Hari masih pagi ketika pasukan Kompi A RPKAD dan Yon 438 Diponegoro memulai perjalanan dari Alahan Panjang menuju Muaralabuh, Sumatera Barat. Perjalanan itu merupakan kelanjutan dari perintah yang diterima Dan Kie A RPKAD Letda Benny Moerdani dari Panglima Operasi 17 Agustus Kolonel A. Yani hari sebelumnya. Perjalanan itu dimaksudkan untuk membungkam jantung pertahanan pasukan PRRI.
Setelah menganggap bertempur frontal di Padang tidak menguntungkan secara taktis, pasukan PRRI memilih menyingkir ke pinggiran. “Manuver-manuver perang gerilya mulai dilaksanakan Zulkifli Lubis, yang bergerak sebagai koordinator militer di daerah Sijunjung bersama sekitar tiga sampai empat anak buahnya melatih sekitar dua regu pasukan rakyat,” tulis Mestika Zed dalam Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995.
Melihat kondisi tersebut, Yani pun mengambil keputusan baru. “Maka Kolonel Akhmad Yani mengambil keputusan untuk mengabaikan obyek politisnya yaitu perebutan ‘Ibu kota PRRI’, akan tetapi menduduki Alahanpanjang untuk menghindari/mencegah pihak PRRI melarikan diri ke daerah lumbung beras Sumatera, yakni Kerinci,” tulis Dinas Sejarah Militer Kodam VII/Diponegoro dalam Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya.
Baca juga: Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran
Pasukan Benny dan Diponegoro berangkat menggunakan truk. Benny dan beberapa rekan perwira RPKAD menggunakan pick up. Namun karena mesin pick up rewel dalam perjalanan itu, Benny dan rekan-rekan di tertinggal jauh.
Menjelang sebuah tebing, Benny melihat seutas kawat. Karena curiga, dia perintahkan pengemudi menghentikan mobil. Benny langsung turun untuk memeriksanya. Namun saat dia baru beberapa langkah berjalan, terdengar suara tembakan bazoka.
Sisi kiri pick up langsung hancur terkena bazoka itu. Pecahan pelurunya berhamburan ke berbagai arah. Beruntung Benny sudah tiarap sehingga selamat. Pun begitu dengan rekan-rekannya.
Namun begitu debu dari tanah yang terkena ledakan mulai menipis, Benny dikagetkan dengan suara rintihan. Suara itu ternyata datang dari sahabatnya, Letda Dading Kalbuadi. Dading terkapar setelah lehernya terkena pecahan peluru bazoka. Benny segera memerintahkan wakilnya, Letda Soeweno, membawa Dading ke garis belakang.
Rekan-rekan Benny langsung membalas serangan lawan tanpa menunggu perintah. Mereka akhirnya bisa selamat. Hari itu juga, Muaralabuh dibebaskan. Pertempuran itu menjadi puncak dari keterlibatan Kompi Benny lantaran setelah itu Yani memerintahkan RPKAD pulang ke Batujajar. Perintah itu dikeluarkan Yani setelah mendapat laporan Benny karena pasukannya sudah terlalu lelah. Dari 70 anggota Kompi A, hanya 37 personil yang tersisa saat itu.
Baca juga: Balada Benny dengan Baret Merahnya
Pertempuran itu juga menjadi penutup “manis” Bagi Benny dalam keterlibatannya dalam rangkaian operasi penumpasan PRRI yang telah dilaluinya sejak dari Medan, Pekanbaru, hingga Padang. Saat memulainya di Padang, Benny bahkan harus cedera.
Cedera itu didapat saat Benny hendak terjun untuk membebaskan Padang pada pukul 06.40 tanggal 17 April 1958. Ketika hendak ke pintu pesawat yang sudah dibuka, pesawat bergoyang akibat cuaca. Akibatnya, Benny hilang keseimbangan dan kakinya terlilit tali pengikat di perut pesawat. Karena berupaya untuk melepaskan lilitan itu, Benny mundur selangkah.
Gerak mundur Benny itu dianggap oleh jump master sebagai tindakan takut terjun. Maka sesuai prosedur, jump master langsung menendang Benny dari belakang. Tubuh Benny pun langsung ke luar pesawat dengan posisi tidak normal, yakni menggantung. Sementara kakinya membentur dinding pesawat. Parasutnya yang masih kuncup menggantung ke luar.
“Saya terjun dengan tali membelit kaki. Tak bisa dibayangkan, lutut dihempas-hempaskan begitu, rasanya sudah jadi bubur,” kata Benny sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis.
Baca juga: Secuil Kisah Penerjunan Pasukan Komando
Dalam waktu yang terbatas, Benny mesti bergerak cepat. Sambil menahan nafas, tangan kanannya langsung meraih pisau komando yang diselipkan di betisnya. Tali yang melilitnya langsung dia potong. Begitu tali putus, tubuhnya langsung meluncur cepat ke arah bumi. Saat itulah tangan kirinya dengan segera menarik tali payung cadangan. Benny diselamatkan oleh perintahnya sendiri sesaat sebelum penerjunan berlangsung, agar pasukan membawa payung cadangan.
Namun karena lututnya cedera, Benny mendarat dengan posisi tidak sempurna. “Dia terhempas, kedua lututnya yang baru saja diremukkan oleh benturan melawan dinding pesawat, tidak kuat menahan beban tubuhnya,” sambung Julius Pour.
Benny harus berjalan pincang sambil menahan rasa sakit untuk mencapai pasukannya yang telah lebih dulu mendarat di Tabing. Beruntung saat itu Tabing telah ditinggalkan oleh pasukan PRRI.