BELUM lagi ketegangan akibat perdebatannya dengan golongan muda mereda, Sukarno dikagetkan oleh panggilan rahasia dari Jenderal Hisaichi Terauchi, panglima tertinggi pasukan Jepang di Asia Tenggara. Terauchi meminta Sukarno, Moh. Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat datang ke Dalat, Vietnam menghadap kepadanya.
“Aku gugup. Aku merasakan sesuatu yang penting yang akan terjadi. Tapi apa?” kata Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Meski tak satupun dari pimpinan bangsa Indonesia tersebut tahu tujuan pemanggilan oleh Terauchi itu, toh mereka tetap terbang pada 8 Agustus 1945 menggunakan pesawat yang disediakan pihak Jepang. Penerbangan sengaja dilakukan pada malam buta karena misi tersebut amat dirahasiakan supaya tak tercium Sekutu.
“Perwira Jepang mengantarkan kami ialah Letnan Kolonel Nomura dari Gunseikanbu. Dalam perjalanan ke Dalat, kami menginap semalam di Singapura dan semalam di Saigon,” kata Hatta dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi.
Baca juga: Rumah "Penculikan" Sukarno-Hatta di Rengasdengklok
Perjalanan menuju Saigon diwarnai hujan lebat dan kabut tebal sebelum pesawat mendarat. Meski pilot sudah memilih membawa pesawat berputar-putar di udara selama sejam, keadaan tak kunjung membaik sehingga memaksanya mendaratkan pesawat.
“Kami mendarat dengan keras di suatu lapangan terbuka dan hampir saja menubruk seekor kerbau. Barang-barang berserakan. Kami terhempas dan benjol-benjol. Pikiran kami semua sangat tergoncang karenanya,” kata Sukarno mengenang.
Bercampur dengan kecemasan karena tak tahu tujuan pemanggilan mereka oleh Terauchi, pengalaman tak mengenakkan mereka itu belum selesai. Penjemput yang akan membawa mereka ke Saigon belum juga datang setelah beberapa jam. “Selama berjam-jam kami menunggu dengan sangat gelisah dan membikin urat syaraf serasa akan pecah,” kata Sukarno melanjutkan.
Mereka akhirnya diterima Jenderal Terauchi selaku perwakilan Tokyo di Asia Tenggara, di Dalat keesokan paginya. Kepada mereka, Terauchi menyatakan Tokyo telah memutuskan memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Bagaimana langkah selanjutnya untuk mewujudkan kemerdekaan itu, Terauchi mempersilahkan pimpinan bangsa Indonesia mengambil sepenuhnya langkah-langkah yang diinginkan, pemerintah Jepang tak ingin mencampuri lagi.
“Aku gembira luar biasa sebab hari itu tanggal 12 Agustus 1945, hari ulang tahunku,” kata Hatta.
Setelah menginap semalam di Saigon, rombongan Sukarno bertolak ke Singapura untuk transit semalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta inilah kesialan kembali dialami rombongan.
“Kami tidak lagi naik pesawat penumpang yang enak. Kami diantar oleh seorang penerbang, seorang pembantu penerbang dan dengan pesawat pembom yang sudah uzur dan ringsek ditambah lagi dengan hiasan lubang-luabang bekas peluru. Tidak ada tempat duduk. Kami harus berdiri sepanjang perjalanan atau berbaring. Dan kami membeku kedinginan. Tidak ada pengukur suhu atau pesawat pemanas. Kakus pun tidak,” kata Sukarno.
Meski kondisi pesawat tak nyaman, Sukarno memanfaatkan penerbangan itu untuk berdiskusi dengan Hatta. Yang diajak berdiskusi pun tak mengeluhkan fasilitas yang ada karena pikirannya tersedot untuk memikirkan cara-cara apa yang mesti dilakukan untuk mewujudkan kemerdekaan negerinya di tengah kesempatan emas itu.
Baca juga: Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta
Di tengah diskusi itulah tiba-tiba Sukarno berbisik kepada dokter Suharto, dokter pribadinya. “Saya mau buang air kecil. Bagaimana ya?”
Pertanyaan Sukarno membuat sang dokter segera memeriksa keadaan untuk menemukan cara. Setelah tak menemukan cara, Suharto menyarankan Sukarno agar melakukan hajatnya di bagian belakang pesawat tempat kumpulan lubang bekas tembakan berada. Sukarno pun manut dan segera ke belakang meninggalkan Hatta yang tetap di posisinya.
“Nah, baru saja kumulai maka angin yang keras bertiup melalui sekelompok lubang peluru dan menerbangkan semua itu memenuhi ruang pesawat. Kawan-kawanku yang malang terpaksa mandi dengan zat cair itu. Dalam keadaan setengah basah inilah Pemimpin Besar dari Revolusi Indonesia sampai di Jakarta,” kata Sukarno.