Masuk Daftar
My Getplus

Saat Sintong Khawatir Diterjunkan di Pedalaman Irian

Saat akan diterjunkan dalam operasi di Lembah X Irian, Sintong dikhawatirkan oleh beragam cerita tentang suku pedalaman.

Oleh: M.F. Mukthi | 22 Jan 2021
Sintong Panjaitan bersama penduduk suku Lembah X di pedalaman Papua (repro "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando")

Tak lama setelah mengikuti ekspedisi Peabody Museum of Archeology and Ethnology untuk mempelajari suku Dani di pedalaman Papua, Michael Rockfeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, kembali mengunjungi pulau itu untuk mempelajari suku Asmat. Namun, ekspedisi kali ini membawa celaka pada Michael. Pada 17 November 1961, kano yang dinaiki Michael dan antropolog Belanda Rene Wassing serta dua guide setempat terbalik dan tenggelam. Mereka pun terapung di lautan.

“Rene Wassing menatapnya, dan Michael memperhatikan Rene terbakar matahari dan perlu bercukur. Perjumpaan mereka berlangsung singkat. Mereka telah terapung di lautan lepas di lepas pantai barat daya New Guinea selama dua puluh empat jam sekarang, dan tidak banyak yang dikatakan,” tulis Carl Hoffman dalam Savage Harvest: A Tale of Cannibals, Colonialism, and Michael Rockefeller’s Tragic Quest.

Setelah mengatakan “saya akan mampu melakukannya,” Michael kemudian berenang menuju pantai meninggalkan Rene. Ketika Rene berhasil diselamatkan keesokan harinya, Michael tak pernah lagi ditemukan meski pencarian intensif terhadapnya dilakukan juga dari udara dan laut oleh AL Belanda dan Australia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Ekspedisi Awal ke Pedalaman Papua

Hilangnya Michael menimbulkan beragam dugaan. Salah satu yang populer, dia dikanibal suku setempat.

Ketakutan akan dikanibal itulah yang menghantui Lettu Sintong Panjaitan, perwira RPKAD yang di-BP-kan ke Kodam XVII/Tjendrawasih menjelang Penentuan Pendapat Rakyat, ketika hendak terjun dari pesawatnya dalam operasi kemanusiaan Tim Lembah X pada 2 Oktober 1969.

“Jangan-jangan nanti setelah mendarat, saya dikroyok oleh suku Lembah X, kemudian dimakan rame-rame,” kata Sintong membatin sebelum melakukan penerjunan, dikutip Hendro Subroto dalam biografi berjudul Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

Tim Lembah X dibentuk Pangdam XVII/Tjendrawasih Brigjen Sarwo Edhie Wibowo setelah pada Mei 1969 memberi izin Pierre Dominique Gaisseau, sineas Prancis yang filmnya tentang suku di Lembah X di utara Pegunungan Jaya Papua –berjudul Sky Above and Mud Beneath– menjadi film dokumenter pertama peraih Oscar, untuk membuat film antropologi budaya lanjutan tentang suku di Lembah X. Sarwo menganggap aktivitas sinematografi Gaisseau perlu disertai operasi kemanusiaan. Oleh karena itu, Sarwo membuat operasi kemanusiaan di tempat yang sama sebagai Operasi Bhakti Kodam XVII/Tjendrawasih.

“Sehubungan dengan keputusan itu Brigjen TNI Sarwo Edhie mengeluarkan perintah operasi No. 009 untuk menerjunkan dari udara satu Tim ABRI bersama kerabat kerja NBC Lembah X untuk melaksanakan operasi kemanusiaan,” tulis Hendro.

Baca juga: Aksi Sarwo Edhie Wibowo di Papua

Sarwo lalu membentuk Tim Lembah X dan menunjuk Kapten Feisal Tanjung (di kemudian hari menjadi Panglima ABRI) menjadi komandannya. Sintong didapuk sebagai perwira operasi tim dan diplot menjadi orang pertama yang diterjunkan.

Selain berisi tujuh personil RPKAD (kini Kopassus) dan dua personil Kodam Tjendrawasih, Tim Lembah X juga berisi tim Gaisseau (empat orang). Anggota yang bergabung di luar skenario awal adalah Peter Jennings, mantan penerjemah Utusan Khusus Sekjen PBB untuk masalah Pepera Fernando Ortiz Sanz, dan wartawan Hendro Subroto.

Setelah tim terbentuk, persiapan dilakukan selama berbulan-bulan. Di dalamnya temasuk mencari carteran pesawat yang akan digunakan untuk menerjunkan tim. Sintong bersama Gaisseau empat kali melakukan orientasi medan dari udara dalam persiapan itu. Pada 2 Oktober 1969 pukul 07.30, tim diberangkatkan menggunakan DC-3 Dakota milik Garuda yang -dioperasikan Merpati Nusantara Airlines -dimodifikasi untuk penerjunan karena pesawat carteran gagal didapat. Penerbangan menuju lembah yang “belum terjamah” itu memakan waktu sekitar sejam.

“Bahkan dalam penerbangan pesawat kami sempat menerobos hujan. Kami khawatir jika di Lembah X turun hujan, maka penerjunan akan ditunda. Pandangan dari udara menunjukkan bahwa daerah pegunungan di bawah kami, diselimuti oleh hutan belantara yang membentang luas,” kata Hendro Subroto dalam memoarnya, Perjalanan Seorang Wartawan Perang.

Para anggota tim dan Brigjen Sarwo sebagai jump master mesti bersabar menjalani penerbangan yang tak mengenakkan itu. Mereka harus bersusah payah untuk bisa duduk sambil memanggul tas parasut dan membawa perlengkapan karena kursi pesawat merupakan kursi penumpang yang sempit, bukan tempat duduk panjang sebagaimana umumnya dalam pesawat untuk penerjunan.

Menit demi menit berlalu hingga akhirnya di pintu pesawat terlihat dispatcher Capa Atang Ismail menjatuhkan streamer untuk mendapatkan gambaran keadaan di sekitar dropping zone. Sintong sebagai penerjun pertama pun bersiap di dekat pintu pesawat.

Betapapun pandainya Sintong menyembunyikan perasaannya, kecemasan bakal dikanibal tetap menghinggapi batinnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Maka begitu Atang menepuk payung utama di punggungnya sambil berteriak “Go!”, Sintong pun segera berjalan agak membungkuk untuk keluar dari pintu pesawat yang kecil lalu terjun. Selang beberapa saat, anggota berikutnya mengikuti.

Baca juga: Kisah Sintong dengan Mortirnya

Kendati selama penerjunan mereka disuguhi pemandangan asri belantara Papua yang masih murni, mayoritas mendarat tak sesuai dengan yang direncanakan. Berbeda-beda pengalaman yang mereka rasakan. Sebelum bisa mendarat, Capa Marwoto parasutnya tersangkut di pohon. Sementara dia mencari cara untuk bisa turun, puluhan penduduk dari suku di Lembah X telah mengepungnya di bawah. Upayanya untuk memindahkan posisi senapan AK-47-nya dari punggungnya ke posisi di depan gagal karena tanpa sepengetahuannya senapan itu diikat mati oleh orang yang membantu persiapannya saat di bandara. Ia pun panik.

Lain Marwoto, lain pula Sintong. Dia mendarat tepat di tengah kampung, bukan beberapa kilometer dari kampung yang ditetapkan sebagai titik pendaratannya. Akibatnya, dia langsung dikepung puluhan penduduk yang membawa tombak, panah, kapak, dan pentungan sembari berteriak “Snai e, snai e.” Meski tak mengerti arti kalimat itu, Sintong dibuat takut mendengarnya. Akankah dia akan mengalami kanibalisme sebagaimana yang dikwahatirkannya ketika akan terjun?

Dalam kekalutan itu, Sintong segera memindahkan posisi senapan AK-47-nya dari disandang menjadi di depan. Nahas, magasinnya terjatuh entah di mana. Sintong terus berupaya melawan ketakutannya sambil terus mencari cara menghadapi penduduk. Saat itulah dia melihat magasinnya berada di tengah kerumunan penduduk. Namun, tetap saja dia bingung bagaimana mengambilnya.

Lagi-lagi, Tuhan menolongnya. Seorang pemuda di antara kerumunan penduduk mengambil magasin itu dan melemparkannya ke Sintong.

“Terima kasih Tuhan,” kata Sintong membantin.

Setelah memasang magasin dan mengokang senapannya, ketenangan mulai menguasai diri Sintong. Dia lalu teringat saran Gaisseau agar mengangkat kedua tangan ke atas sambil menampakkan senyum dalam menghadapi penduduk. Saran itupun dilakukan Sintong hingga akhirnya seorang tua mendatanginya sambil membawakan sepotong daging babi sebagai jamuan persahabatan.

“Ia langsung memakan daging babi itu mentah-mentah. Suku Lembah X yang mengepungnya, mulai tampak lega. Mereka bersorak-sorak sebagai luapan kegembiraan,” tulis Hendro.

TAG

irian-barat suka pedalaman sejarah indonesia sarwo edhie

ARTIKEL TERKAIT

Musibah Kris Biantoro Seketika Berubah Hadiah Peluang Emas Pasukan Baret Merah Seketika Musnah (Lanjutan) Ketika Baret Merah Berhasil Mengorek Informasi Gerombolan Bersenjata Petualangan Evertsen, dari Arktik hingga Arafura Imajinasi Yamin Tentang Papua Sikap PKI Atas Papua Aparat Salah Cegat Ketika Kolonel D.I. Pandjaitan Mengangkat Orang Jerman Jadi Intel Operasi Jatayu, Penerjunan Terakhir di Irian Barat Kolega Sang Panglima Mandala