ARTIKEL TERKAIT

Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben God Bless di Mata Roy Jeconiah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri