Masuk Daftar
My Getplus

Affandi dan Pengakuan Karya Zainal Beta

Di Makassar, ia menemukan metode lukis anyar namun dicibir. Di ibukota, pengakuan itu baru tiba lewat maestro Affandi.

Oleh: Randy Wirayudha | 23 Nov 2019
Arifin alias Zainal Beta masih berkarya dan berdiam di salah satu ruangan eks penjara bawah tanah di Benteng Rotterdam

KERTAS A4 itu segera berwarna kecoklatan setelah “berselimut” adonan tanah liat dan air. Dengan sebilah potongan bambu, tangan Zainal Beta beberapakali mengoleskan adonan itu. Setelah hampir semua bidang kertas itu dilumuri “adonan”, Beta mengganti “senjatanya” dengan potongan bambu lebih kecil.

Sret…sret…sret! Tiga menit kemudian, kertas putih bersih itu telah menjadi sebuah lukisan tanah liat. “Ini yang saya buat, lukisan bergambar Bastion Bone,” ujarnya kepada Historia yang menghitung waktu pengerjaan sembari merekam dengan kamera ponsel, 15 Oktober 2019.

Seni lukis tanah liat itu merupakan metode melukis baru yang ditemukan Beta pada 1980. Bastion Bone hanya satu dari sekian koleksi Beta di “kantornya”, sebuah ruang eks penjara bawah tanah di salah satu sudut benteng Fort Rotterdam, Makassar. Ruang itu diberinya sebutan “Fort Rotterdam Art Gallery”. Di sanalah ia mengais rezeki lewat membuka kursus seni lukis maupun menjajakan karya-karyanya kepada turis manapun yang tengah berkunjung ke benteng. 

Advertising
Advertising

Beta mengaku bukan termasuk seniman yang gemar jual mahal. Karya-karyanya dibanderol mulai harga Rp150 ribu sampai Rp10 juta, tergantung permintaan dan besar-kecilnya dimensi lukisannya.

“Kepuasan saya bukan karena lakunya berapa, tetapi apa yang kita inginkan bisa kita tuangkan dalam karya. Ah, di situ saya punya kepuasan waktu kadang tidak ada duit. Paling mahal ada kolektor dari Jerman, dia tebus lukisan bergambar sebuah gubuk dan tukang becak seharga Rp10 juta di 2004. Yang paling banyak peminat biasanya ada pengunjung minta dilukiskan lukisan potret orang,” imbuhnya.

Lukisan "Bastion Bone" dari tanah liat yang dibuat Zainal Beta dalam tempo tiga menit (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA)

Baca juga: Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air

Melukis potret menurut Beta sebetulnya bukan “bidangnya”. Jika lukisan lain bisa dibuatnya dalam 30 menit sampai 1-2 jam, lukisan potret butuh waktu minimal empat hari. Namun demi sesuap nasi, Beta coba beradaptasi pada tipe lukisan yang bukan keahliannya itu.

“Alhamdulillah dengan ini saja (mengajar, menjual lukisan), dengan perjuangan saya cukup. Kadang juga ada workshop yang saya diundang. Memang saya membuat karya kecil-kecil ini menyesuaikan kemampuan orang. Kan banyak teman pelukis kasih harga tinggi. Nah, saya tidak. Kadang kan banyak tamu cari cenderamata. Makanya kita tidak hanya harus kreatif melukis tapi juga kreatif memasarkan juga,” lanjut Beta.

Meski dunia senirupa mengakui Beta sebagai penemu aliran baru seni lukis, Beta tetap sosok yang “membumi”. Ia juga bukan sosok yang banyak menuntut penghargaan. Penghargaan dunia internasional justru yang menghampirinya seiring lahirnya karya-karya Beta. Selain Philip Morris Award untuk kompetisi seni lukis se-ASEAN 1986, di mana Beta masuk dalam 60 besar, ada juara ketiga lomba poster pemberdayaan perempuan di Beijing, atau delapan besar karya terbaik Lomba Karikatur Anti-Apartheid pada 2003. 

Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi

Meski begitu, pengakuan dari mancanegara itu tak serta-merta membuat Beta dihormati seniman tanah air. Masa-masa awal Beta melukis dengan “tanah-air”, cibiran, pandangan sebelah mata, hingga sebutan gila sering menghampirinya.

Mengubah Cibiran Jadi Sanjungan
Foto itu sudah kusam. Warnanya pun pudar. Beta memeliharanya dengan  melapisinya menggunakan plastik transparan. Beta memajangnya di sebidang sempit sekat tripleks yang membagi dua setengah ruang “galerinya”. 

Potret yang paling dibanggakan Beta itu merupakan foto “candid” yang memotret dirinya tengah berbincang dengan maestro Affandi. Menurut Beta, pertemuannya dengan Affandi pada 1986 itulah yang membuka pintu pengakuan terhadapnya dari para seniman tanah air.  Itu terjadi di pameran “Nuansa Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Oktober 1986.

“Di pameran itu saya yang diutus ke ibukota bersama (wartawan harian Fajar Sinansari) Ecip, dari pembicaraan kawan-kawan setelah Temu Sastra Nusantara VI di Makassar. Saya juga ikut tata-tata dekorasi. Nah, di situ saya ketemu Affandi. Orang yang saya kagumi dari kecil,” kata Beta mengenang.

Koleksi potret Zainal Beta bersama Affandi saat bersua di Jakarta (Foto: Repro Koleksi Zainal Beta)

Saat pembukaan, Affandi berbicara di atas podium. Di hadapan para tamu undangan itulah Zainal Beta disanjung sang maestro. Beta pun heran ternyata Affandi sebelumnya sudah insyaf akan karya “tanah-air” Beta.

“Dia bilang, ‘Berbanggalah Indonesia. Dari pelosok daerah kecil muncul di tengah kota dengan membawa segenggam penemuan. Inilah satu fakta bahwa Indonesia melahirkan penemu di abad ke-20. Adalah Zainal Beta’,” kata Beta.

Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr

Pujian Affandi tentu membuat Beta kaget, bangga sekaligus nervous. Terlebih ketika Beta dipanggil ke podium bersanding dengan Affandi.

“Saya disebut hebat. Penemu. Saya bilang enggak, Pak. Bapak (Affandi) yang hebat. Orang yang saya kagumi di Indonesia adalah bapak. Tapi dia bilang kemudian yang dia kagumi malah saya. Metode lukis sudah saya rombak dan dunia (seni) sekarang terbuka. Kelak generasi baru akan muncul lagi dengan media-media baru,” sambungnya.

Zainal Beta alias Arifin, pelukis tanah liat pertama dunia asal Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA)

Momen itu pun beredar hingga ke Makassar lewat berbagai suratkabar. Keluarga besar Beta yang tadinya menganggapnya gila, perlahan insyaf dan mau “menerima” Beta yang memilih seni sebagai jalan hidupnya. 

“Bayangkan, baru ada pengakuan dari yang lain 1986 berkat Affandi, sejak saya memulainya tahun 1980. Keluarga juga heboh lihat berita itu. Saat saya pulang, saya berpesan, kalau ada dari keluarga yang mencari sesuatu dalam perjuangannya, tolong dukung. Saya sudah buktikan dengan usaha sendiri. Kalau kita cintai bakat itu, kejar (dukung) dia,” tutur Beta.

Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani

Sejak itu, nama Beta dihormati kalangan seniman se-Indonesia. Pada 1990, Beta bahkan ditawari kursi Ketua Pakarti Indonesia Timur oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Namun, Beta enggan menerimanya.

“Saya bilang, berat ini (jabatan ketua). Saya belum siap. Tapi setidaknya perjuangan saya 10 tahun dihargai dengan dikasih kartuanggota Pakarti,” ujar Beta menutup perbincangan.

TAG

seni-rupa makassar pelukis

ARTIKEL TERKAIT

Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman Pelukis Jadi Pahlawan Nasional Melihat Lebih Dekat "Lukisan" Kehidupan Margaret Keane Ketika Eks KNIL Menyerang Markas APRIS